Feeling Empty

4.4K 274 6
                                    

"Malam ini aku menginap lagi di rumahmu, ya?"

Julian menatapku dengan senyum manis di wajahnya membuatku menghela nafas.

"Tidurlah disini kapanpun kau mau, mengerti?" Ucapku memutar bola mataku. Ia tunanganku tapi Ia berlagak seolah Ia hanya sekedar tamu, membuatku jengkel dengan sikapnya yang masih tampak seperti orang asing.

Sebenarnya hubungan apa sih di antara aku dan Julian ini?

Aku berdeham sebelum akhirnya berucap, "Ju, kenapa kau tak tinggal saja disini?" Tanyaku dengan kerut di dahi, mencoba menatapnya serius. Dan.. Sedikit memohon?

Ia menghembuskan nafasnya panjang, "Akan terlihat aneh jika aku yang harus tinggal di rumahmu, Veronna."

Aku kembali memutar bola mataku malas, "Ya Tuhan. Persetan dengan itu, toh aku tidak memiliki banyak tetangga, dan mereka pun tak peduli. Ju.. Jika kau selalu bersamaku disini, aku takkan pernah merasa kesulitan."

Julian tersenyum dan mengambil satu tanganku ke dalam genggamannya. "Meski aku tak 24 jam ada di sampingmu, tapi aku berjanji aku akan selalu ada setiap kau membutuhkanku, Ronna."

Aku mendengus kesal dan mengambil tanganku dari genggamannya itu. "Terserah kau. Keras kepala."

"Aku berjanji akan mendapatkan rumah yang lebih layak dari rumahku yang sekarang ini untuk kita tinggali bersama nanti setelah menikah, okay?"

Aku mengangguk pasrah. Nanti, setelah menikah. Jadi selama hamil, aku harus hidup sendirian seperti ini di rumahku, begitu?

**

"Veronna, apa kau sudah selesai?"

Aku menoleh ketika kini Roxy tengah berteriak kearahku yang masih sibuk menata piring di dapur cafe.

"Sebentar lagi, Xy. Tunggu ya!"

Perempuan itu mengangguk sebelum akhirnya menghilang di balik pintu dapur. Seperti biasa, aku dan Roxy sering janjian untuk mengambil jam makan siang bersamaan. Biasanya kita akan pergi ke suatu rumah makan murah terdekat.

Aku segera membuka sarung tangan karetku yang di khususkan untuk mencuci piring sebelum akhirnya melepas celemek dan melangkah keluar dari dapur.

Kulihat Roxy saat ini tengah berdiri membelakangiku dan memegang sebuah jinjingan.

"Ve, kita jadi makan siang bersama?" Tanyanya seraya menyodorkan jinjingan yang sepertinya berisi kotak makan ke arahku membuatku mengernyit.

"Tentu saja. Ini apa?" Tanyaku bingung.

"Barusan saja Julian menitipkan ini padaku. Ia bilang sudah menunggu lama disini untuk memberikan makan siang itu padamu, dan Ia sedang buru-buru jadi Ia memutuskan untuk menitipkannya padaku."

Aku mengerutkan dahiku heran. Julian menungguku untuk memberikan bekal? Hmm, sejak kapan Ia jadi pria yang romantis? Kurasa Ia mulai memikirkanku.

Tapi, Ia sedang buru-buru ingin pergi kemana barusan?

Aku hanya mengangguk pelan, "Ya sudah. Aku temani kau makan, tapi aku makan bekalku ya?"

Roxy tersenyum seraya mengacungkan ibu jarinya setuju sebelum akhirnya kami bersama-sama melangkah kearah rumah makan yang biasa kami kunjungi.

Tak butuh waktu lama, mungkin hanya sekitar 5 menit kami sampai disana. Dan seperti biasa, aku dan Roxy makan siang sambil berbincang. Memang sih, makan sambil bicara itu tak baik. Tapi kesempatan kami untuk berbincang hanya ada saat kami makan siang. Kami tak punya waktu banyak, dan setelah selesai makan kami harus kembali bekerja ke cafe.

"Julian itu pengertian sekali ya. Kurasa Ia memasaknya sendiri tuh?"

Aku mengendikkan bahuku sambil mengunyah bekal yang Julian bawakan untukku. Makanan sederhana yang isinya seperti lauk-lauk instan, kurasa Ia memang menyiapkannya sendiri dan bukan membelinya dari sebuah rumah makan.

"Aku tak tahu, Xy. Terus terang, aku tak paham banyak tentangnya."

Aku menghela nafas sambil menundukkan kepalaku, seketika tidak merasa berselera untuk makan.

"Kenapa, Ronna?" Tanya Roxy memandangku khawatir.

Aku menggaruk tengkukku yang tak gatal, "Aku tak tahu, Xy. Tapi entah mengapa aku belum merasakan kasih sayang Julian yang benar-benar padaku."

Roxy mengernyit bingung, "Ha? Maksudmu?"

"Ya.. Kau tahu kan sebelumnya aku dan Julian tak begitu dekat. Tapi setelah kami dekat pun, Julian tak begitu memperlihatkan sosok aslinya padaku. Awalnya Ia begitu pendiam, sekarang sudah lebih terbuka memang, tapi hanya sedikit. Bahkan membicarakan urusan pribadi kepada satu sama lain pun kami belum pernah. Bayangkanlah, padahal kami ini bertunangan, tapi anak sekolah yang berpacaran bertingkah lebih wajar daripada kami. Julian juga jarang sekali mengucapkan kata-kata manis yang menunjukkan bahwa Ia mencintaiku."

Roxy tertawa renyah di hadapanku sambil menyuap makanannya. "Ya Tuhan. Apa semua wanita hamil seperti ini? Kurasa kau sedang dalam fase dimana kau terlalu memikirkan hal-hal yang sepele seperti itu. Lagipula, mungkin saja Julian memang bukan sosok yang romantis, kan? Tapi dengan Ia memperhatikanmu dan membawakan makan siang seperti ini saja sudah mengungkapkan rasa sayangnya padamu, Veronna."

Aku menggeleng. "Tidak, Xy. Tetap saja aku tak merasa puas. Pria itu terasa dingin untukku, dan aku butuh sosok pria yang manis."

Roxy memutar bola matanya, "Hmm, aku tak paham tapi kurasa kau memang sedang butuh kehangatan, dan mungkin juga karena bayimu." Ia terkekeh sebelum akhirnya melanjutkan kalimatnya. "Barangkali Ia masih canggung menghadapimu, Ve. Kau ini yang pertama sekali kan untuknya? Ya sudahlah, kau bersabar dulu dan lihat perkembangannya. Jika tak ada perubahan, kau bicarakan langsung padanya dan lebih baik katakan bahwa kau butuh Ia memperlakukanmu dengan romantis."

Aku hanya bisa tertawa masam mendengar ucapan Roxy. Sebenarnya aku benar-benar merasa dilema. Memang sih, kalian tahu jelas kan ibu hamil itu butuh banyak perhatian? Tapi Julian.. Ia hanya bicara secukupnya padaku. Bahkan Ia pun jarang membicarakan tentang kandunganku. Hal ini membuatku sangat bingung dan resah karena Ia tak menunjukkan perhatiannya.

Apalagi kemarin malam saat kuminta Ia tinggal bersamaku, Ia menolaknya. Bisa-bisa lama kelamaan aku menyerah dan memilih untuk hidup sendiri lagi seperti dulu.

Aku melanjutkan makanku dalam diam. Sepertinya aku belum berani menceritakan kejadian Katherine yang menghinaku waktu itu pada Roxy. Itu terlalu pribadi, dan kurasa Julian bisa marah jika Ia tahu aku menceritakannya pada orang lain.

***

1 Mei 2018.

My Mysterious CustomerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang