Jemarinya yang mulai mengurus meraba perut. Bunyi pertanda lapar sudah digaungkan perutnya sedari tadi. Namun, jangankan untuk mengenyangkan perut, sedikit camilan pun ia tak punya. Ketika rasa perih dan mual mulai melandanya, ia memilih duduk di trotoar. Ia tak peduli pakaiannya yang mulai kumal akan kian kotor, ia tak peduli orang-orang menatapnya iba. Ia memang patut dikasihani dan sering meminta belas kasihan orang akhir-akhir ini.
Ia mundur, menyandarkan diri pada birai jembatan. Menghela napas. Matanya mulai berkunang dan kepalanya makin pening. Hanya saja ia merasa tak mampu untuk bergeser ke tempat trotoar yang lebih teduh. Mungkin sebentar lagi ia akan mati. Mati karena kelaparan. Hal yang dulu tak pernah ia rasakan.
Sejak remaja, ia terbiasa hidup sendiri. Keluarganya berantakan, lalu kematian menjemput orang tuanya satu persatu. Setelahnya ia hidup bergantung kepada pacar-pacarnya yang tak pernah satu, lalu kemudian memutuskan menikah dengan Addar. Rela menjadi madu hanya karena enggan menanggung malu sendirian. Selama itu ia tak pernah kalah oleh rasa lapar. Namun kali ini, merasa ingin mengalah. Ia ingin mati saja.
Ia sepenuhnya sadar, kekalahannya kali ini diakibatkan merusak rumah tangga orang, menyakiti hati perempuan dan anak-anak dari lelaki itu. Bahkan, ia menyakiti darah daging dan dirinya sendiri.
Kali ini, ia ingin memesan nasib baik agar sedikit saja mengasihaninya. Ia ingin setidaknya penyakit memalukan ini segera lenyap dari dirinya, agar ia bisa beralih dari satu lelaki ke lelaki lain dan hidup dari belas kasihan mereka. Mungkin jika kondisinya sehat, ia bisa meraup keuntungan ketika malam; dari hasil memeras lelaki.
Tapi sayangnya ia tak bisa. Tak bisa. Nasib buruk membuatnya terpaksa mengemis. Betapa sial hidupnya yang tak pernah merasa kesusahan seperti sekarang, hingga ketika ia harus menghadapi kenyataan pahit semacam ini... ia tak punya keahlian apapun.
Pikiran untuk bunuh diri hinggap begitu saja di kepalanya. Ia sudah membulatkan tekad untuk bangkit dan melompat dari atas jembatan yang tak begitu curam. Paling tidak ia akan hanyut dan bisa saja mati kedinginan. Perlahan ia membuka mata dan mendapati seorang lelaki tampan dalam balutan seragam serba putih menatapnya prihatin.
Ayu tersenyum pelan. Mungkin ini surga, atau penjaga neraka yang menyamar menjadi pangeran tampan. Ditambah cahaya matari yang menjadi latar wajah itu kian menambah pesona. Lelaki itu membenarkan kacamatanya yang tebal.
"Mbak haus?"
Ah, mana ada malaikat bertanya seperti itu. Atau barangkali ini hanyalah ilusi. Namun tetap saja ia mengangguk, disusul bunyi perutnya yang dengan kurang ajar berbunyi nyaring. Si lelaki tersenyum maklum, lalu membimbingnya untuk bangkit.
"Saya traktir makan di warung nasi seberang rumah sakit ya," ajaknya ramah. Tetapi setan dalam diri Ayu rupanya masih ada di sana, bersemayam, perlahan perempuan itu merangkul bahu tegap si lelaki ramah. Lelaki itu tampak lebih muda, namun tak apa, sesekali mencicipi berondong tidak ada salahnya. Ia bisa menjatuhkan diri ke pelukan lelaki itu. Lagi pula, jika dilihat dari seragam rumah sakit dan penampilannya, dia sudah cukup mapan. Terlebih sikap baik hatinya bisa dimanfaatkan dengan mudah.
"O ya, saya Agan, kerja di rumah sakit itu," ia berkata begitu duduk di kursi kayu, lalu menunjuk rumah sakit bercat abu-abu di seberangnya. Mereka lantas berkenalan secara singkat, "Sebenarnya saya tidak tega melihat kondisi Mbak dan berniat ingin menawarkan sesuatu. Sungguh, saya tidak memiliki maksud terselubung. Traktiran saya ini murni karena rasa kemanusiaan. Tapi, penawaran saya agar Mbak ikut ke rumah..."
"Saya mau." ucapnya tanpa pikir panjang. Ini benar-benar nasib baik baginya. Ia akan tinggal satu atap dengan lelaki itu, memudahkan untuk menggodanya kemudian.
Agan kembali tersenyum, "Saya sedang mencari perempuan untuk membantu membersihkan rumah..."
Sebodo amat, yang penting mereka berhasil satu atap lebih dulu. Ayu langsung berkata, "Saya mau, Gan."
"Syukurlah. Kalau begitu, bisakah Mbak menunggu hingga saya selesai bekerja? Saya akan kembali menjemput Mbak kembali."
Ayu kembali mengangguk dan tersenyum senang. Akhirnya, nasib baik berpihak kepadanya.
***
Begitu menikmati senja di halaman belakangnya bersama Naufal, Addar menerima telepon. Namun wajahnya berubah murung, bukan Irvan—yang nomornya dinamai Setan, yang tertera di layarnya. Melainkan orang yang paling ingin dia hindari; Abrar. Kakak semata wayangnya.
"Halo," ia bergumam setelah memutuskan untuk menerimanya. Menghadapi kenyataan secara lebih jantan.
"..."
"Mas?"
Hening. Mungkin nggak sengaja, pikir Addar. "Mas, aku mati—"
"Mau sampai kapan kamu hidup nggak pakai otak?!"
Masih sarkas, namun Addar tersenyum. Setidaknya lelaki itu tak lagi memaknai urat. Alih-alih mendapati emosi dalam ucapannya, Addar justru menangkap nada acuh tak acuh bersarang di sana. Ia jadi membayangkan ekspresi kakaknya.
"Jangan kayak orang gila!"
Addar merapatkan bibirnya. Ingin sekali ia menimpali, 'aku memang sudah gila, Mas.' tapi rasanya ia tak perlu mengakui ketidakwarasannya di depan Naufal. Tetapi karena sambungan telepon masih berlanjut dan kakaknya seakan menunggu ia berbicara, ia bergumam, "Begitulah kenyataannya."
"Karma yang harus kamu terima," jawabnya pelan, tetapi menusuk.
"Aku tahu," bisik Addar. "Dan, kenyataan terburuk yang terjadi adalah—"
"Dia bukan anakmu."
Itu pernyataan, Addar sedikit terkejut karenanya. Tetapi biar bagaimana pun Addar tak heran, Abrar punya banyak mata dan telinga.
***
Hari sudah gelap ketika Ayu membuka mata di atas kursi kayu panjang yang dimiliki pedagang kaki lima. Lelaki itu tak kunjung menampakkan batang hidungnya hingga ia jatuh tertidur karena lelah menunggu. Lalu bunyi perutnya yang berteriak minta segera diisi membuatnya mengumpat pelan.
Ayu bangkit, menelungkupkan kepalanya di atas meja seraya mengumpat. Sialan! Dia sudah lama menunggu lelaki tampan yang akan membuatnya selamat dari nasib buruk. Lalu bunyi perutnya kembali terdengar dan meraung-raung. Di tengah bunyi riuh perutnya itu ia mendengar langkah-langkah kaki saling bersahutan.
"Mudah-mudahan orangnya masih ada ya, Pak Dok."
"Kamu ini, tahu gitu disuruh ke rumah aja langsung."
Ayu penasaran. Karena itulah ia mendongak dan mendapat dua sosok yang berjalan ke arahnya. Satunya masih sama seperti terakhir kali ia melihatnya, seorang lagi adalah orang yang paling ingin ia hindari. Orang yang masih sama seperti beberapa waktu lalu ia melihatnya. Kini sosok itu berbalut kemeja dimana lengannya sudah digulung hingga siku, rambutnya di sugar ke belakang, ia masih setampan dan sekaya dalam ingatannya. Beruntung sekali perempuan yang bersanding dengannya...
"Mbak, maaf harus menunggu lama. Dokter Irvan harus rapat..."
Ia mematung begitu mendengar nama itu disebut. Ia tak lagi mendengar kelanjutannya, dan rasanya tak ingin mendengar apa-apa. Lalu kesadaran untuk segera menjauhi mereka berdua terlintas begitu saja.
"Mbak Ayu..."
Tanpa berpikir panjang, ia berbalik dan mengerahkan tenaga untuk berlari menjauh. Dapat didengarnya mereka berdua berteriak me manggil ia untuk kembali, disusul derap langkah yang mengejarnya di belakang. Dalam kondisinya yang menahan lapar, ia rupanya masih dapat berpikir. Begitu melihat gang gelap di depannya, ia masuk. Menyusuri jalanan sempit itu, berlari kian memasuki kawasan pemukiman yang padat. Ia memutuskan untuk bersembunyi di semak-semak yang ada di beranda salah satu rumah.
Sembari meredakan deru napasnya, ia merutuk. Selama ini ia selalu menghindari tempat-tempat yang memungkinkan ia terlihat oleh orang-orang yang ada di masa lalunya. Akan ditaruh dimana harga dirinya jika tertangkap basah seperti barusan. Tapi hari ini memang hari tersialnya. Lalu rasa laparnya kian tak tertahankan. Seluruh dunianya menggelap. Bagus, akhirnya ia benar-benar akan mati kelaparan.
***
Lama sekali ndak nulis di wattpad. So, rasanya mau tahu, para pembaca—kalo masih ada, di lapak ini dari kota mana ajaaaa? Kabarnya juga gimana?
Semoga di tengah pandemi corona ini kita semua baik-baik saja~~
Salam cinta Shubuh,
Jihan F. Djayawisastra.
KAMU SEDANG MEMBACA
[Bukan] Wisma Impian - REVISI
SpiritualKetika wisma impian yang didambakan Siti Sabiya sejak masih gadis terwujud, ternyata bukan lagi perekonomian yang menguji kehidupannya. Melainkan pernikahannya. Ujian itu datang dari orang terdekatnya, Addar Quthni-suaminya, panutannya, imamnya, pem...