Veronna's Point of View
Aku menatap pantulan tubuhku yang ada di cermin besar di kamarku. Dengan senyum lebar kini aku mengelus perutku yang tampak sudah mulai membuncit.
Aku tak sabar karena sepertinya sekitar 1 atau 2 bulan lagi, aku sudah bisa mengetahui jenis kelamin bayiku. Kemarin aku sudah menyempatkan diri untuk pergi check up kandungan dan dokter mengatakan janinku terus berkembang dengan baik, dan itu membuatku sangatlah bahagia.
Meskipun saat ini aku tengah bahagia, tapi sudah 2 hari aku tak bertemu Julian. Terakhir bertemu pria itu adalah saat aku berangkat bekerja 2 hari yang lalu. Padahal siang harinya Ia sempat mengantar bekal makan siang untukku, tapi aku tak bertemu dengannya karena Roxy mengatakan Ia sedang terburu-buru.
Aku tak tahu Julian terburu-buru untuk pergi kemana. Tapi ya sudahlah, mungkin Ia sibuk dengan urusan pekerjaannya. Kemudian, hari ini pun pria masa bodoh itu tak menunjukkan batang hidungnya di hadapanku.
Tapi aku tak boleh terus bergantung padanya, aku hanya belum menghabiskan waktu dengannya selama 2 hari, kenapa harus bad mood? Bukannya sebelum bertemu Julian, aku selalu bahagia dengan kondisiku meski aku selalu sendirian?
Senyum kecil kembali terukir di wajahku ketika kini aku menyibak piyama yang kukenakan.
"Apakah kau bisa beritahu ibumu, wajahmu akan seperti siapa nanti, hm? Kau lebih suka aku, atau ayahmu?"
Aku berujar pada diriku sendiri seperti orang idiot, tapi kurasa mengajak bayi di dalam kandungan berbicara, bisa membuatnya berkembang lebih baik. Jadi, tidak ada salahnya.
"Kumohon lahir dan jadilah persis denganku, karena ayahmu itu tak punya perasaan." Aku memutar bola mataku sebelum akhirnya terkekeh geli setelah mengucapkannya.
Ya, Julian memang cuek, tapi rasa sayangku kian bertambah padanya dari hari ke hari. Kuharap bayiku mengetahuinya dan merasa bahagia karena aku bisa membuka hatiku untuk ayah kandungnya itu.
Dengan tiba-tiba, kepalaku sontak menoleh kearah jendela ketika mendengar seseorang memanggil namaku, dan dengan perasaan tak sabar aku kini berlari kecil kearah pintu rumahku yang tertutup rapat karena ini sudah pukul 10 malam. Aku yakin benar itu suara Julian.
Aku membuka pintu rumahku dan melempar senyum lebar kearah Julian yang kini tengah berdiri didepan gerbang rumahku membawa sebuah ransel besar di punggungnya.
Meski hari-hari kemarin aku jengkel karenanya, ternyata perasaanku tak bisa berbohong, aku merindukannya setelah hampir 2 hari Ia tak menemuiku.
"Hai?" Sapaku sembari tersipu dan berlari kecil kearah gerbang dengan kakiku yang telanjang tanpa memakai sendal.
"Eiii, sudahlah tak perlu berlari seperti itu." Julian meringis pelan membuatku memperlambat langkah kakiku namun tak menyurutkan senyum yang masih mengembang di bibirku.
"Kau akan menginap lagi, ya?" Tanyaku lugu membuat pria itu tersenyum dan mengangguk.
"Tentu saja."
"Kukira kau takkan menemuiku hari ini." Ujarku pelan sambil menghela nafas panjang, tapi Julian merengkuh daguku dengan tangannya yang menerobos ke sela-sela gerbang rumahku.
"Hm? Mana tahan tak bertemu denganmu terlalu lama."
Panas kini menjalar dan berkumpul di kedua pipiku mendengar ucapannya. Entah mengapa aku merasa semakin hari Ia semakin menjadi romantis padaku, padahal aku belum mengakui perasaanku yang ingin diperlakukan romantis olehnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
My Mysterious Customer
Romance9 April 2018 - on going Halo, namaku Veronna Seanee Carl. Aku berusia 21 tahun dan bekerja di sebuah cafe di pinggir kota Dallas. Judul kisahku adalah My Mysterious Customer, tapi jangan kalian pikir bahwa aku memiliki sebuah cafe. Aku hanyalah seor...