27 - Masa Lalu

124 19 1
                                    

PRAK!

Ghea melempar pisau itu. Tubuhnya bergetar hebat, ia mengangkat kedua tangannya tak percaya. Darah dari sana menetes-netes ke bawah, matanya membulat menyiratkan keterkejutan yang teramat. Ia bahkan nyaris tak bernapas ketika mendapati bercak-bercak darah juga mengotori bajunya. Bukan, ini bukan darah dari dalam tubuhnya, ini bukan darah yang keluar dari luka-lukanya.

Ghea turun dari kasur, dengan terpontang-panting Ghea berlari keluar dari kamarnya. Tangisnya menjadi. Ia mengerang, menjerit dengan penuh ketakutan. Kenapa ini harus terjadi padanya? Kenapa Tuhan?!!

Tubuh Ghea merosot, lututnya tak mampu menahan bobot tubuhnya lagi. Tangannya yang berpeganggan pada tembok melukiskan garis merah dari darah di tangannya. Ghea menangis, menangis, dan menangis.

"AAA...."
Teriaknya pilu. Hal-hal yang terus menakuti dan membuat hidupnya tak tenang, kehilangan teman-temannya, dan sekarang... Apa darah ini menjadi tanda bahwa Risky mati di tangannya sendiri?

'Kamu harus bantu Risky, kamu nggak boleh mati,'

Ghea menutup kedua telinganya. Ia menggeleng, menolak kalimat itu yang kini terus terngiang. Kalimat yang diucapkan Larati--yang berwujud Anggun--ketika di rel kereta api waktu itu.
Kini ia paham kenapa Larati tak membirkan ia mati, karena ia ingin Ghea yang menjadi pembunuh Risky.

"KENAPA HARUS GUE?!!!" Ghea mengerang, tangannya memukul-mukul pada tembok. Kehilangan Indri, Theo, dan Anggun saja Ghea sudah tak tahu di mana lagi menampung rasa bersalahnya, dan sekarang Risky yang mati di tangannya sendiri, Ghea tak tahu harus bagaimana lagi.
Kalau benar ini kesalahan Ghea, kenapa teman-temannya harus ikut celaka? Kenapa tak hanya dia saja?

"Sudah cukup?" ucap seseorang dengan suaranya yang terdengar hampa, seperti angin berlalu. Tangis Ghea terhenti, ia menoleh ke belakang. Seorang gadis bergaun putih selutut dengan rambut hitam sepinggang yang terurai tak beraturan berdiri di sana.

"Larati?" Ghea menebak, sekali lagi ia tak punya bayangan tentang rupa Larati, belum lagi posisi dia yang sekarang membelakangi Ghea.

"Lo Larati kan?"
Bukannya menjawab, sosok itu justru melenggang pergi.
Ghea tentu tak ingin kehilangan, ia harus mendapatkan kejelasan dari hantu itu kenapa dia bisa diteror.
Dengan langkah yang tidak terlalu baik, Ghea mengikuti Larati, melewati ruang tengah hingga sekarang ia berada di halaman rumah.

Air matanya kembali keluar, ia tak tahu Larati pergi ke mana, namun sekarang di depannya ada jasad Risky yang mengenaskan. Dadanya terasa sesak, langkahnya pun berubah semakin berat.

BRUK!

Ghea bersimpuh di depan Risky. Risky tak terikat, posisinya duduk dan bersandar pada pohon, selain itu lukannya sama persis seperti dalam mimpi. Ghea semakin terisak ketika ia menyentuh tangan Risky yang sudah dingin kaku itu.

"Maafin gue Ky...." Ghea memejamkan mata.

Angin yang cukup besar tiba-tiba bertiup, menerbangkan rambut pendek Ghea hingga akhirnya wajahnya tertutup rambut sendiri. Tak hanya angin, bau-bau aneh pun tercium oleh hidung Ghea.

"Dia udah mati, jadi sekarang kamu jadi teman aku?" suara Larati terdengar. Kalau Ghea menebak, hantu itu sekarang tengah berdiri di belakangnya.

Ghea meremas rumput dengan tangan yang masih tersisa bercak darah itu. "Lo gila!! Lo udah bunuh teman-teman gue, dan sekarang lo mau gue jadi temen lo?!"

Ghea benar-benar tak habis pikir, jadi ini alasan Larati menerornya? Karena ia iri pada Ghea yang memiliki banyak teman sementara ia tak punya?

"Kalo lo nggak punya teman bukan berarti lo bisa rusak hidup gue Larati!!!" Ghea terisak pilu. Bayangan kejadian-kejadian kejam itu berputar di kepalanya tanpa diminta.

Lullaby [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang