Part 51: Terbentur

5K 426 26
                                    

Sepanjang pengetahuan Addar, Irvan akan berangkat kerja sepanjang week days. Itulah alasan mengapa dia bersama Naufal tengah berada di perjalanan menuju café mantan istrinya. Ia bisa menjadikan Naufal sebagai alibi, bahwa anak lelaki itu sangat merindukan Siti. Barangkali ia dapat menyusup di sana, untuk mendapatkan hatinya kembali. Sedari dulu ia sudah berjanji tak akan mudah menyerah, Irvan tak akan dijadikan sebagai alasan untuk mundur.

"Abah, kira-kira Abang dan Adek masih ingat sama Opal nggak ya?"

Addar melirik anaknya yang tak berhenti memikirkan pertemuannya dengan Siti dan anak-anak nanti. Ia bahkan menyisihkan dua buah gulali untuk diberikan kepada saudaranya. Bibir Addar perlahan menyunggingkan senyum tipis. Naufal tampak begitu menyayangi mereka sehingga kerap memikirkannya, sementara kepada Ayu, Addar tidak tahu pasti. Ia tak pernah sekalipun mengungkitnya. "Masih, dong."

"Abah sering ketemu Ibu?"

"Sering," bahkan dalam mimpi sekalipun. Addar menjawabnya dengan singkat dan membiarkan hanya Tuhan yang mengetahui isi hatinya.

Naufal terlihat ingin mendebat, menyuarakan kecemburuannya yang tidak diajak ketika mengunjungi Ibu dan saudaranya yang lain. Namun begitu mendengar café Siti hanya berjarak beberapa meter lagi, rasa cemburunya menguap, digantikan oleh raut gembira yang tidak ditutup-tutupi. Jemari kecilnya menyambar permen gulali di atas dashboard, menggenggamnya erat. Dipandanginya gulali dengan bentuk seorang gadis untuk adiknya, sementara untuk sang kakak ia hanya mendapat bentuk teko ajaib. Dalam hati ia berharap Akbar tidak akan kecewa padanya.

"Nah, sampai."

Naufal berjingkrak girang, terlebih ketika melihat Yasna berdiri di depan pintu dan masih melambai kepada mobil merah yang sudah keluar dari parkiran. Ia segera turun, bertepatan dengan itu Akbar keluar dari dalam café, terlihat hendak menyusul adiknya.

"Abang!"

"Loh, Opal?! Sama siapa?"

Akbar terlihat sama antusias dengan dirinya. Lelaki itu berlari menghampirinya, memeluknya erat. Sementara adiknya yang cantik masih berdiri di sana, memandanginya dengan ragu. Meski tidak mendapat sambutan dan Yasna tampak ogah-ogahan, Naufal tetap memeluknya, lalu menyerahkan gulali yang dibawanya untuk mereka berdua. Akbar mengajak mereka masuk, tanpa mengindahkan Addar yang mengekor di belakang.

Naufal tak berhenti mengagumi interior café milik ibunya, hingga ia digiring menuju bagian belakang, melewati dapur hingga sampai di sepetak ruangan outdoor. Addar baru pertama kali melihat ruangan tersebut. Ada banyak mainan dengan lantai berlapis rumput sintesis, di tengah-tengah ada sebuah meja persegi dengan beberapa bantal mengelilinginya. Siti tengah duduk di sana. Begitu menoleh, rautnya terkejut dan berubah menjadi senyum merekah. Naufal memeluknya erat dan lama.

"Halo, Jagoan."

"Opal kangen Ibu." Addar tersenyum tipis menyaksikan Naufal yang kembali memeluk Siti. "Opal boleh nggak ikut sama Ibu aja?"

"Opal..." Addar yang bersuara. "Biar Abah yang bicara sama Ibu. Opal main dulu sama Abang-Adek ya."

Siti menunjukkan keengganannya, namun bukankah ia tak lagi melihat Addar sebagai bagian dari masa kini? Pada akhirnya ia menyerah, mengikuti keinginan Addar yang ingin berbicara di dekat pintu dapur. Lalu memenjara tubuh Siti dengan lengannya.

"Ti, please. Mas sama Naufal butuh kamu. Mas bisa melakukan apapun agar bisa kayak dulu lagi."

Siti merasa jengah, sambil mendorong tubuh Addar ia bersuara. "Sebenarnya apa yang Mas mau? Mas benar-benar butuh aku atau lebih menginginkan kekayaan Mas seperti ketika bersama denganku?"

Addar bungkam dan memilih mengangkat topik lain, "Irvan nggak akan membuat kamu bahagia—"

"Kenapa sekarang Mas begitu peduli dengan apa yang menjadi bahagiaku? Kenapa bukan dulu ketika aku masih berstatus istri Mas?"

"Mas menyesal karenanya."

"Terlambat, Mas. Aku udah menikah dan berbahagia sekarang."

"Mas tetap akan memperjuangkan kamu, Mas—"

"Pilihannya hanya dua. Berhenti bicara dan bersikap sewajarnya atau angkat kaki dari sini, Mas?!" Siti agak meraung. Matanya memerah.

"Nggak. Mas. Gak. Akan. Milih!"

"Menjauh dari istri saya!" desisan itu bergema di telinga Addar. Siti beringsut dan menyusup ke dalam pelukan hangat suaminya. Hanya dengan melirik adegan tersebut, dah Addar mendidih. Ia cemburu, tetapi untuk mempertahankan harga dirinya, ia memilih menyeret kakinya ke luar.

Untuk menuntaskan kekesalannya, Addar menendang ban mobilnya. Memasukinya dengan penuh amarah, kemudian mengendarainya dengan kecepatan penuh. Ia ingin melarikan diri menuju pub. Dipukulnya setir dan tanpa sadar, ada mobil menyalip di arah berlawanan dan tanpa ancang-ancang ia membanting setir ke arah kiri. Mendekati pohon besar di samping jongko buah-buahan; terbentur. Kepala Addar terantuk setir, lalu kesadarannya hilang seiring dengan teriakan-teriakan penduduk sekitar.

***

Selamat berpuasa, gaes!
PS: Jangan kaget kalo besok-besok tiba-tiba epilog :v

Salam cinta Shubuh,
Jihan F. Djayawisastra.

[Bukan] Wisma Impian - REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang