Table Number 16

23.7K 1K 11
                                    

Aku menghembuskan nafas kasar sambil menatap seorang pria yang tengah menghisap rokok di tangannya dari sela-sela barisan mesin coffee maker dihadapanku.

"Lagi-lagi, Ia duduk di meja itu." Batinku berbicara.

Oh iya, sebelumnya aku akan memperkenalkan diriku. Namaku Veronna Seanee Carl. Banyak sekali orang yang salah menyebut nama tengahku, tapi sebenarnya cara membacanya yang tepat adalah 'Sianie'.

Usiaku 21 tahun, dan sudah hampir 1 tahun aku bekerja sebagai barista juga merangkap sebagai pelayan di sebuah cafe kecil bernuansa cozy di pinggir kota tempatku tinggal yaitu Dallas. Lebih tepatnya aku telah bekerja di cafe ini selama 9 bulan.

Hidupku sangatlah tenang, aku merasa tak memiliki banyak hal yang harus kuperhatikan ataupun kupikirkan selain ibuku. Dalam hidupku, aku tak punya siapapun kecuali ibuku. Ya, aku terlahir sebagai anak tunggal dan ayahku telah meninggal dunia semenjak usiaku 9 tahun.

Ibuku tinggal di kota terpencil yang biaya hidupnya lebih murah, itu semua dilakukannya agar bisa meringankan bebanku untuk menghidupinya. Sementara aku sendiri disini tinggal di sebuah rumah kecil yang letaknya tak jauh dari cafe tempatku bekerja ini.

Sederhana sekali, hidupku setiap harinya hanya bekerja, dengan letak tempat kerja tak jauh dari rumah, dan setiap bulannya aku mengirim uang pada ibuku.

Tapi setenang-tenangnya hidup seseorang, tak mungkin bila tak ada masalah sama sekali bukan? Sejauh ini aku masih nyaman dengan hidupku ini.

Hanya saja.. Aku selalu merasa terganggu dengan kehadiran pria yang sedaritadi kuperhatikan secara sembunyi-sembunyi itu.

"Oi! Jangan melamun." Pekik seorang wanita seraya menepuk bahuku membuatku terperanjat, tapi untungnya cangkir kopi ditanganku tak lepas dari pegangan.

"Roxy, y-ya Tuhan." Tukasku terbata sambil menepuk-nepuk dadaku, dan bersamaan dengan itu, kini dapat kulihat pria tadi tengah menatapku dari meja yang letaknya ada di seberang counter kasir dan para barista, dimana Ia selalu duduk disana setiap harinya.

"Kau ini, jangan melamun, Ronna. Tuh, Jeremy menyuruhku membangunkanmu dari mimpi di siang bolongmu."

Aku menelan ludah ketika kini Roxy menunjuk seorang laki-laki yang tengah menatapku dari balik monitor kasir. Dan tidak lain, laki-laki itu adalah bossku alias pemilik cafe tempatku bekerja, Jeremy Walter.

"Ah, maaf, boss." Ujarku menatapnya dengan cengiran bodoh di wajahku membuat pria itu memutar bola matanya dan menunjuk kopi di tanganku dengan dagunya.

Hubunganku dan Jeremy tidak seperti layaknya atasan dan bawahan. Jeremy masih sangat muda, usianya bahkan hanya 2 tahun diatas usiaku, dan Ia memperlakukanku beserta semua pegawainya seperti teman-teman sebayanya. Makanya, aku merasa sangat nyaman bisa kerja disini. Jeremy merupakan seorang pengusaha muda yang tengah merintis karirnya dengan cara membuka cafe kecil-kecilan.

Aku kini berbisik pada Roxy, teman kerjaku yang juga adalah pegawai di cafe ini. "Roxy, maaf, bisa tolong antarkan kopi ini ke meja nomor 16?"

Aku menatap Roxy yang kini menghela nafas panjang sebelum akhirnya mengambil cangkir kopi di tanganku. "Ah, seperti biasa, kau tak pernah mau mengantar pesanan ke meja itu. Aku heran padamu."

Tanpa banyak bicara, kini Roxy tengah melangkahkan kakinya sambil membawa kopi yang tadi kubuat menggunakan nampan dan mengantarkannya ke meja nomor 16, tempat dimana pria itu tengah duduk dan merokok.

Aku bisa melihat Roxy sedikit berbincang dengan pria itu sebelum akhirnya aku memutuskan untuk membalikkan tubuhku karena tak ingin terlihat sedang memata-matai mereka.

Sebenarnya, aku tahu nama pria itu. Dia adalah Julian Benjamin Rost. Jika kalian ingin tahu, semenjak aku bekerja di cafe ini, setiap hari, aku selalu melihatnya datang kemari untuk sekedar minum kopi dan merokok. Kuulangi lagi, setiap hari, lebih jelasnya tanpa absen sehari pun. Memang tidak sepanjang hari Ia ada di cafe ini, tapi setidaknya dalam sehari Ia akan menghabiskan waktu 1-2 jam menongkrong di meja nomor 16 di waktu yang tak tentu. Ia bisa datang di pagi, siang, atau sore hari. Tapi sejauh ini, kurasa Ia belum pernah datang di malam hari. Dan kebetulan, aku bergantian shift dengan pegawai lain di sore hari, jadi setiap hari aku akan pulang pukul 4 sore karena akan digantikan dengan pegawai lain yang akan bekerja hingga larut malam.

Sebenarnya pria itu tak mengganggu siapapun. Tapi tetap saja, semua pegawai pasti merasa aneh karena Ia selalu menyempatkan dirinya datang kemari seolah Ia tak punya aktivitas. Tapi lama-kelamaan kami sudah terbiasa dengan pelanggan kami yang satu itu. Bahkan Jeremy selaku boss kami bersyukur karena secara tidak langsung pria itu ikut menambah pundi-pundi uangnya.

Meski para pegawai sudah terbiasa dengan kehadiran pria itu, aku tetap saja selalu merasa janggal. Aku mengenal pria itu, dan bisa kukatakan bahwa akulah alasan mengapa pria itu selalu datang ke cafe ini. Dan karena itu, aku tak pernah mau sekalipun mengantarkan pesanan ke mejanya, hingga Jeremy, Roxy, dan pegawai lain pun sampai hafal kebiasaanku yang selalu meminta tolong pada mereka untuk mengantar pesanan ke meja pria yang bernama Julian itu.

Tak lama kemudian, Roxy kembali dan kini berjalan pelan menghampiriku.

"Pria tampan tapi misterius itu menanyakanmu, Veronna."

Aku mengernyitkan dahiku. "Apa?"

Benar, kan? Julian Rost memang mengarahku.

"Sebenarnya kau ini mengenal pria itu, ya? Aku bingung, semenjak kau bekerja disini, Ia setiap hari datang kesini, dan kau tak pernah mau melayaninya. Sebenarnya ada apa? Aku penasaran."

Aku menggaruk tengkukku yang tak gatal dan tak menghiraukan pertanyaannya. "Memang Ia bilang apa padamu, Xy?"

"Ia bilang, 'Mengapa tidak Veronna yang mengantarkannya? Tadi aku melihat Ia yang membuat kopi ini. Tapi mengapa selalu orang lain yang mengantarkan pesananku?' Oh astaga, Ia bahkan tahu namamu. Seram."

Roxy menautkan pangkal alisnya sambil melanjutkan kalimatnya, "Tapi saat kutanya memang dia siapa, Ia mengatakan bahwa Ia adalah temanmu."

Aku menggelengkan kepalaku sambil tersenyum miring mendengar ucapan Roxy. "Ya memang, kita saling mengenal. Tapi aku tak mau menemuinya, kumohon kau mengerti ya, Xy."

Roxy mendengus sebal lalu kembali memberikanku tatapan bingung, "Atau jangan-jangan, pria itu mantan kekasihmu, hm?"

"Sudahlah, ayo kita kembali bekerja." Ujarku meninggalkan Roxy dengan segala kebingungannya dan menutup segala pembicaraan kami tentang pria misterius itu.

***

Halo, readers!
Selamat datang di laman ceritaku ^^
Ini adalah cerita pertamaku. Sebenernya cerita pertama di akun ini sih, karena aku sebelumnya udah pernah nulis beberapa cerita juga di akun lain dan salah satu ceritaku disana sempat nyetak ranking 3 untuk genre Romance.
Tapi entah kenapa rasanya aku pengen coba untuk nulis cerita baru di akun yang berbeda buat dapet nuansa baru. Semoga kalian penasaran dengan jalan cerita ini yaaa!

Mohon jangan ada silent readers, kalau kalian suka suatu cerita, tolong beri apresiasi kepada penulis dalam bentuk votes ya, guys.

Please stick out with this story! ❤️
9 April 2018.

My Mysterious CustomerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang