Part 33: Bergemuruh

4.4K 565 52
                                    

Part ini mengandung konten tidak baik. Jangan ditiru para anak remaja dan lelaki!
__

Hingga larut malam, Addar tak dapat mengenyahkan bayangan Siti ketika memasuki Alphard hitam di depan parkiran mall. Sekalipun mantan istrinya itu bersama seorang perempuan, ia tetap memiliki perasaan aneh. Ada yang meletup-letup dalam lubuk hatinya yang paling dalam. Tapi sebenarnya ia cemburu pada apa? Cemburu karena sejak berpisah dengannya Siti tampak baik-baik saja-serta bisa menikmati mobil sosialita itu, ataukah cemburu karena Siti tampak semakin cantik sedang ia tak dapat merengkuhnya sama sekali?

Addar meremas rambutnya. Perempuan itu terlalu hebat sampai-sampai mampu membuat seorang Addar merasa mati oleh kerinduan. Addar merindukan aromanya, wajahnya, dan seluruh apa yang ada dalam diri perempuan itu. Sekali lagi ia meremas rambut di kepalanya dan mengumpat pelan. Sial! Ia hanya rindu kepuasan dan pelampiasan.

Cepat-cepat ia berlari menuju kamar dan menyambar kunci mobil, mengabaikan pertanyaan istrinya tentang tujuan ia pergi tengah malam ini. Mana mungkin lelaki itu berterus terang jika ia akan mencari minuman dan seseorang untuk dimangsanya malam ini.

Pajero putihnya mulai membelah jalanan yang sudah agak sepi. Lelaki itu cukup lama berkendara ke arah utara dengan kecepatan tinggi dan berbelok ke barat ketika menemukan tempat karoke plus-plus yang diketahuinya.

Meski baru pertama kali memasuki tempat seperti ini, Addar cukup membusungkan dada. Ia masih muda dan berkharisma, ia tak perlu canggung hanya karena ingin memesan sebuah ruangan dengan seorang perempuan pengiring lagu.

Hatinya sedikit bersorak dan jauh lebih berbahagia ketika memasuki kubikel yang kata 'pemiliknya' sudah berisi perempuan cantik. Tidak hanya itu, sebotol minuman beralkohol. Ia memang gila. Addar tahu jelas soal itu; menggilai perempuan yang sudah bukan miliknya tetapi memesan perempuan lain-Tunggu, Addar terkesiap. Perempuan yang terjebak dalam kubikel ruang karoke itu bukan perempuan asing. Ia mengenakan dress selutut disertai polesan tipis yang justru membuatnya tampak lebih menarik.

Begitu bersitatap dengannya, perempuan itu bangkit, "Menyebalkan!"

Addar menyunggingkan senyum tipis, "Senang bertemu denganmu di tempat seperti ini, pelayan!"

Perempuan itu melotot mendengar penuturan mantan suami majikannya. Belum sempat pegawai kafe Siti itu menjawab, ponsel Addar berbunyi nyaring.

"Simpan emosimu itu. Aku sudah membayarmu secara penuh untuk malam ini," ucap Addar setelah menggeram rendah. Lalu lelaki itu menekan tombol hijau setelah melihat ID caller.

"Dimana?!"

"Abang nggak perlu tahu," balas Addar.

Abrar, lelaki di seberang sana, menggeram marah, "Dan membiarkan usaha lo di Jogja hangus terbakar? Kalau bukan karena Mamah Vania yang maksa, gue ndak sudi harus nelepon lo malem-malem gini."

"Tunggu! Kebakaran? Maksudnya kandang ayamku yang di Jogja?"

"Iya. Ndak ada lagi yang bisa lo ambil, udah hangus semua. Mana pegawai pada ngamuk gara-gara gaji mereka baru lo bayar separuhnya," sentak Abrar. "Kapan lo mau tanggungjawab sama diri lo sendiri? Bisanya cuma nyusahin orang sekitar doang!"

Sekalipun hubungannya dengan Abrar semrawut sejak kehadiran Ayu dan Naufal, Addar tak pernah merasa setertegun sekarang mendengar kemarahan sang kakak.

"Bego!"

Dan ucapan lelaki itu malam ini membuat malam indah yang direncanakannya pupus sudah.

"Aku ambil keberangkatan pagi nanti."

***

Siti baru saja hendak merebahkan diri jika ponselnya tidak berdering. Ia kembali bangkit menuju meja rias, mengambil ponselnya dan tersenyum ketika melihat si penelepon. Irvan.

"Udah mau tidur, ya?" Tanya Irvan setelah mengucap salam.

"Iya," jawab Siti apa adanya. Lalu Irvan tertawa pelan.

"Ya sudah, Mas tutup lagi teleponnya," jawab Irvan sambil berpura-pura menuruti keinginan Siti.

"Mas nggak mau ngobrol dulu memangnya?" Tanya Siti cepat. Takut jika lelaki itu benar-benar ingin menutup sambungan teleponnya.

"Kalau kamu mau tidur, ngobrolnya bisa besok lagi," jawab Irvan.

"Nggak kok," jawab Siti dengan pipi bersemu. Padahal Irvan tak ada di depannya, tapi ia merasa malu mengatakan itu. "Kata Mbak Athia, tadi Mas ikut meeting di RS. Gimana meeting-nya? Lancar?"

"Alhamdulillah lancar, tapi lama banget sampai beres satu jam yang lalu. Sejauh ini RS masih aman, insha Allah cukup buat membesarkan anak-anak."

"Memangnya aku udah bilang setuju gitu?" Tanya Siti sambil tersenyum jahil.

"Serius, Ti. Mas benar-benar bisa linglung kalau kamu mau mundur. Mas udah sayang sama anak-anak, udah kasih DP 50% untuk WO, gaun, seserahan, sama cincin nikah. Mas nikah sama siapa kalau kamu nggak mau?"

"Aku bercanda kok," jawab Siti sambil terkikik geli ketika mendengar nada frustasi di seberang sana. Menggoda Irvan memang sedikit mengasyikkan. Lelaki itu tidak mudah menggunakan otot, tidak seperti lelaki di masa lalunya. "Mas juga bercandanya jangan kelewatan."

"Mas nggak bercanda, Ti. Mas udah kasih DP untuk persiapan pernikahan kita. Kamu nggak perlu repot ikut urus ini itu. Tugas kamu dan anak-anak hanya berbahagia," jawab Irvan. Siti ingin protes, kenapa ia tak dilibatkan dalam hal apapun, bahkan dalam memilih tema dan gaun pengantin. "Tadinya mau ngasih kamu surprise soal persiapan pernikahan ini. Tapi seperti yang Mas bilang Tempo hari, pernikahan ini bukan tentang keinginan Mas aja. Jadi besok, Mas mau ajak kamu ke pihak WO dan gaun. Siapa tahu kamu kurang setuju."

Setelahnya lelaki itu pamit. Meninggalkan Siti dengan seluruh kedongkolannya akibat lelaki itu.

***



Part ini pasti saya edit lagi nanti ;)

Kira-kira, kenapa Irvan semenyebalkan itu sampai bikin Siti dongkol?

Salam cinta Shubuh,
Jihan F. Djayawisastra.

[Bukan] Wisma Impian - REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang