21+
Sepertinya saya harus mencantumkan notice tersebut di setiap awal chapter—dari dulu harusnya. Eh, jangan pada mikir ke sana dulu. Saya nggak sedang hijrah menjadi penulis kayak gituan:"
Tapi, kenapa mesti dikasih tanda 21+? Sebab saya lihat lebih dari 21 komentar-komentar kalian selalu mendo'akan keburukan buat Addar😂😂
Saya jadi harus mewanti-wanti jika cerita ini bisa membuat jantung Anda jumpalitan—koprol hingga kayang, merusak mood, mengumpat, dan mati penasaran. Sekian😂 #NoticenyaTelat!!
Happy reading!
—Lapangan golf yang berukuran cukup luas itu telah disulap dan dihias sedemikian rupa. Ada podium kecil dengan beberapa sofa berwarna putih di atasnya. Pun lengkap dengan dekorasi bunga-bunga putih gading di sana. Sementara tempat untuk para tamu adalah meja bundar dengan taplak meja bordir berwarna putih, senada dengan kursi-kursi yang melingkar di sana. Hanya saja berpita krem dan cokelat.
Siti dan Irvan sudah duduk di sofa podium sejak tamu mulai berdatangan. Keduanya tidak dapat menampik rasa bahagia yang menyapa mereka. Dan Tuhan seakan-akan mengetahui betapa kejadian-kejadian sebelum pernikahan mereka kemarin adalah kejutan kecil yang menyulut percikan bahagia mereka berdua.
Siti divonis tak perlu lagi melakukan check up karena dinyatakan sembuh—sesuatu yang luar biasa tak dapat ia duga. Mempelai perempuan itu masih ingat betapa dr. Gina memuji kesembuhannya yang begitu cepat, dan tepat sebelum ia melangsungkan pernikahan.
Lalu kemudian pernikahannya kemarin yang hanya dihadiri oleh keluarga dan kerabat dekat saja. Dari awal, baik Irvan dan Siti sudah berkomitmen jika hari pernikahan mereka adalah untuk mereka sendiri. Untuk itulah, sebelum menyebar undangan, mereka sepakat mengubah rundown agar hanya acara resepsi di keesokan harinya saja yang disesaki para tamu undangan. Mereka ingin menikmati kebersamaan dengan keluarga yang jelas-jelas sudah jarang sekali berkumpul.
"Sayang, itu dokter Gina mau salaman," ucap Irvan sambil dengan canggung mengusap pinggang Siti. Barulah perempuan itu tersenyum menanggapi uluran tangan Gina yang pemiliknya tidak menunjukkan ekspresi sama sekali.
"Selamat ya. Semoga berbahagia," ucapnya sambil beralih menuju dirinya. Irvan mengernyit meski mengetahui seperti apa perasaan perempuan itu padanya sejak kuliah dulu. Ia setengah berbisik, "Aku kira mempelainya bukan Mas."
Menyadari Siti menatap mereka heran, Irvan hanya tertawa pelan, "Aneh kamu, udah dikasih undangan juga sama Siti masih salah tebak."
"Mas tahu perasaanku."
"Memang," jawab Irvan singkat. "Tapi kamu bikin antrian jadi makin panjang. Duduk dulu, sana!"
Dan selanjutnya mereka masih melakukan hal yang sama, bersalaman dan membalas ucapan selamat mereka. Hingga Siti menyadari, tidak sedikit dari tamu undangan mereka hadir dengan jas formal. Kentara sekali jika mereka memang kolega-kolega Irvan atau ibu mertuanya. Siti jadi merasa kecil bila mengingat status sosialnya. Namun begitu sepasang manusia datang untuk memberikan ucapan selamat dengan wajah ramah, senyumnya terbit kembali.
"Anggota BEM-ku yang satu ini akhirnya menikah juga," ucapnya dengan nada bercanda. Jelas sekali lelaki ini tidak berucap secara retorika. "Gue ikutan bahagia, Van. Semoga langgeng ya."
"Ini... Anak kalian?" Tanya si perempuan ketika melihat dua orang anak yang mengapit Irvan dan Siti. Irvan mengangguk dan mengelus rambut Yasna yang duduk di sebelahnya. Tetapi Siti merasa was-was, bagaimana bisa lelaki itu masih tetap santai ketika orang-orang mungkin menganggapnya sebelah mata karena menikahi janda anak dua. "Lucu-lucu banget ya, Ga."
KAMU SEDANG MEMBACA
[Bukan] Wisma Impian - REVISI
SpiritualKetika wisma impian yang didambakan Siti Sabiya sejak masih gadis terwujud, ternyata bukan lagi perekonomian yang menguji kehidupannya. Melainkan pernikahannya. Ujian itu datang dari orang terdekatnya, Addar Quthni-suaminya, panutannya, imamnya, pem...