"Maafin gue, Dri... Maafin gue, Yo...." Ghea terduduk dengan tangan yang memeluk kaki. Wajahnya ia tenggelamkan di antara lututnya.
Setelah dua orang polisi menghampiri mereka untuk meminta keterangan—terutama pada Risky yang notabenenya pemilik mobil yang dikendarai Theo—mereka semua bubar dari koridor itu. Entah pergi ke mana, yang jelas sekarang hanya ada Ghea di sini. Menangis dengan air mata yang sudah enggan untuk keluar lagi.
Semua salahnya. Indri pergi, Theo pergi, dan semua teman-temanya terancam karenanya.
Semua salahnya. Kalau saja malam itu Ghea membiarkan saja buku itu, semuanya pasti akan baik-baik saja sekarang. Tidak ada teror, tidak ada tangis, semuanya akan baik-baik saja.BRUK!
Buku itu jatuh tepat di samping Ghea. Ghea menjambak rambutnya kuat-kuat. Bibirnya ia gigit hingga nyaris saja mengeluarkan darah. Frustasi? Sangat! Nama-nama sahabatnya tertulis di sana dan satu persatu mulai terjemput kematian. Ghea tahu siapa yang akan mati, dan dia hanya bisa terdiam ketika mimpinya menjadi nyata.
Haha.... Bukankah dirinya ini pantas untuk disebut pembunuh? Pembunuh dari sahabat-sahabat yang disayanginya. Ghea ingin berteriak, buku itu menerornya tapi kenapa tidak dia saja yang mati? Kenapa namanya tidak tertulis di sana? Kenapa justru harus sahabat-sahabatnya?
"Maafin gue, Nggun." Ghea membuka buku itu dengan ribuan jarum yang seperti menusuk lehernya. Pernah terbesit apakah jika ia memusnahkan buku ini semua terornya akan berhenti atau justru akan sebaliknya?
'Sumber kehidupan.'
Ghea menghela napas kemudian kembali menenggelamkan wajahnya.
oOo
Mobil jenazah yang membawa Theo itu mulai meninggalkan area rumah sakit. Anggun dan Risky masih berdiri di tempat di mana mobil itu terparkir, sementara Leya dan Andra ikut mengantarkannya ke Jakarta. Ghea hanya bisa mengamati dari jauh, menyeka air mata dengan ucapan maaf yang tak pernah terhenti.
Ingin rasanya Ghea melihat Theo untuk yang terakhir kalinya, namun ia tak bisa. Ia justru terlihat menghindari sahabat-sahabatnya. Rasa bersalah yang begitu besar membuatnya bertanya, masih pantaskan ia berada di samping mereka sementara ia sendiri yang menebar petaka untuk mereka?
Ponsel Ghea berbunyi, ia pun segera merogohnya dari dalam saku. Ditatapnya layar ponsel yang menunjukkan nama Anggun, tanpa bicara kini bola matanya bergulir ke depan, melihat Anggun yang menempelkan ponsel pada telinga seraya berbincang kecil pada Risky.
Ghea tidak mengangkatnya, ia hanya membuat ponsel itu pada mode diam. Hingga setelah panggilan ketiga yang tak dia angkat, sebuah pesan masuk memenuhi layarnya. Yang mana itu adalah pesan dari Anggun.
'Ghe lo di mana? Tadi gue cari lo di kamar tapi nggak ada. Lo nggak papa kan?'
Sekali lagi Ghea menatap Anggun dan Risky yang masih berdiri di sana. Wajah mereka terlihat cemas meski Ghea tak bisa menangkap apa obrolannya.
'Gue habis urus administrasi, sorry ya gue pulang duluan. Gue nggak papa kok.'
oOo
Siang berganti malam, mentari terganti sang bulan. Ghea menyusuri jalanan dengan wajah menunduk. Kemeja hitam dengan celana bahan berwarna senada, Ghea masih dengan setelan ke pemakaman Indri tadi pagi. Orang-orang yang tidak sengaja berpapasan dengannya menatap aneh. Entah itu karena pakaian yang ia pakai atau karena matanya yang bengkak sebab terlalu banyak menangis.
Jarak rumahnya dan rumah sakit sangat jauh. Ghea juga tak ingat sudah berapa jam yang ia habiskan untuk berjalan. Bukan kehabisan uang untuk tidak naik taksi, atau tidak adanya kendaraan umum yang beroperasi, Ghea memilih berjalan agar ia banyak menghabiskan waktu di luar. Meskipun hanya dalam mimpi, bayangan sosok dengan luka di pipi itu masih membuatnya takut.
Sebenarnya ada beberapa pesan masuk yang menyuruh Ghea untuk menginap saja di rumah sahabatnya, namun Ghea tak bisa melakukan itu. Ghea merasa terlalu berdosa untuk ada di samping mereka.
Seraya memikirkan keputusan yang ia ambil untuk menghindari teman-temannya itu tepat atau tidak, Ghe melangkahkan kakinya untuk memasuki cafe yang cukup ramai dikunjungi, namun syukurlah Ghea masih bisa menemukan meja yang kosong. Ghea memesan Latte untuk menemaninnya. Sebenarnya ia bukan pecinta kopi, namun sepertinya ia perlu sedikit rasa pahit untuk menghilangkan kantuk.
Berbicara tentang kantuk Ghea jadi teringat pada kertas yang Anggun serahkan pada Andra tadi. 'Dreams come true.' Baik Indri atau Theo, bagaimana nyawa mereka terenggut memang sudah terjadi dalam mimpi sebelumnya. 'Mimpi yang menjadi kenyataan', kalau benar maksudnya demikian, itu artinya Ghea punya celah untuk membuat petaka itu tidak terjadi. Ghea hanya perlu menghilangkan pemicunya, dalam konteks ini yang dimaksud adalah Ghea tidak boleh bermimpi. Benar! Ghea tidak boleh bermimpi agar tidak ada kejadian buruk yang akan menimpa sahabatnya.
Tapi.... Bagaimana kalau mimpi Indri dan Theo itu hanya memberitahu kejadian yang akan terjadi seperti halnya sebuah firasat?
"Ristrettonya satu ya, Mbak," ucap Ghea ketika seorang pelayan membawa Latte pesanannya.
Ini sebenarnya seperti bermain lotre dengan 2 kemungkinan. Satu, keputusannya untuk tidak tidur ini bisa menjadi penyelamat Anggun jika benar titik awalnya adalah sebuah mimpi. Kedua, Ghea tidak akan tahu apa yang terjadi pada Anggun, dan gadis itu hanya akan ditemukan meninggal keesokannya.Semoga keputusan yang Ghea ambil ini benar.
oOo
Ghea membuka gorden. Meskipun mentari belum muncul, tapi keadaan di luar sudah mulai remang-remang. Mata Ghea menjelajah, melihat beberapa orang yang mulai melakukan aktivitas. Menyambut hari yang sepertinya akan cerah.
Ghea menghembuskan napas yang menciptakan embun pada kaca di depannya. Sebelum akhirnya ia mengambil langkah untuk kembali ke tempat semula. Sebuah sofa dengan laptop yang menayangkan sebuah drama di atas meja. Beberapa bekas makanan ringan juga terlihat menghiasi sekitarnya.
Setelah menghabiskan 3 cangkir kopi di cafe, Ghea baru memutuskan pulang pada jam sebelas malam. Semua hal Ghea kerjakan. Mulai dari bersih-bersih hingga menyelesaikan tugas yang sebelumnya terbengkalai. Terakhir Ghea memutuskan untuk menonton drama Korea dari laptop.
Ghea bukan pecinta oppa-oppa, bisa dibilang ini pertama kalinya, dan Ghea rasa tidak terlalu buruk. Setidaknya itu membantu Ghea untuk tidak menutup mata.Tangan Ghea bergerak mematikan laptop itu. Mungkin sekarang Ghea harus segera membersihkan diri, mata kuliah Bu Rita menantinya pagi ini. Ah, Bu Rita. Ghea jadi teringat mimpi itu. Ia harus menggelengkan kepala beberapa kali untuk menghilangkan bayangan seram yang tanpa komando muncul.
Ghea menutup pintu kamar mandi dan menggantungkan handuknya di sana. Tak membuang waktu ia segera menyalakan keran dan memulai ritual menyikat gigi. Ghea merasakan seperti raga tanpa jiwa, tubuhnya melakukan apa dan pikirannya entah berkelana di mana.
Kegiatan Ghea dilanjutkan dengan mencuci muka. Ia sedikit lebih lama menggosok bagian bawah matanya, berharap menghilangkan warna gelap yang tercipta karena kurang istirahat.
Satu sapuan air membuat wajahnya terasa segar, busa-busa di wajahnya juga ikut rontok terbawa air yang jatuh. Namun ketika Ghea hendak mengambil air untuk membersihkan sisanya, tangan Ghea mematung di udara. Matanya yang tidak terlalu terbuka tanpa sengaja melihat sosok bayangan orang lain pada cermin di depannya.
Tapi siapa? Ghea di rumah ini hanya sendiri, dan lagi bukannya pintu sudah ditutup ya?
Ghea memekik ketika rasa perih menghampiri matanya. Niatnya membuka mata lebar untuk memastikan apa yang dilihatnya, namun sayang itu justru membuat sisa-sisa busa mendapatkan akses masuk ke dalam matanya. Dengan terburu Ghea membasuh wajahnya, sedikit menggosok-gosok pada bagian mata untuk mengeluarkan sisa busa itu.
Ghea mengusap wajahnya sedikit kasar. Membuat air yang menempel pada wajahnya berkurang. Ditatapnya cermin di hadapannya. Tidak ada siapa-siapa, hanya ada bayangannya sendiri dengan mata memerah.
Ghea membalikkan tubuhnya, netranya menatap ke sekeliling, memastikan bahwa tidak ada siapa-siapa di kamar mandi ini selain dirinya.
"Mungkin gue cuma halusinasi, efek nggak tidur kayaknya."
03052018
KAMU SEDANG MEMBACA
Lullaby [Tamat]
Horror'Tutup matamu...' Akhir-akhir ini Ghea mendapat mimpi buruk. Didatangi makhluk-makhluk seram yang membuatnya terbangun dengan jantung berdetak kencang. Ketidak beruntungan itu berlanjut ketika ia menemukan buku yang tidak sengaja jatuh. Nama-nama t...