Addar mencengkeram setir mobil yang tengah dikemudikannya dengan erat. Rahangnya mengeras dan bibirnya terus saja terkatup rapat. Ayu yang baru menyaksikan ekspresi menyeramkan suaminya turut memilih bungkam. Bukan tanpa sebab, perempuan itu sempat menanyakan tentang pemeriksaan lanjut bersama dokter spesialis kulit dan kelamin seperti yang disarankan dokter Irvan. Tetapi Addar tak menggubris dan menyeret kedua kakinya menuju parkiran. Sementara Ayu hanya mampu mengikuti dan membiarkan suaminya tetap dalam mode diam yang menakutkan.
Addar membanting setir, membelokkannya memasuki areal rumah besar mereka. Lelaki itu turun setelah membanting pintu mobil pajero-nya. Sedangkan Ayu tetap mengekor langkah Addar yang kini sudah memasuki rumah. Begitu tiba di ruang tamu, Ayu dikejutkan dengan suara barang pecah dan teriakan lelaki itu.
"Sialan!" Umpatnya masih dalam teriakan. Disusul suara guci biru yang sengaja dibenturkan lelaki itu pada lantai marmer di bawahnya.
"Kamu kenapa sih, Mas?"
"Masih nanya kenapa? Gara-gara kamu aku jadi penyakitan begini," balas Addar.
"Jadi Mas menyalahkan aku? Mas pikir cuma Mas yang merasa terpukul? Nggak, Mas! Aku juga kepingin menyalahkan Mas karena suka gonta-ganti perempuan sesering mengganti celana dalam," timpal Ayu dengan berani. Emosinya menjadi tampak ke permukaan begitu Addar terlihat melimpahkan kesalahan kepadanya. Tanpa perkiraan Ayu, Addar menampar pipi perempuan itu sekuat tenaga hingga membuatnya tersungkur di atas lantai.
Perih di pipinya memaksanya untuk mengeluarkan setetes air mata. Addar tak tanggung-tanggung menamparnya, dan ia meyakini bahwa beberapa saat kemudian jejak jemari lelaki itu akan membekas kemerahan.
"Katakan itu pada dirimu sendiri, Ayu! Sejauh ini perempuan yang kusentuh hanya kamu dan mantan istriku," tukas Addar. Ia lantas mendengus, terdengar menertawakan dirinya sendiri. "Sudah berapa banyak lelaki yang menyentuhmu?! Aku tahu kamu tidak gadis lagi ketika pertama kali kita melakukannya."
"Kita sudah sepakat untuk tidak mengungkit hal itu, Mas. Kamu sudah berjanji untuk menerima bagaimanapun keadaanku," sentak Ayu tak terima meski berurai air mata. "Mas terlihat melimpahkan seluruh penyakit ini menjadi kesalahanku. Tidakkah Mas berpikir bahwa bisa saja mantan istri kamu yang menularkannya pada kita! Bisa saja dia ingin berpisah karena sudah tahu jika dia penyakitan dan suatu saat kita akan tertular. Aku yakin sekarang dia merasa puas karena rencana balas dendamnya berhasil—"
Ucapannya terhenti ketika jemari besar Addar mencengkeram rahang Ayu yang masih terduduk di lantai. Lelaki itu membungkuk dan memaksa kepala perempuan itu agar tetap mendongak ke arahnya.
"Jangan pernah sekalipun kamu menjelekkan dirinya di hadapanku," tegas Addar sembari menyentakkan tangan. Membuat wajah dengan lelehan air mata itu berpaling ke arah lain.
"Karena Mas masih sangat mencintainya, kan?" Addar bungkam, lalu ia mendengar suara isak tertahan perempuan itu. "Kapan Mas bisa berhenti memikirkan perempuan tidak berguna itu?!"
"Jaga bicaramu, Ayu. Bagiku dia dan kedua anakku lebih berguna dibanding kehadiran peremp—" Addar menggantung kalimatnya begitu suara gemetar Naufal memanggilnya. Ketika menoleh, Addar mendapati anaknya tengah menangis di anak tangga pertama.
"Abah... Dedek bayi. Dedek bayi..." Ucapnya disela isakan.
Mendengar nada panik bersarang dalam kalimat Naufal, mau tidak mau Addar menunda keinginan untuk terus mendebat istrinya. Ia berjalan cepat menuju lantai atas tanpa menunggu kelanjutan anak lelakinya, ia juga membiarkan Ayu tergopoh-gopoh di belakangnya.
"Ada apa dengan dedek, Pal?"
"Dedek... kejang," cicit anaknya yang membuat Ayu dan Addar mempercepat langkah kaki mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
[Bukan] Wisma Impian - REVISI
EspiritualKetika wisma impian yang didambakan Siti Sabiya sejak masih gadis terwujud, ternyata bukan lagi perekonomian yang menguji kehidupannya. Melainkan pernikahannya. Ujian itu datang dari orang terdekatnya, Addar Quthni-suaminya, panutannya, imamnya, pem...