13 - Keanehan

206 23 18
                                    

Ghea menjerit, kedua tangannya menutup mata tak ingin melihat sosok di depannya yang justru terkikik senang. Ini bukan mimpi, tapi bagaimana mungkin Ghea sudah dua kali melihat sosok seperti itu. Di toilet, sekarang, dan mungkin bayangan di cermin kamar mandi tadi pagi juga bukan halusinasi. Apa ada yang salah dengan matanya?

"Aaa!!!"
Ghea menjerit ketika pundaknya disentuh.

"Ini gue Ghe, Anggun."

Anggun? Dengan memberanikan diri Ghea menurunkan tangannya dan membuang semua spekulasi buruk tentang bagaimana kalau barusan yang bicara itu adalah sosok lain yang hanya menyerupai Anggun seperti halnya Indri dalam mimpi itu. Ghea menilik hati-hati Anggun dari atas sampai bawah, tidak ada hal ganjil. Yang di depannya benar Anggun yang kini menatapnya khawatir.

"Lo kenapa?" tanyanya dengan sorot yang hangat.

"Gu... Gue...." Ghea menjatuhkan pandangannya ke arah lain.

"Kenapa lo ngehindarin kita?" Karena sepertinya Ghea tak akan menjawab, Anggun mengungkapkan sebuah pertanyaan lain. Pertanyaan yang menggerogoti pikirannya dari kemarin. Chat yang tidak dibalas, telepon yang tidak diangkat, dan sapaan yang diabaikan.
Ghea hanya menunduk, pertanyaan itu justru semakin membuat lidahnya kelu untuk menjawab.

"Lo nggak salah Ghe, semuanya bukan salah lo. Lo nggak harus ngerasa bersalah. Bahkan kalo misalnya hari ini gue mati, seharusnya lo ada di samping gue, habisin sisa waktu yang ada. Bukan ngehindar, Ghe." Air mata meluncur di pipi Anggun. Semalaman ia terus dihantui rasa takut oleh teror itu, tapi Ghea yang menghindar itu jauh lebih mengerikan, Anggun merasa kehilangan juga rasa khawatir karena waktu di rumah sakit secara terang-terangan Dokter bilang Ghea butuh psikiater.

"Maafin gue, Nggun...."

Andai Anggun tahu kalau yang selanjutnya itu memang dirinya. Tapi sejauh ini Anggun tidak apa-apa kan? Apa itu artinya keputusan untuk tidak tidur itu benar? Petaka itu tidak akan muncul kalau Ghea tidak mengalami mimpi?

oOo

Hari kian sore dan siksaan untuk Ghea semakin bertambah. Makhluk-makhluk itu semakin banyak terlihat. Ghea ingin menjerit dan menangis melihat bentuk mereka yang tak jarang mengerikan dengan bagian tubuh yang tak utuh. Ghea berusaha menahan itu, ia berusaha bersikap biasa bahkan ketika sosok itu ada di depan mata. Ghea sempat histeris ketika melihat sosok perempuan tanpa kaki di gerbang kampus, Anggun yang berjalan di sampingnya pun bingung ketika tangan Ghea menunjuk-nunjuk lahan kosong dengan mata tertutup.
Dan karena histeris itu justru sosok yang Ghea takuti itu malah mendekat dan tertawa, seolah ketakutan Ghea adalah hal yang paling menarik.

Dalam film Ghea pernah mendengar kalau manusia yang bisa melihat makhluk seperti itu mempunyai daya tarik tersendiri bagi mereka. Entah itu ingin meminta bantuan, mencari teman, atau sekedar menakuti. Ternyata itu benar adanya. Ketika Ghea menunjukkan kalau dia bisa melihat, mereka justru mendekati Ghea. Dan ketika Ghea hanya diam, dengan sejuta rasa takut yang berusaha dipendam, mereka hanya melewati Ghea seperti manusia yang lainnya. Ghea belajar itu dari Drama Korea berjudul Goblin yang ditontonnya semalam. Di mana Ji Eun-Tak yang punya kemampuan lain berpura-pura tak melihat untuk menghindari mereka.

Jadi, apa sekarang Ghea mengakui kalau matanya punya kemampuan lain? Entahlah, tapi yang jelas Ghea benar-benar bisa melihat mereka. Seperti sosok berambut gimbal dengan kulit sehitam arang di depannya. Ini aneh! Benar-benar aneh!

Ghea sekarang berada di sebuah warung soto. Anggun yang benar-benar kebingungan karena Ghea yang berteriak dan terkadang mendeskripsikan tentang sosok mengerikan mengajaknya untuk makan dulu di sini. Sepanjang perjalanan Ghea terkadang meremas tangannya, menunduk hingga rambut menghalangi sedikit pengelihayannya dan lebih menyibukkan diri pada ponsel. Anggun merasa aneh dengan Ghea yang 'baru' ini. Dari yang bersikap menghindar malah menempel seperti anak kecil pada ibunya.

"Lo nggak apa-apa Ghe?"

Ghea hanya menggeleng kecil dengan kepala menunduk. Ketidakberuntungan harus ia telan bulat-bulat ketika sosok hitam itu duduk pada bangku di hadapannya dan menatap dengan tajam. Ghea sangat takut, namun ia menahan diri untuk menunjukkannya. Ia hanya menunduk dan memakan soto yang terasa hambar dan begitu sulit ditelan.

"Ghe bentar ya, nyokap gue nelpon."

Sebenarnya Ghea ingin menahan Anggun untuk tetap di sampingnya, terpaksa ia mengangguk kecil tanpa mengalihkan matanya dari mangkuk. Satu hal yang Ghea pertanyakan, apakah makhluk itu akan menyadari kalau dia hanya berpura-pura saja?

"Udah nggak ada kok neng."

Suara berat Bapak-bapak itu membuat Ghea terkejut. Ia langsung menoleh ke arah kiri dan mendapati pemilik dari warung soto ini yang mengambil duduk pada kursi plastik yang kosong. Dia tersenyum, dan dengan ragu Ghea membalasnya.

"Nggak usah takut, udah pergi kok."

Ghea mengernyit, "Maksud Bapak?"

"Yang duduk di hadapan kamu, dia udah pergi."

Refleks Ghea langsung mengarahkan pandangannya ke depan dan kursi itu kosong, maksudnya kosong dalam arti yang sebenarnya, kosong dari manusia juga makhluk tak kasat mata.

"Kamu hebat loh. Hari ini hari pertama mata lain kamu terbuka, tapi kamu sudah bisa menahan diri untuk tidak terlihat seperti orang gila di hadapan mereka yang normal."

"Bagaimana Bapak bisa tahu?"

Bapak-bapak itu hanya tersenyum. "Malangnya nasib neng ini. Neng ingin menghindari suatu bencana, tapi di balik itu juga harus ada konsekuensi yang neng dapat. Sangat jahat, 'dia' senang petaka itu terjadi dan ketika neng berusaha menolak, maka dia meluncurkan tombak untuk membuat neng menyerah."

"Tak usah takut, yang neng lihat itu tak semuanya jahat. Ada beberapa yang baik. Meskipun sulit, bersikaplah seperti biasa, mereka tidak ada."

Ghea benar-benar menganga, bagaimana Bapak ini bisa tahu apa yang ia alami? Apakah ini yang disebut dengan orang pintar?

oOo

Sebenarnya bukan Ibu Anggun yang menelepon melainkan Risky. Anggun berjalan ke dekat pintu masuk, sedikit menjauh dari Ghea dan sekiranya gadis itu tak akan mendengar obrolannya.

'Di mana Nggun?'

"Ky, Ghea aneh." Bukannya menjawab Anggun justru membuat orang di seberang sana bingung.

'Lo sama Ghea?' terdengar nada heran.

"Iya, tapi dia aneh. Gue jadi takut." Anggun melirik Ghea hati-hati. Meskipun posisi Ghea membelakangi Anggun tetap waspada takut-takut gadis itu mendengar.

'Maksudnya gimana?'

"Tadi Ghea teriak ketakutan. Dia nunjuk-nunjuk yang nggak jelas nggak ada apa-apa. Terus dia juga bilang ada cewek yang nggak ada kaki lah, anak-anak yang kepalannya berlumuran darah lah. Gue jadi takut, Ky." Jelas Anggun dengan suara rendah.

'Maksudnya Ghea cenayang?'

"Gangguan psikis sama bisa liat hal mistis itu beda tipis, Ky."

'Maksud lo Ghea gila?'

"Bukan gitu," Anggun berseru sedikit frustasi.

"Gue juga nggak tau mana yang bener. Tapi sumpah gue beneran takut apalagi sekarang ..." Anggun menjeda kalimatnya, ia menelan ludahnya susah.

"Bagaimana Bapak bisa tahu?" Itu suara Ghea yang bisa telinga tajam Anggun tangkap.

"Ghea ngomong sendiri." Anggun memejamkan matanya takut. Melihat Ghea yang sekarang membuat kengeriannya semakin bertambah.

"Permisi Neng." Seseorang menyadarkan Anggun.

"Eh maaf, Pak." Anggun langsung memundurkan tubuhnya mengetahui posisinya yang menghalangi akses masuk. Mempersilahkan Pak Anto, pemilik dari warung ini yang baru saja membeli tissue di toko seberang.

"Gue harus gimana dong Ky?"   

10052018

Lullaby [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang