Our First Time

6.8K 442 7
                                    

Veronna's Point of View

Saat ini aku tengah mendudukkan diriku disamping Julian. Ini masih malam yang sama dengan kejadian Raymond mencoba menyentuhku.

Padahal Raymond hampir saja melakukan hal yang sama dengan yang Julian lakukan padaku 2 bulan lalu. Entah, perbuatan mereka sama, tapi yang kurasakan berbeda. Julian melakukannya dengan penuh perasaan posesif seolah Ia sangat ingin memilikiku. Sementara Raymond, aku merasa Ia melakukannya dengan penuh amarah dan perasaan dendam padaku. Ingat-ingatlah, cara Ia berbicara seolah Ia adalah penjahat seksual padaku.

Suasana canggung masih menyelimutiku dan Julian, sepertinya karena ini pertama kalinya kami berduaan seperti ini semenjak kami saling kenal. Dan rupanya, Julian adalah seorang yang pendiam jika berada didekatku, bukan Julian yang agresif yang selama ini kukira karena Ia selalu mengekoriku kemanapun ku pergi.

Pria itu saat ini memiringkan kepalaku dan menatap leherku sebelum akhirnya Ia menempatkan ibu jarinya di sebuah titik yang membuatku meringis. Ia menekan hickey yang tadi Raymond berikan padaku.

Aku tak tahu selebar apa memar di leherku, tapi yang pasti rasanya sakit sekali saat Julian menekannya.

"Sial." Umpatnya pelan sebelum akhirnya Ia kembali menjauhkan tangannya dariku dan menundukkan kepalanya.

"Ju, apakah kau tak ingin bicara apapun padaku? Aku tak tahu kau ternyata pendiam seperti ini. Selama ini kau terlihat agresif dan terus memaksa ingin bicara padaku."

Aku akhirnya membuka topik pembicaraan. Sebetulnya aku tak paham dengan apa yang kubicarakan barusan, aku terlihat seperti seorang wanita yang awalnya menolak mentah-mentah seorang pria tapi kini justru malah terbalik jadi mengejar-ngejarnya. Ya Tuhan, kenapa bisa begini? Aku malu pada diriku sendiri.

Julian berdeham pelan sebelum akhirnya menoleh padaku. "Aku merasa gugup setiap berada didekatmu, Ve. Apalagi ini kali pertamamu mengijinkanku berbicara denganmu."

Aku terdiam mendengar ucapan Julian. Selama ini aku begitu jahat di matanya, apalagi saat aku mencaci makinya dengan semua kata kasar. Dan aku tidak menyangka, saat ini aku benar-benar tengah mengandung anaknya.

"Veronna.. Aku sebenarnya ingin minta maaf atas apa yang sudah kulakukan padamu.. Dan selama ini aku memang tidak menemuimu, tapi bukan berarti aku menghilang. Aku terus memantaumu dari kejauhan, dan aku seringkali melihatmu yang tampak kesakitan."

Aku menatap Julian yang menunjukkan ekspresi seolah Ia menyesal.

"Ju, kumohon. Jangan minta maaf soal itu lagi. Entah mengapa aku takut bayi didalam perutku mendengarnya. Jika memang Ia bisa mendengar, Ia pasti akan sedih karena kau seolah menyesali kehadirannya." Ujarku menghela nafas panjang. "Jika kau menyakitinya, sama saja kau menyakitiku."

Keheningan pasti akan menyelimuti kami lagi jika aku tidak kembali membuka suara.

"Ju, aku bersumpah, selama ini aku tak pernah sama sekali jatuh cinta padamu. Tapi semenjak aku mengandung anakmu, aku tak bisa berhenti memikirkanmu.. Sebenarnya apa yang telah kau lakukan?"

Dan kini aku kembali terlihat seperti perempuan bodoh yang menyatakan perasaannya tanpa tahu malu.

Tapi buat apalagi aku malu? Persetan. Aku bahkan sudah mengandung anaknya. Lagipula, Julian yang selama ini berusaha membuatku mencintainya, dan kini aku telah membuat harapannya terwujud.

"Veronna..." Panggilnya membuatku menoleh dan menatap kedua matanya lurus.

"Apa ini berarti, kau sudah menerimaku?"

Jantungku berdebar kencang mendengar pertanyaannya. Ya Tuhan. Apa ini? Julian selama ini terlihat seperti pria agresif yang tak tahu diri, tapi sekarang Ia berubah menjadi pria pemalu dan membuatku terlihat seperti pihak yang dominan.

Aku menghembuskan nafasku pelan.

"Ju, aku tak tahu harus bagaimana. Aku bahkan tidak pernah menyangka bahwa malam ini aku akan menghabiskan waktu bersamamu. Aku seharusnya tidak pernah melakukan ini, dan aku sudah melanggar janjiku pada diriku sendiri untuk tidak bicara padamu soal isi hatiku. Tapi.."

"Bisakah kau jelaskan padaku sebenarnya kenapa kau selalu berpikir untuk menutupi perasaanmu? Aku selama ini yakin kau bisa membuka hatimu untukku, Ve. Tapi kau selalu mencoba menepisnya."

Aku menatap raut wajah parau dan menyesal di wajah Julian, dan kini rasa sesak kembali menyerangku.

"Julian, aku tak ingin menyakiti ibumu. Dan bahkan melawan ibumu bukan hanya akan menyakiti dirinya, tapi akan menyakiti diriku dan ibuku juga."

Julian kini mengepalkan tangannya, seolah menahan emosi di dalam dirinya. "Bisakah kita lupakan soal ibuku, Ve? Aku tahu aku adalah anak yang durhaka, tapi aku benci mengingat Ia selalu menghalangi keinginanku."

Julian tampak menahan amarahnya ketika membicarakan tentang ibunya. Kurasa ibunya terlalu banyak mengekang dirinya selama ini. Aku jadi merasa kasihan pada Julian.

"Apa kau ingat ketika kau marah padaku di cafe? Lalu aku minta maaf menggunakan surat dan saputangan, lalu tidak muncul selama 3 hari di cafemu?"

Aku menganggukkan kepalaku pelan.

"Sebenarnya ibuku tak pernah tahu bahwa selama ini aku selalu menemuimu di cafe. Tapi hari itu entah darimana Ia tahu semuanya, dan aku bertengkar hebat dengannya."

...

Aku tak dapat merespon apapun selain mendengarkannya. Ini benar-benar kali pertama aku mendengar Julian mencurahkan isi hatinya, dan kurasa juga aku adalah orang pertama yang mendengarkan ceritanya seperti ini. Yang kutahu, selama ini Julian tak pernah memiliki siapapun, bahkan Ia tak pernah memiliki kekasih sebelum mengejarku. 21 tahun Ia hidup, dan baru kali ini Ia berbicara jujur pada seseorang mengenai apa yang Ia rasakan...

"Akhirnya aku memutuskan untuk tidak tinggal bersamanya lagi dan pergi. Aku akan meninggalkannya jika Ia terus mengekangku."

Julian meremas rambutnya lalu menghela nafas kasar.

"Ronna, jadi mulai sekarang tolong berhenti membicarakan soal ibuku, ya? Aku akan meninggalkannya dan akan menjagamu mulai detik ini."

Aku mengernyitkan dahiku bingung, "J-Ju.. Kau tak bisa begitu, dia tetap ibumu, dan kau tak seharusnya meninggalkannya."

Julian menatapku penuh arti, "Ve, jika Ia tak bisa jauh dariku, Ia akan mengalah dan membiarkanku mengejar apa yang kuinginkan, bukan terus menekanku seperti seekor peliharaan yang harus terus menuruti ucapannya."

"Tapi bukankah Ia hanya memilikimu, Ju? Bagaimana jika Ia kesepian? Kumohon, jangan lakukan ini. Biarkan aku hidup sendiri bersama anakku, dan kau tetap bersama ibumu. Aku bisa, Ju, kau tak perlu ada di sampingku."

Aku menahan nafas sejenak ketika Julian mengambil satu tanganku dan menggenggamnya lembut.

"Percayalah, ibuku akan baik-baik saja. Aku melakukan ini bukan hanya demi dirimu, Veronna. Tapi saat ini aku harus bertanggung jawab pada dua orang. Jika aku meninggalkan ibuku, Ia akan baik-baik saja, tapi jika aku menuruti ibuku, akan ada 2 orang yang terluka, yaitu kau, dan anakku."

Aku menelan ludah mendengar ucapan Julian. Benar, pasti berat jika harus memilih antara mengorbankan dua orang demi satu, atau mengorbankan satu orang demi dua.

"Ju, aku merasa bersalah selama ini tak pernah menjadi orang yang baik padamu. Aku baru sadar bahwa selama ini kau butuh seseorang yang selalu ada untukmu. Tapi kenapa kau bertingkah bodoh? Kenapa kau terus mengejarku yang jelas-jelas tak bisa lakukan itu? Kau bisa saja mendapatkan perempuan lain yang lebih pantas bersamamu, dan kau tak perlu memilih antara perempuan itu atau ibumu."

Julian menggelengkan kepalanya. "Aku tak tahu, Ve. Aku hanya menginginkan dirimu, dan tak pernah yang lain. Aku juga heran. Aku memang keras kepala." Ia tertawa pahit membuat jantungku berdebar begitu kencang.

"Maafkan aku atas sikapku selama ini, Ju."

***

15 April 2018.

My Mysterious CustomerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang