He's Jobless

3.8K 287 20
                                    

Veronna's Point of View

"Terima kasih, Jer. Aku lagi-lagi merepotkanmu."

Jeremy melemparkan sebuah senyum manis kearahku kemudian menggelengkan kepalanya pelan.

"Repot? Siapa bilang? Aku senang membantumu dan aku ingin kau beristirahat."

Aku hanya menundukkan kepalaku mendengar ucapan Jeremy yang selalu terdengar tulus di telingaku.

"Aku minta maaf Jer, aku tak tahu sampai kapan aku terus seperti ini. Rasanya seperti aku hanya memakan gaji buta."

Siang ini Jeremy mengantarku pulang karena aku merasa tubuhku sedang tak baik-baik saja. Ya, aku pulang lebih awal karena tadi aku hampir terjatuh saat sedang memasak. Itu semua terjadi karena tiba-tiba kepalaku pusing setengah mati.

Sebenarnya aku sudah merasa baikkan setelah minum dan duduk beberapa menit, tapi tentu saja, Jeremy tak membiarkanku lanjut bekerja. Ia langsung menyuruhku untuk beristirahat dan mengantarku pulang.

Rasa bersalah terus menggerayangi perasaanku, tapi Jeremy tampak begitu tulus, pria itu terus memperingatkanku untuk mengutamakan kesehatanku dan janin di dalam kandunganku. Entahlah, Ia bukan ayah dari bayiku, tapi Ia bersikap layaknya seorang suami untukku. Perhatian darinya tak pernah luntur untukku.

"Tak perlu minta maaf, mengerti? Aku telah menganggapmu seperti adikku sendiri, jadi aku juga harus memperhatikan calon keponakanku."

Aku segera mendongakkan kepalaku untuk menatap wajah Jeremy ketika pria itu menganggap bayiku adalah calon keponakannya. Tapi entah mengapa, senyum yang tampak getir itu menghiasi wajahnya.

Aku tersenyum dan melingkarkan kedua lenganku di tubuhnya yang besar, "Kau memang kakak terbaik yang kumiliki."

Aku merasakan pria itu terkekeh kecil sambil mengacak rambutku pelan.

"Masuklah. Wajahmu sangat pucat, aku tak ingin kau pingsan disini. Pingsanlah di dalam rumahmu agar aku tak melihatnya dan tak menjadi khawatir."

Aku tertawa kecil mendengar celotehnya sebelum akhirnya melepas pelukanku.

"Tolong berikan kode kepadaku jika kau mulai terpikir untuk memecatku, ya? Agar aku tak terpukul dan bisa memikirkan pekerjaan apa yang bisa kucari."

Jeremy memutar bola matanya, "Haish. Kau ini. Apa kau menginginkan aku untuk benar-benar memecatmu? Diamlah, aku sudah bilang aku takkan memecatmu jika kau bolos bekerja karena sakit. Kecuali kau bolos untuk bersenang-senang, apalagi berpacaran."

Jeremy mendengus untuk menutup kalimat panjangnya membuatku meninju bahunya pelan, "Sudahlah, aku hanya bercanda."

"Kalau begitu, aku masuk ya. Terima kasih telah mengantarku pulang, boss."

Jeremy mengangguk pelan dan membiarkanku melangkah masuk ke dalam rumah. Aku menghela nafas panjang setelah masuk ke dalam rumah dan langsung melangkah masuk ke kamar.

Aku terus memijat pelipisku yang masih terasa sedikit berdenyut. Tapi, detik berikutnya dahiku mengernyit ketika menatap Julian yang tengah berdiri didepan jendela kamar, pandangannya masih menuju kearah pemandangan gerbang luar rumahku.

"Ju? Kau di rumah?"

Julian terdiam tanpa bergerak sedikitpun, membuatku semakin bingung.

"Julian, ayolah, jangan bermain-main."

Julian memutar tubuhnya dan menatapku tanpa ekspresi, membuatku segera melangkah kearahnya dan mendaratkan satu tanganku di pipinya.

"Kenapa? Kenapa kau di rumah?" Tanyaku bingung.

My Mysterious CustomerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang