Ch 17: Dadah Aris

7K 557 51
                                    


"Itu rumahnya," Dimas menunjuk suatu rumah sederhana bercat hijau.

"Yakin itu Mas?" tanyaku agak ragu.

"Ya mereka baru mengontrak dua bulanan disana," ujar Dimas, mematikan mesin mobil, "ayo turun!"

Aku segera menahan Dimas, "Aku ingin lihat dulu," Dimas pun tidak jadi membuka pintu mobilnya.

Aku memperhatikan lagi rumah sederhana yang nampak tak terawat. Halaman kotor, cat yang mulai luntur, dan jendela yang berdebu. Menunjukan bahwa penghuni rumah adalah orang yang malas, atau mungkin tidak perduli karena itu rumah orang lain alias kontrakkan.

"Aris pasti ada di rumah, belum tidur. Lampunya masih menyala," ujar Dimas. Ya, sekarang kita sedang berada di depan kediaman Aris, Cinta Pertamaku.

Ada sesuatu yang ingin aku pastikan, tentang akhir hubunganku dengan-nya. Karena aku tidak tau dimana sekarang Aris tinggal, aku meminta alamat barunya pada Dimas yang notabene sepupunya. Dengan berbaik hati Dimas mengantarku kesini. Setelah menitipkan anak-anak ke orang tuaku tentunya.

Samar-samar aku mendengar suara tawa dari dalam rumah itu. Entah mereka sedang menonton acara komedi atau mereka memang sudah akrab.

"Hahh" aku menghela napas berat. Bagaimana pun juga aku masih memiki rasa pada Aris. Mengetahui ia tertawa bahagia bersama wanita lain, pastilah membuatku merasa.. cemburu.

"Gak mau turun?"

Aku menggeleng, "Kedengarannya.. mereka sudah bahagia, kan Mas?"

"Manis sekali kamu panggil aku, Kangmas." celetuk Dimas.

"Kan.Mas. bukan Kang.Mas. huh," ralatku.

"Kamu benar-benar ingin merelakan Aris?" tanya Dimas.

"Sepertinya memang harus begitu." aku menerawang menatap jauh kediaman Aris.

"Aku gak tau mesti memberi petuah apa, karena kalian berdua sama-sama tidak bersalah," ujar Dimas, "ini takdir yang pilihannya kalian tentukan sendiri," lanjutnya.

"Hmm, aku rasa tidak apa-apa.. Irma lebih membutuhkan Aris disampingnya," ujarku pelan, "setidaknya Aris sudah memberikanku banyak kenangan so sweet, aku rasa itu sudah lebih dari cukup. Aku senang." lanjutku.

"Begitu ya," Dimas menggenggam stir mobil dengan erat, dan sebuah senyum kecil terlukis di bibirnya.

Kami terdiam beberapa menit, "Kita pulang saja. Terima kasih sudah mengantarku." ujarku tulus.

"..."

"Mas," panggilku saat Dimas diam saja.

"Eh, kamu bilang apa?"

"Masnya ngelamun sih, ayo kita pulang,"

"Kamu gak mau ketemu mereka dulu."

"Gak ah, gak mau gangguin sweet moment mereka." aku mengucek mataku, menahan tangis, "aku akan menemuinya lain kali." lanjutku.

Dimas mulai menjalankan mobilnya, "Udah ikhlas belum?"

"Insya Allah, ikhlas."

"Ridho?"

"Roma. Udah Mas ini bukan cerita religi," ingatku.

"Beli makanan dulu ya," izin Dimas, "gak enak, pulang gak bawa apa-apa."

"Hm,"

"Gitu amat sih jawabnya," ujar Dimas, "dosa Abang apa coba?"

Dimas mulai memainkan peran Abang-Adek lagi. Batinku tak rela.

Antara Duren dan Durjana©[TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang