Strange Woman

5.2K 304 6
                                    

Veronna's Point of View

Aku menatap cincin yang kini melingkar di jari manis tangan kiriku. Aku tidak percaya Julian akan melamarku secepat ini, sebelumnya aku selalu mengira bahwa pria itu akan menggantungkanku bahkan sampai anak kami lahir nanti.

Meski begitu, aku tetap kebingungan memikirkan perasaannya. Dari awal hingga kini, Julian masih sosok yang misterius bagiku. Mungkin saat ini aku memang sudah memegang status sebagai tunangannya, tapi saking mendadaknya, aku masih bimbang apakah aku memiliki hak untuk menanyakan atau mencampuri urusan pribadinya.

Bagiku sangat janggal, yang semula aku sama sekali tak mau berurusan dengannya, tak ada hubungan apa-apa dengannya, dan tiba-tiba menanyakan hal yang pribadi kepadanya. Padahal, aku terkadang penasaran dengan perasaannya. Ingin sekali bertanya 'Apa kau mencintaiku?' atau 'Apakah kau menyesal sudah sampai sini bersamaku, atau malah bahagia?' dan semacamnya. Tapi pasti akan sangat menyebalkan, bukan?

Aku menyesal kemarin telah terlanjur bertanya padanya, 'Mengapa kau tidak tinggal bersamaku di rumahku?' Dan Ia dengan cepat menjawab 'Tidak, Ronna. Kita akan tinggal bersama setelah menikah nanti, rasanya aneh jika aku yang harus tinggal di rumahmu. Seharusnya kaulah yang pindah ke rumahku. Aku janji akan membeli rumah yang lebih layak untuk kita tinggali nanti setelah menikah.'

Dan setelah itu, aku merasa Julian berpikir aku ingin buru-buru tinggal bersamanya. Tampak murahan, bukan? Terlebih lagi, Julian segera menolaknya mentah-mentah. Padahal maksudku, aku ingin Julian ada di sampingku jika aku merasa kesakitan atau kesulitan karena kehamilanku nanti. Tapi Ia pasti salah paham.

Dari awal kami dekat, Julian tak pernah menyatakan perasaannya. Tidak seperti saat aku selalu mengabaikannya dulu, Ia selalu mengaku bahwa Ia sangat ingin bersamaku. Aku kadang merasa ragu, apakah sebenarnya Ia masih mencintaiku? Dan saat emosiku sedang tak stabil, aku bisa merasa sangat sedih sampai ingin menangis memikirkannya. Julian adalah pria yang sangat cuek, jika kalian menyadarinya.

Tapi ya sudahlah. Aku akan bersabar hingga Ia dengan sendirinya mengatakan padaku bahwa Ia masih mencintaiku, dan aku akan terus menunggu momen itu.

Makan siang hari ini aku ada janji bersama Roxy, dan aku akan mengatakan padanya bahwa aku dan Julian telah bertunangan. Aku yakin, Roxy pasti akan langsung menyampaikannya pada Jeremy setelah itu. Kuharap mereka ikut senang dengan berita ini.

**

Aku melangkahkan kakiku keluar dari pintu cafe. Benar saja, Roxy sangat bahagia mendengar berita bahwa aku telah diberikan kepastian oleh Julian. Tapi aku tak tahu apakah Roxy telah menyampaikannya pada Jeremy, dan bagaimana reaksi pria itu. Kuyakin pasti Jeremy sangat senang. Tidak mungkin Ia tidak ikut senang saat orang yang Ia anggap adik akan segera berbahagia.

Ohiya, hari ini aku tidak bertemu dengan Julian, Ia mengatakan padaku bahwa 2 hari ini Ia akan sangat sibuk dengan pekerjaan kantor karena tiba-tiba ada beberapa klien yang ingin bekerjasama dengannya. Jadi mungkin saja besok pun aku juga takkan bertemu dengan Julian.

Tenang, Veronna. Hanya 2 hari, pasti takkan terasa lama. Lagipula dulu sebelum bersama Julian kan aku juga selalu bepergian kemana-mana seorang diri seperti ini.

'Jangan jadi wanita manja yang bergantung pada lelaki.' Ceramahku dalam hati.

Aku berhenti melangkah sejenak untuk mengancingkan jaketku. Perutku memang sudah agak menonjol karena usia kandunganku sudah menginjak 3 bulan, tapi setiap aku memakai pakaian pergi, perutku pasti tak terlihat karena aku selalu mengenakan jaket atau mantel tebal untuk membungkus tubuhku.

Aku mengernyitkan dahiku ketika merasa melihat wanita yang bernama Telana, kenalan Julian itu beberapa langkah dariku. Ia nampak berjalan kearahku membuatku menyipitkan mataku menatapnya sambil menunggunya sampai di hadapanku.

"Hi, Veronna." Ujarnya tenang. Wanita itu selalu berpakaian rapi dan tampak mewah, membuatku rasanya minder berada di dekatnya. Ia terlihat sangat kaya, dan aku sangat miskin.

"Hai?" Jawabku agak bingung.

Telana kini tersenyum, "Dimana Julian, Ve?" Tanyanya singkat.

"Julian sedang bekerja. Ada apa?" Tanyaku to the point, jika Ia tidak ada urusan denganku, aku akan segera pamit pulang kalau begitu. Aku tidak mau berurusan dengannya karena aku takut lama kelamaan bisa merasa cemburu padanya mengingat Julian mengatakan bahwa Telana menyukainya.

"Wah, kalau begitu kau sendirian ya? Mau pergi makan steak bersamaku? Aku yang traktir." Tanyanya membuatku menggaruk tengkukku yang tak gatal.

Ada 2 kemungkinan, antara wanita ini terlalu friendly dan baik hati, atau aneh dan menginginkan sesuatu makanya Ia memperlakukanku seperti ini.

"Tak usah, Tel. Aku mau pulang." Ujarku mencoba menghindarinya, tapi Ia menarik tanganku.

"Oh ayolah, masa kau menolak ajakan teman suamimu sendiri? Aku ini sahabat Julian lho."

Aku terdiam mendengar ucapannya dan kini hanya bisa menuruti langkahnya yang terus menarik tanganku.

Pada akhirnya Ia membawaku menggunakan mobilnya ke sebuah restoran mewah yang kurasa akan sangat mahal meski kami hanya makan berdua. Tapi persetan, Ia yang memaksaku kesini dan tadi Ia sudah mengatakan bahwa Ia yang traktir.

Ketika kami tengah menunggu pesanan kami, kini Telana mulai menatapku serius dan melipat kedua tangannya. "Hmmm, jadi kau sudah berapa lama kenal Julian?" Tanyanya dengan nada santai namun terdengar ingin tahu.

"Sudah sangat lama, kurasa sekitar 12 tahun." Jawabku seadanya. Telana mengangguk-angguk mengerti.

"Aku tak menyangka kalian sudah menikah, Julian kenapa tidak memberitahu padaku ya? Ia memang teman yang jahat."

Aku hanya terkekeh paksa mendengarnya. Entah mengapa perasaanku tak enak berada bersamanya seperti ini, seolah Ia berbuat baik tapi untuk menutupi niat buruknya padaku. Tapi ya Tuhan, aku tak seharusnya berpikiran jahat begini.

Aku menutup satu mataku sambil memegangi perutku ketika merasa sesuatu menyentak dari dalam perutku. Aku sudah sering merasakan hal-hal aneh dari dalam perutku, tapi dokter mengatakan selama pergerakan itu tidak terlalu menyakitkan, tidak apa-apa. Mungkin bayi di dalam kandunganku sedang berkembang.

"Kau kenapa, Ve? Sakit perut?"

Aku segera menggelengkan kepalaku cepat dan kembali meletakkan tanganku diatas meja. "Ah, aku tak apa. Sepertinya sakit maag saja." Dustaku tanpa digubris oleh perempuan berambut cokelat di hadapanku yang kini perhatiannya teralih pada jari tanganku.

"Hey, kau salah menempatkan cincinmu. Jika kau meletakannya di tangan kiri, itu artinya kau baru bertunangan. Seharusnya kau memakainya di tangan kanan."

Telana memutar matanya setelah berujar demikian. Aku rasanya ingin mendengus kesal dibuatnya, tapi aku harus bersabar, karena Ia adalah teman Julian.

"Iya, Tel. Aku sengaja memakainya di tangan kiri karena jari manis tangan kananku agak lebih kecil, jadi cincinnya kebesaran. Tapi Julian akan menggantinya nanti saat ada waktu."

Aku membalas ucapannya masih dengan kesabaran. Walaupun Telana tidak membuatku kesal secara langsung, tapi aku terus merasa emosi bahkan hanya dengan mendengarnya berbicara.

"Jadi ternyata kau ini bekerja di Walter Cafe, ya?"

Aku mengangguk singkat, sebelum akhirnya Ia kembali melontarkan pertanyaan yang semakin lama semakin detail.

"Kau tinggal dimana? Biar nanti aku mudah mengantarmu pulang."

"Ah, tak perlu. Kalau kau tidak keberatan, kau bisa mengantarku sampai di cafe saja, dan aku akan pulang ke rumahku berjalan kaki."

Telana tertawa kecil sambil memutar bola matanya lagi, "Sudahlah, biarkan aku antar kau nanti sampai di rumah. Bisa mati aku kena marah Julian jika Ia tahu aku menelantarkan pujaan hatinya setelah mengajaknya makan bersama."

Aku kembali tertawa paksa di hadapan Telana. Kuharap waktu berjalan lebih cepat agar momenku bersama wanita aneh ini segera selesai.

***

23 April 2018.

My Mysterious CustomerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang