25 - Amarah

157 22 4
                                    

"Larati! Bunuh gue sekarang!"

Dengan sekuat tenaga mereka memasukkan Ghea ke dalam mobil. Gadis itu terus saja meronta dan menangis histeris. Membuat mereka panik dan takut karena Ghea mirip seperti orang yang kesurupan.

"Ky, lo yang nyetir," ucap Andra setelah berhasil mendorong Ghea masuk. Posisi Ghea sekarang diapit Andra dan Leya yang masing-masing memegangi tangannya.

Tak membuang waktu, Risky segera berjalan memutar, memasuki mobil dan langsung memegang kemudi. Sekilas ia menoleh ke arah makam, dan Bu Rita masih berdiri mematung di sana seraya menatap mereka.

"Nyebut Ghe." Leya berusaha membuat Ghea sadar. Leya tak bisa menyalahkan apa yang Ghea lakukan ini. Ia juga marah pada Larati itu. Teman-temanmu sudah menemui ajal dan kematian di depanmu, apa masih bisa tenang dengan kondisi seperti itu?

"Larati jahat Ya! Gue benci dia!"

Leya mengangguk, "Iya gue paham, lo tenang dulu ya?" Ia mengusap Ghea lembut.
Kenapa menjadi runyam seperti ini? Leya pikir dengan mengunjungi tempat tinggal Larati ia akan menemukan titik terang. Nyatanya semua semakin sulit dijelaskan.
Larati sama sekali tidak punya teman, lalu apa hubungannya dengan Ghea? Apa dia iri karena Ghea dikelilingi teman-teman yang dekat dengannya? Atau Ghea dulu punya masalah dengan Larati? Ibunya saja mengira anaknya itu korban bullying, tapi apa Ghea memilkii wajah seorang pembully hingga Larati dendam padanya? Ini benar-benar benang kusut yang tak akan pernah Leya temukan ujungnya.

"Kenapa dia nggak bunuh gue?!"

Leya ingin menangis kalau Ghea mengatakan itu, 3 temannya sudah pergi, Leya benar-benar tak bisa menerima kalau dia harus kehilangan lagi.

"Lo nggak boleh ngomong gitu, Ghe." Leya memeluk Ghea, dia satu-satunya teman perempuan yang tersisa. Leya tak akan membiarkan Ghea pergi.
oOo

Tak mudah, tetapi akhirnya Ghea dapat ditenangkan. Meskipun sekarang ia hanya diam dan melamun.
Mereka berempat sudah kembali ke rumah Ghea. Duduk di sofa dengan posisi mengelilingi meja.

"Lo mau ke mana Ghe?" tanya Leya ketika Ghea tiba-tiba berdiri.

"Kamar mandi, sebentar."

"Mau gue anter?" Tak bisa dipungkiri kalau Leya sangat mengkhawatirkan gadis itu.

Ghea menggeleng lemah, "Nggak papa kok," ucapnya kemudian berlalu dengan langkah gontai.

"Sebentar lagi sepupu gue ke sini," ucap Risky setelah bayangan Ghea tak terlihat ditelan tikungan tembok.

"Sepupu lo siapa?" dahi Leya mengernyit.

"Kevin."

"Yang psikiater itu?" Leya menerka dengan wajah kaget.

Risky mengangguk. Leya menahan napas sebentar, "Buat apa?" tanyanya ragu. Sementara Risky justru menunduk. Leya menyimpulkan ini bukan hal yang enak didengar.

"Bukan buat Ghea kan? Ghea nggak gila loh Ky, teror itu emang nyata, bukan halusinasi, coba deh lo buang logika sebentar. Nggak semua hal di dunia ini masuk logika."
Leya tahu benar Risky yang sejak awal tak mau mempercayai teror ini. Bahkan ketika dimintai data tentang Larati pun Risky berkata "Ini karena gue mantan ketua OSIS, dan punya akses ambil data siswa, selebihnya nggak ada."
Tapi bukan berarti dia berhak mendiagnosis bahwa Ghea gangguan jiwa kan?

"Terlepas dari hantu atau apalah yang neror itu nyata apa enggak, emang lo nggak mikir setelah lihat Ghea ngamuk tadi dia nggak bakal berusaha buat bunuh diri?"

Leya terdiam, dia terkejut akan penjelasan Risky. Andra pun demikian, yang Risky ucapkan tidak bisa dikatakan salah. Kemungkin terburuk itu benar-benar ada. Kenapa mereka tidak terpikir sampai sana?

Lullaby [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang