10 - Dreams Comes True

190 25 2
                                    

Theo kecelakaan!

Theo kecelakaan!

Ghea terus mengulang itu dalam hati, tubuh yang terduduk lemas, air matanya yang tak berhenti mengalir dengan pemikiran entah melayang ke mana. Theo kecelakaan! Theo kecelakaan! Ghea benar-benar tak bisa menerima itu. Seluruh tubuhnya seperti mati rasa. Selain matanya yang mengeluarkan air mata, tubuh Ghea benar-benar seperti patung.

Entah sudah berapa menit ia dalam posisi ini. Setelah ponselnya jatuh dan orang di seberang sana terus mengucapkan 'Hallo' sebelum akhirnya memutuskan sambungan, Ghea masih terdiam.

"Ghe, Theo kecelakaan!" teriakan itu Ghea dengar beriringan dengan derap langkah yang mendekat ke arahnya.

oOo

"Ini bukan Ghea loh, kita semua tahu di antara kita, dia cewek yang paling strong. Masalah sebesar apa pun dia paling bisa ngendaliin diri buat tetap tenang. Tapi tadi kalian denger kan dokter bilang Ghea butuh psikiater?"

Leya, Anggun, Risky, dan Andra. Mereka seperti mengulang kegiatan yang kemarin dilakukan. Berkumpul di lorong rumah sakit dengan Ghea yang dirawat di salah satu kamarnya. Ketika dihampiri di halaman tadi, Ghea langsung histeris kemudian jatuh pingsan. Akhirnya mereka pun membawa Ghea ke rumah sakit yang mana jenazah Theo juga dikabarkan dibawa ke sana.

"Mungkin kejadian ini terlalu berat bagi dia, Nggun." Risky sedikit mengurut pelipisnya. Indri yang gantung diri, Theo yang kecelakaan, kenapa kesedihan harus muncul dengan seberuntun ini?

"Terlalu berat? Kita semua ngerasain kok, posisi kita sama. Indri dan Theo itu sama-sama orang yang kita sayang. Gue ngerasa...." Anggun menghentikan ucapannya. Mulutnya bungkam dengan tatapan merunduk. Sebelum sebuah helaan napas berat keluar sebagai simbol ia benar-benar tak akan melanjutkan ucapannya.

"Ini aneh. Anggun bener, Ghea itu cewek yang strong. Inget waktu bokapnya meninggal? Ghea tetep bisa tegar, bahkan dia yang nyemangatin nyokapnya buat bangkit." Andra yang lebih banyak diam berujar. Ia setuju dengan yang Anggun katakan, Ghea yang dikenalnya tidak seperti ini. Gadis itu kuat dengan kemampuan Taekwondo kebanggaannya, bukan gadis lemah yang menangis dan berteriak histeris. Ada hal lain pada Ghea yang tidak mereka ketahui.

"Dan Posisi Indri dan Theo nggak bakal lebih berharga dari Almarhum bokapnya." Risky menimpali. Membuat pemikiran menjadi mengerucut.

"Ada faktor lain yang buat Ghea jadi seperti ini." Kening Anggun berkerut, memcoba mencari benang merahnya.

"Rasa bersalah."

Dan seketika ucapan Leya itu membuat ketiga sahabatnya menoleh ke arahnya. Dahi mereka sama-sama berkerut, tidak mengerti maksud dari ucapan Leya.

"Rasa bersalah apa?" Andra mewakili Risky dan Anggun.

Leya membuang muka dan berdecak. "Kalian lupa yang gue bicarain kemarin?" tanyanya sedikit malas. Apa sahabat-sahabatnya itu hanya menganggap obrolan kemarin itu sebagai angin lalu?

"Yang mana? Tentang Indri yang nggak bunuh diri itu?"

Leya mengangguk, "Lebih tepatnya tentang teror." Leya menghela napas sejenak, menatap wajah sahabat-sahabatnya yang semakin terlihat bingung.

"Buku itu bukan buku biasa. Bisa datang dan hilang begitu aja. Dan di dalamnya sudah tertulis nama-nama kita. Indri di nomor satu, meninggal kemarin, dan Theo yang di nomor dua meninggal hari ini." Leya menghentikan sejenak penjelasannya ketika lehernya tiba-tiba terasa tercekat. Leya tidak ingin mengakuinnya, tapi buku itu benar-benar sebuah Death Note.

"Jangan bilang kalo nama-nama yang tertulis di sana bakal mati? Itu nggak masuk akal, Ya." Secara tidak langsung Andra menjabarkan apa yang Leya pikirkan.

"Awalnya gue juga mikir gitu, Dra! Tapi setelah kejadian Theo.... "

"Theo kecelakaan Ya!" Risky menyanggah cepat. Menentang peryataan Leya yang mengarah pada ketidak rasionalan. Meskipun Risky suka film horor atau segala tektekbengeknya, pemikirannya tak pernah jatuh ke sana. Ia percaya tentang pamali-pamali, tapi kalau soal diteror sampai dibunuh mahkluk-makhluk tak kasat mata, itu hanya fiksi yang Risky nikmati ketika waktu luang.

"Iya kecelakaan, tapi kalo lo mikir itu kecelakaan biasa, lo salah besar. Semalam Ghea mimpiin Theo tabrakan, dan sekarang kejadian kan?"

"Itu hal biasa Ya, firasat atau semacemnya itu memang ada. Atau bisa aja kan Ghea itu indigo? Dia bisa liat apa yang belum terjadi." Risky tetap pada kubu yang berlawanan dengan Leya. Sementara Andra dan Anggun hanya diam mencoba mencari kesimpulan. Seperti Risky? Atau seperti Leya?

"Kalo lo sebut Ghea indigo, terus gue apa?"

"Apa maksud lo?" Risky mengernyit.

"Gue liat sendiri tulisan itu, tulisan yang menyatakan kematian Theo. Yang kedua, setelahnya [B 1524 PT]. B 1524 PT itu plat mobil Theo kan?"

"Iya tapi Theo kecelakaan pake mobil gue, bukan mobil dia sendiri."

"Itu kesalahan gue...." Suara Leya melemah.

"Maksudnya?"

"Yang di buku itu petunjuk dan mimpi Ghea semakin memperjelas kalau kematian Theo melalui mobilnya. Itu alasan kenapa gue minjem mobil Theo tadi, gue pikir cara itu bisa bantu Theo buat ngehindarin petaka. Tapi gue salah. Gue baru sadar, bukan mobil Theo petakanya, tapi mobil lo. Maksud dari Yang kedua, setelahnya [B 1524 PT], itu 2 setelah B 1524 PT, itu D 3746 RV kan? Mobil lo?"

Dan penjelasan itu membuat Risky terdiam seribu bahasa. Apa mungkin ada sesuatu yang sekebetulan itu? Hanya mengurangi 2 angka atau huruf dapat membuat plat mobilnya begitu cocok dengan plat mobil Theo?

"Secara nggak lansung gue yang bikin petaka itu nyata." Leya menunduk dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Kalau saja ia bisa memutar waktu, Leya tidak akan pernah membiarkan Theo menaiki mobil, entah itu mobil Risky atau mobil dirinya sendiri. Atau bahkan mobil siapa pun itu.

"Apa ini termasuk petunjuk?" ucap Anggun tiba-tiba seraya menyodorkan lipatan kertas kecil yang diambil dari sakunya.

"Gue nemuin itu di lantai waktu pertama kali liat Indri yang tergantung," jelasnya.

"'Dreams come true.' Apa ini maksudnya mimpi yang bakal menjadi kenyataan?" Andra yang menerima lipatan kertas itu melemparkan pandangan pada sahabatnya satu persatu.

"Ghea mimpi Indri digantung, Ghea juga mimpi Theo tabrakan. Eggak salah lagi, memang itu maksudnya."

"Ini semakin nggak masuk akal Ya." Risky menghela napas.

"Apa lo perlu liat satu kematian lagi baru percaya?" ucap Leya sarkastik.
Hening, tak ada lagi yang berbicara setelah Leya mengatakan itu. Semuanya sibuk dengan pikirannya sendiri. Dan yang pasti rasa takut mulai mendominasi diri mereka.

"Ini kok bisa kayak gini sih?" Anggun menutup wajahnya. Menekan bagian kening yang terasa pening karena obrolan mereka itu.

"Tadi lo bilang Indri nomor satu, Theo nomor dua, jadi siapa selanjutnya?" Ego Risky benar-benar runtuh, sekarang ia masuk pada keadaan tak rasional yang tadi ditentangnya. Namun sekarang wajahnya benar-benar terlihat dingin, tangannya yang tidak terlalu mencolok terkepal kuat. Entah apa maksudnya.

"Gue nggak inget." Leya tak mungkin menyebutkan Anggun yang selanjutnya. Sekarang semuanya dilingkupi rasa takut, entah takut kehilangan sahabat tercinta, atau kehilangan nyawa sendiri. Kematian yang di depan mata itu tak mungkin dihindari.

Dan tanpa keempat orang itu sadari, sedari tadi ada Ghea yang berdiri di balik pintu yang sedikit terbuka. Menyaksikan percakapan itu dengan wajah pucatnya.

"Maaf... Ini semua gara-gara gue. Kalian ada dalam bahaya karena gue," gumamnya lirih.

02052018

Lullaby [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang