Selesai mengantar Naufal, Addar memarkirkan mobilnya tepat di depan halaman cafe milik Siti. Sepi. Tetapi jarum di arlojinya sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh. Tidak mungkin cafe ini belum buka, tak mungkin pula cafe ini tutup secara paksa. Lalu ketika melihat seorang perempuan tergopoh-gopoh membuka pintu gerbang, kedua mata Addar berbinar. Setidaknya amplop berisi sejumlah uang di sampingnya akan segera sampai pada puannya.
Ia memutuskan untuk turun dan membuntuti kemana perempuan itu melangkah pergi, termasuk ketika ia memasuki cafe dan menurunkan kursi-kursi di atas meja. Tetapi ketika perempuan itu berbalik dan menatapnya dengan keterkejutan yang tidak ditutup-tutupi, senyum sumringah Addar luntur seketika.
"Mas, sedang apa? Cafenya baru saja buka. Pegawai juga belum datang semuanya," ucap perempuan yang baru dia sadari mengenakan seragam pegawai.
"Saya..." Ucap Addar sambil mengusap tengkuknya. "Saya akan menunggu pemilik cafe datang."
Lawan bicaranya mengerutkan kening, "Maksud Mas, Mbak Siti?"
Addar mengangguk. "Kira-kira kapan Siti datang kemari?"
"Tidak tentu. Malah beberapa pekan ini seringnya tidak pernah datang," jawabnya tak acuh. Ia menurunkan kursi terakhir sebelum melenggang pergi menuju dapur. Addar merasa pegawai Siti yang satu ini begitu kurang sopan dan mengabaikannya. Jadi sekembalinya pegawai itu dari bagian belakang, ia hendak memberi pelajaran.
"Silakan diminum. Hanya ada air putih saja," ucapnya sambil meletakkan sebotol air mineral. "Jika masih ingin menunggu, silakan duduk dan memesan sesuatu."
"Kamu tidak pernah mendapat training? Saya suami pemilik cafe ini," ucap Addar sedikit jumawa. Dari tempatnya berdiri, Addar dapat melihat tubuh pegawai perempuan itu menegang karena terkejut. Perlahan Addar menyeringai, semoga saja apa yang dikatakannya barusan diamini oleh para malaikat.
"Setahu saya, Mas dan Mbak sudah lama berpisah," jawabnya sambil lalu. Begitu melihat seorang pegawai lain datang dari arah belakang dan mendekati si perempuan, ia kembali mengabaikan keberadaan Addar dengan memberi petuah bagi pegawai lelaki tersebut.
"Kamu kalau saya pecat nggak akan bisa balik lagi ke tempat ini," sinis Addar. "Saya heran kenapa Siti menerima kamu bekerja di sini."
"Saya nggak akan keluar kalau bukan Mbak Siti sendiri yang memintaku keluar dari tempat ini," balasnya tak mau kalah.
"Kamu-"
"Bisa nggak kalian nggak adu mulut sampai pengunjung pada keluar?" Tanya Siti memutus rasa geram Addar. Tika, pegawai perempuan itu tertunduk malu. Seharusnya ia memang tidak bersikap menyebalkan. "Mas juga. Setiap ke sini selalu bikin aku kesal."
"Maaf, Mbak. Aku nggak bermaksud bikin pelanggan pada lari," cicit Tika.
"Sudah, tak apa. Mbak tahu kamu lagi banyak pikiran, tapi jangan diulangi lagi," jawab Siti. "Lanjutkan saja pekerjaannya, Tik. O ya, Mbak minta tolong ingatkan Mbak soal sepatu Akbar yang ketinggalan di ruang belakang. Mbak kemari cuma mau ambil itu saja."
Kemudian tatapannya beralih pada Addar, "Kenapa?"
"Bisa kita bicara empat mata saja?"
Siti mengangguk mantap sebelum melangkah keluar dan memilih kursi di dekat halaman samping. Sementara Addar hanya mengikuti dengan hati bersorak kegirangan. Rasanya masih seperti mimpi dapat menyaksikan Siti berada dalam jarak sangat dekat dengannya. Lelaki itu tersenyum lebar.
"Gimana kabar anak-anak?"
"Alhamdulillah. Sehat dan baik-baik saja," jawab Siti. "Seharusnya Mas langsung menemui mereka, daripada terus-terusan datang ke cafe. Biar kita bukan suami-istri lagi, kamu tetap ayah mereka, Mas."
KAMU SEDANG MEMBACA
[Bukan] Wisma Impian - REVISI
EspiritualKetika wisma impian yang didambakan Siti Sabiya sejak masih gadis terwujud, ternyata bukan lagi perekonomian yang menguji kehidupannya. Melainkan pernikahannya. Ujian itu datang dari orang terdekatnya, Addar Quthni-suaminya, panutannya, imamnya, pem...