4 - Buku Bersampul Cokelat

271 46 7
                                    

"Asli deh gue seneng banget bisa ngumpul-ngumpul sama kalian lagi." Indri berucap riang dengan senyum mengembang matanya pun berbinar menunjukkan kalau dia benar-benar merasa senang.

"Demi gue, kalian jangan pada pulang ya."

Setelah barusan berpesta dengan makanan dari sang chef andalan-
-Leya. Sekarang mereka duduk melingkar dengan permainan ular tangga di tengah. Bisa dibilang ini ritual mereka waktu masa SMA. Dengan peraturan siapa pun yang menang berhak untuk mencoret semua wajah pemain. Dan sekarang mereka melakukannya lagi sebagai bentuk perayaan atas reuni kecil-kecilan ini.

"Kangen banget nyoret wajah lo Dri, jadi nggak sabar." Andra yang duduk di sampingnya menampilkan senyum jahil.

"Jadi ngeri gue. Awas lo kalo nggak adil sama gue!" Indri menudingkan jari telunjuknya, matanya menyipit menyampaikan acaman, awas saja kalau misalnya nanti Andra mencoret wajahnya terlalu banyak.

"Anggun cuma punya lipbalm, nggak ada lipstiknya, gimana dong?" ucap Leya yang baru ikut bergabung setelah selesai merapikan piring-piring bekas pesta mereka bersama Anggun.

"Tenang gue udah antisipasi, tadi sebelum ke sini gue beli lipstik. Coba ambilin Ya, itu di tas gue."

Ucapan Ghea membuat semangat 45 mereka naik lagi. Sementara orang yang tadi dipintanya mulai membuka tas yang kebetulan berada di dekat posisi duduknya. Leya mengeluarkan lipstik berwarna merah kemudian menyerahkannya pada Anggun.

"Lah Ghe, lo mulai kayak Anggun, suka nulis diary juga?"

Ghea yang tengah berbincang kecil bersama Risky pun tertarik perhatiannya oleh ucapan heran dari mulut Leya itu. Gadis itu—Leya—tengah menimang-nimang sebuah buku bersampul cokelat yang membuat mata Ghea membelalak seketika.

"Segitunya Ghe takut curhatan lo gue baca." Leya yang melihat ekspresi tak wajar Ghea pun terkekeh pelan, Leya tahu pasti sahabatnya itu memang punya benteng tinggi untuk hal-hal pribadi.

Meskipun benar faktanya begitu, sayangnya Leya salah menafsirkan ekspresi Ghea kali ini. Bukan takut privacy-nya terbongkar, tapi buku itu ... Buku yang malam kemarin Ghea temukan jatuh di dekat kakinya, buku yang ketika mau Ghea kembalikan pemiliknya sudah tidak ada, buku yang akhirnya Ghea bawa pulang dan jika bertemu lagi Ghea berjanji akan mengembalikannya, dan buku yang Ghea simpan di dalam laci dan sangat jelas TAK PERNAH IA MASUKKAN KE DALAM TAS!

"Eh nggak ada apa-apa juga ternyata. Cuma nama kita doang."

Ghea semakin tercekat. Ghea pernah membuka buku itu dan tidak ada isinya. Benar-benar kosong, satu titik tinta pun tidak ada. Tapi Leya barusan mengatakan....

Indri yang berada di samping Ghea pun langsung menggenggam tangan Ghea yang dingin. Memcoba menenangkan dan menyalurkan sugesti positif bahwa ini tidak apa-apa. Tentu Indri merasakan keadaan yang tidak beres itu.

"Harusnya gue yang di nomor satu Ghe, ini malah paling ujung. Gue kan sahabat terbaik lo Ghe."

Leya masih pada candaannya, sementara yang lain terlihat tak peduli dan lebih fokus mempersiapkan permainan ritual mereka itu.

"Ya, coba liat sini."

Indri mengulurkan tangannya, menerima buku yang Leya sodorkan. Perlahan ia membukanya dan Ghea sama-sama melihat pada halaman pertama ada tulisan nama Indri, Theo, Anggun, Risky, Andra, dan Leya. Di bagian kanan bawah ada tulisan "Teman baik" yang jelas-jelas itu bukan tulisan tangan Ghea.

"Ini nggak papa kok Ghe, tenang aja." Indri mencoba menenangkan Ghea yang diselimuti rasa tegang.

"Nggak usah dipikirin, it's time for have fun." Indri menutup buku itu kemudian menyimpannya ke atas meja. Ia menarik Ghea untuk semakin dekat ke arah tengah dan memulai permainan.

oOo

Ghea dan Indri terduduk diam di teras kost-an Anggun, menikmati semilir angin malam serta senyum bulan di langit yang bertabur bintang. Wajah mereka sudah penuh dengan coretan-coretan merah akibat permainan itu. Dan di dalam sekarang mereka tengah menonton film horor, ritual yang lainnya.

"Di dunia ini memang bukan cuma ada yang terlihat aja tapi juga mereka yang nggak kasat mata. Itu wajar kok Ghe. Dari dulu kita emang hidup berdampingan." Dengan tangan yang menimang-nimang buku bersampul cokelat itu, Indri mulai berbicara.

"Dibilang logis karena ada yang nggak logis. Simple." Indri menyandarkan punggungnya pada kursi. Matanya menatap nyalang ke depan.

"Nggak bisa dilihat, nggak bisa disentuh, dan nggak bisa ngebunuh. Begitulah mereka, semua yang ada di film horror itu cuma fiksi," jelasnya kembali seraya menatap Ghea. Sudut bibirnya menarik senyuman, memberi keyakinan bahwa Ghea tak perlu takut atau punya kekhawatiran yang berlebih.

"Terus kenapa gue ngerasa diteror, Dri?" tanya Ghea dengan raut sedih. Kepalannya berputar pada kejadian-kejadian aneh yang di alami. Meskipun kebanyakan hanya dalam mimpi, tapi buku itu membuatnya yakin bahwa mimpinya itu bukan hanya sekedar bunga tidur biasa.

"Bukan diteror, apa ya, kadang mereka ingin berinteraksi dengan kita. Tapi nggak ke sembarang orang, orang yang punya kepekaan tinggi biasanya punya magnet tersendiri. Pernah denger dong orang yang Indigo berteman sama makhluk kayak gitu?"

"Termasuk lo?" sambar Ghea cepat.

Indri menggeleng, "Enggak, gue nggak bisa liat mereka, gue cuma bisa ngerasain kehadiran mereka doang." Bersamaan dengan itu Indri mengusap bahunya yang sedikit terasa menghangat, pergerakan yang Indri usahakan agar tak disadari oleh Ghea.

"Terus apa gue ini ditempeli gitu?" Ghea mencoba mencari kesimpulan dari hal-hal aneh yang dialaminya ini. Sering menonton film Risky membuat Ghea tahu banyak termasuk tentang ditempeli, biasanya karena mengambil benda pusaka atau melanggar pamali-pamali hingga makhluk supranatural mengikuti dan mengganggunya. Tapi Ghea ingat pasti, ia tak pernah melakukan hal itu.

"Ditempeli? Bukan deh kayaknya. Meskipun mereka dikata seram, nggak semua jahat, banyak yang baik."

Aura dari buku yang dipegangnya cukup kuat juga merasa diawasi ketika berdekatan dengan Ghea, tapi Indri rasa ini bukan masalah yang besar.

"Terus yang gue alami ini apa?" nada suara Ghea terdengar frustasi. Kesal pada situasi.

"Mungkin lo bakal jadi kayak gue," ucap Indri yang dibuntuti tawanya. Sedikit bercanda untuk menghilangkan rasa tegang Ghea.

"Sialan! Nggak mau gue. Lo kan bilang yang lebih peka bakal dikerubungi. Ih... Jangan sampe."
Ghea merespon baik candaan Indri, wajah murungnya mulai ditinggalkan.

"Kan biar kita bener-bener klop dalam segala aspek," ucap Indri memamerkan deretan giginya.

"Nggak mau!"

"Haha...Yaudah lo masuk sana, istirahat gih daripada mikir yang enggak-enggak, gue mau buang ini dulu." Indri berdiri, menginterupsi Ghea untuk segera melakukan apa yang diucapkannya. Semetara itu tangannya mengacungkan buku bersampul cokelat itu, benda yang sekarang akan dibuangnya.    

17042018

Lullaby [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang