Author's Point of View
Julian meremas rambutnya frustrasi sebelum akhirnya mematikan api dari sebatang rokok yang semula Ia hisap.
Sial. Julian terus merutuki dirinya di dalam hati karena Ia merasa seperti pria bodoh yang tak berguna saat ini. Bayangkan saja, saat ini tunangannya sedang hamil besar, tapi malah wanita itu yang bekerja, bukannya dirinya yang mencari uang demi memenuhi kebutuhan wanitanya itu.
Sudah sekitar lebih dari seminggu Ia terus menjadi pengangguran. Tapi, hari ini Ia sudah tak bisa lagi terus berdiam diri, merenung dan pada akhirnya hanya menghabiskan waktu dengan sia-sia. Ia harus segera mendapatkan pekerjaan yang memang akan sangat sulit Ia dapatkan karena Ia tak memiliki surat keterangan lulus kuliah. Julian sangat menyesal mengingat Ia memutuskan untuk tak menyelesaikan studinya dahulu dan karena ibunya telah memberikan segala warisan kepadanya.
Meski begitu tetap saja, pria itu tak boleh putus asa. Apa itu putus asa? Jika Ia melakukan itu, sama saja Ia akan membawa petaka bagi Veronna. Bukankah sudah kodrat seorang pria untuk menafkahi wanitanya? Julian harus menjadi pria yang bertanggung jawab demi Veronna dan anak mereka. Ini adalah pertama kali dalam hidupnya, Julian harus belajar untuk bertanggung jawab dan berkorban demi orang lain.
Veronna's Point of View
Aku melangkahkan kakiku perlahan menyusuri jalan pulang ke rumah. Kurasa aku telah melanggar perintah dokter kandunganku. Ia selalu mengingatkanku untuk tidak kelelahan saat Ia tahu bahwa aku adalah seorang pekerja. Dokter mengatakan jika aku kelelahan saat hamil, aku pasti akan banyak merasa sakit. Dan sekarang aku telah merasakannya.
Dalam 1 bulan aku seringkali merasa sakit, entah pusing, ataupun mual. Kini aku merasa tubuhku begitu lemas, dan aku akhirnya memutuskan untuk mengambil jatah off besok.
Ini baru pukul 5 sore dan langit masih cukup terang untukku sehingga aku tak perlu terburu-buru melangkah pulang ke rumah. Tapi entah mengapa, aku merasa sangat excited untuk segera sampai di rumah dan melihat wajah tunanganku yang seringkali membuatku jengkel itu. Kurasa aku merindukannya.
Aku mengernyitkan dahiku ketika tiba-tiba seorang anak kecil yang berusia sekitar 2-3 tahun berlari kearahku dan hampir menabrak kedua kakiku, membuatku tersenyum dan berusaha menjongkokkan diriku meski rasanya cukup sulit.
"Hello? Kau sedang apa sayang?" Tanyaku menatap kedua manik mata anak lelaki berambut ikal dihadapanku sambil memegangi kedua pundak mungilnya, tapi anak itu tak menjawab.
"B-balon" Ucapnya terbata ketika menatap perutku yang saat ini sudah terlihat buncit. Kurasa anak ini belum mahir berbicara.
"Kau punya balon ya" Ujarnya sekali lagi, namun belum sempat aku menjawab, kini anak itu tengah memukul-mukul perutku seolah Ia sedang memainkan sebuah bola karet membuatku meringis sambil menahan kedua tangannya.
"E-eh, ini bukan balon, sayang." Pekikku mencoba berdiri, namun detik berikutnya aku mendengar suara seorang pria memanggil-manggil kearah kami.
"Astaga, Matthew!" Teriak pria yang kurasa adalah ayahnya itu sambil berlari kearah kami.
"Ya Tuhan, Nona maafkan anakku. Apa Ia menyakitimu?" Tanyanya menggaruk tengkuknya yang tak gatal sambil mengangkat anak itu ke dalam gendongannya.
Aku hanya terkekeh canggung menatapnya, "T-tidak apa-apa, Ia belum mengerti." Ujarku sabar, membuat pria itu terus menunjukkan ekspresi bersalahnya padaku.

KAMU SEDANG MEMBACA
My Mysterious Customer
Romance9 April 2018 - on going Halo, namaku Veronna Seanee Carl. Aku berusia 21 tahun dan bekerja di sebuah cafe di pinggir kota Dallas. Judul kisahku adalah My Mysterious Customer, tapi jangan kalian pikir bahwa aku memiliki sebuah cafe. Aku hanyalah seor...