Alunan musikalisasi puisi Aku Ingin menjadi latar musik cafe hari itu. Pengunjung yang cukup banyak menjadikan Siti sedikit lupa pada fakta bahwa ia tengah mengidap penyakit menjijikan. Sebab itu pula yang membuatnya betah berlama-lama mengurus cafe meski sudah merekrut beberapa pekerja.
Ia hanya sedikit tak menyangka di tengah beberapa kejadian yang menimpa dirinya, Tuhan masih berbaik hati dengan membuatnya mengetahui gejala penyakit menular itu lebih dini, melancarkan usahanya, serta menghadirkan Irvan sebagai sahabat bagi ia dan anak-anaknya.
Teringat akan ketiadaan lelaki itu dan kedua anaknya di sudut cafe, membuat Siti cepat-cepat beranjak dari meja kasir. Ia meminta seorang pegawai menggantikan posisinya sementara ia menyusuri penjuru ruangan.
Rasa gelisahnya menguap ketika melihat orang-orang yang dicarinya tengah membaca buku sambil tengkurap di atas rumput, di samping cafe-nya. Padahal jika Siti teliti, ia dapat melihatnya dari dalam karena seluruh dinding cafe miliknya terbuat dari kaca.
"Kenapa baca bukunya nggak di dalam?" Tanya Siti sambil ikut duduk bersama mereka.
"Di sini nyaman, lagipula kami baru abis cobain Vespa dari Om Irvan, Bunda," jawab Akbar antusias sembari menunjuk Vespa kecil yang bisa ditunggangi dua anak seusia Akbar. "Vespa-nya keren, Bunda. Abang bisa boncengan sama Adek."
Siti mendesah pelan, lalu meminta kedua anaknya masuk ke dalam cafe. Dalam dua bulan terakhir, ini bukan pertama kali lelaki itu memberikan anak-anaknya mainan, dan Siti merasa perlu membicarakan tentang hal tersebut dengan Irvan.
"Gimana sama Gina? Kamu nyaman konsultasi dengan dia?" Tanya Irvan memastikan bahwa Gina, dokter spesialis kulit dan kelamin pilihannya, membuatnya merasa nyaman.
"Iya, Mas. Dokter spesialis-nya bikin aku nyaman," jawab Siti gemas. Sebelum membiarkan kebiasaan Irvan bertanya tentang obat-obatan yang harus rutin dikonsumsinya, Siti buru-buru menambahkan, "Tapi ada dokter umum dihadapanku yang bikin aku jadi gak nyaman."
"Kenapa?"
"Kamu selalu kasih mainan sama anak-anakku, Mas. Kamu juga selalu datang ke cafe tiap hari dan main sama anak-anak. Mas nggak mikirin apa kata orang tentang kita?"
"Saya juga punya pemikiran ke arah sana," ucap Irvan. "Rasanya memang gak baik kalau saya sering datang ke sini dan berstatus sebagai orang asing."
"Nah, mungkin lebih baik..."
"Mungkin lebih baik kalau kamu membiarkan saya bukan lagi menjadi orang asing bagi kalian. Bagi saya, kalian bukan sekadar tempat singgah. Kalian mampu membuat saya benar-benar merasa seperti berada di rumah," sela Irvan. "Tapi kamu tidak perlu menjawab permintaan saya sekarang. Saya tidak sedang mengajakmu berlari dengan terburu-buru."
"Maaf, Mas. Tapi aku merasa itu bukan jalan yang terbaik bagi kita," tolak Siti. "Kalau Mas mengajukan tawaran itu karena kasihan sama aku yang penyakitan, lebih baik Mas menawarkannya kepada perempuan lain."
"Alih-alih merasa kasihan, saya justru merasa kagum sama kamu. Kamu masih bisa menjalani kehidupan dan merawat anak-anak meski harus tertatih-tatih dalam rasa sakit. Tidak ada alasan untuk saya merasa perlu mengasihani kamu karena sakit itu," jawab Irvan. "Justru karena saya seorang dokter dan mengetahui riwayat sakitmu selama ini, saya menjadi selangkah lebih maju dari lelaki lain, termasuk mantan suamimu. Kamu bisa lebih leluasa ketika berdiskusi dengan saya soal rasa sakitmu."
"Maaf, Mas. Aku tetap pada jawabanku semula..." Jawab Siti yang membuat raut wajah Irvan berubah.
Tetapi sekejap kemudian senyum lelaki itu merekah, "Well... Saya mungkin akan langsung pulang. Titip salam untuk anak-anak dan jangan lupa minum obat secara rutin, ya! Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam warahmatullah," ucap Siti sembari menatap punggung kokoh yang menghilang begitu memasuki mobil sedannya.
***
Sudah berhari-hari sejak penolakan itu, Irvan tak menunjukkan batang hidungnya di hadapan Siti, pun di depan anak-anaknya. Kebiasaan lelaki itu duduk di meja pojok membuat suasana cafe tampak begitu berbeda dalam pandangan Akbar dan Yasna. Kedua anaknya kerap melirik pintu masuk yang lagi-lagi memunculkan orang lain.
"Om Irvan sibuk ya, Bun?"
"Bunda kurang tahu, Sayang," jawab Siti.
"Biasanya jam segini Om doktel udah pulang," ucap Yasna juga.
"Hari ini Wa Qulsum sama anak-anaknya mau ke sini, loh."
Tapi kedua anaknya tidak begitu antusias mendengar kabar yang diucapkan Siti dengan nada ceria itu. Anak-anaknya tetap menatap penuh harap pada pintu masuk. Terlebih ketika dari kejauhan, seorang pria berkemeja biru muda mendekat ke arah cafe. Senyum sumringah sedikit tampak di wajah keduanya.
"Om Irvan," gumam Yasna dan Akbar sambil saling bertukar pandangan. Namun ketika matanya berlabuh pada arah pintu, mata keduanya terkejut dan berkata berbarengan, "Ayah..."
Mendengar gumaman anak-anaknya, Siti ikut terkejut. Lelaki itu berjalan cepat ke arah mereka yang tengah berada di area kasir.
"Mas merasa mimpi bertemu kamu dan anak-anak di sini," ucap Addar sumringah. "Kalian sehat, kan?"
"Seperti yang Ayah lihat. Kami juga jauh lebih bahagia," jawab Akbar.
"Abang, Adek, salam dulu sama Ayah," pinta Siti. Namun kedua anaknya kompak berlari menuju bagian belakang cafe, Siti hanya memijit pelipisnya. Selain penyakit memalukan yang diwariskan lelaki itu, sikap anak-anaknya pun berubah menjadi pembangkang seperti ini. Alasan itu pula yang membuat Siti enggan mendekatkan anak-anak dan bapaknya itu.
"Mas ingin kita rujuk, Ti," pinta Addar. "Mas janji akan berubah. Apa kamu masih tidak bisa menerima keberadaan Ayu di rumah kita seperti Umi menerima Mamah Vania?"
"Abi menikahi Mamah karena ibadah, bukan karena nafsu!" Tukas Siti. "Sampai kapanpun aku tidak akan sudi kembali, Mas."
"Kalau kamu keberatan dengan Ayu, Mas bisa meninggalkannya asal kamu mau kembali."
"Tika, tolong layani pelanggan ini. Saya ada urusan," putus Siti sambil lalu.
Perlahan dadanya terasa kembali sesak, melihat lelaki yang sudah menyakitinya datang dengan tampang biasa saja dan mengajaknya kembali bersama. Apa lelaki itu tak memikirkan betapa menderitanya ia selama ini? Secara lahir dan batin. Lalu setelah lelaki itu selesai memberinya penderitaan, akibat lain yang disebabkannya bermunculan satu per satu.
Semakin jauh Siti menyusuri bagian belakang bangunan cafe, ia semakin bisa mendengar suara tangis anak perempuannya. Disusul suara desah Akbar yang mencoba menenangkan adiknya.
"Adek takut Ayah nyakitin Bunda lagi," isaknya.
"Ayah gak akan lagi nyakitin Bunda. Setelah berpisah, Ayah bukan siapa-siapa lagi buat kita," ucap Akbar. "Kata Om Irvan, kita gak boleh cengeng dan bikin Bunda sedih. Adek gak mau kan Bunda sakit lagi kayak dulu? Kalau gitu, ayo cuci muka biar gak kelihatan habis menangis."
Dan dari seluruh rasa sakit yang dirasakannya, tidak ada apa-apanya dibanding mengetahui bahwa anaknya merasa takut oleh ayahnya sendiri.
***
Salam cinta Shubuh,
Jihan F. Djayawisastra.
KAMU SEDANG MEMBACA
[Bukan] Wisma Impian - REVISI
SpiritualKetika wisma impian yang didambakan Siti Sabiya sejak masih gadis terwujud, ternyata bukan lagi perekonomian yang menguji kehidupannya. Melainkan pernikahannya. Ujian itu datang dari orang terdekatnya, Addar Quthni-suaminya, panutannya, imamnya, pem...