2 - Dream Catcher

374 52 16
                                    

Ghea mengetatkan pelukan sweaternya ketika angin malam berhembus kencang. Rambut sebahunya terlihat menari-nari di antara suara burung hantu yang memecahkan sunyi. Ketukan kaki Ghea semakin menggema seiring langkahnya memasuki bangunan kampus yang sepi. Baru saja Ghea sampai di rumah, tiba-tiba Bu Rita—dosennya—meminta Ghea untuk menyerahkan tugasnya saat itu juga dengan ancaman Ghea harus mengulang jika jam setengah sepuluh ia tak kunjung datang.

Bu Rita sendiri termasuk dosen yang sadis, apa pun yang ia katakan harus cepat dan tepat dikerjakan. Termasuk datang ke kampus malam-malam begini, bahkan ketika faktanya Ghea adalah seorang perempuan.

Ghea melewati koridor kelas yang lenggang, dari jendela Ghea bisa melihat dosen yang tengah mengajar mahasiswa-mahasiswa yang mengambil kelas karyawan. Syukurlah, Ghea sedikit tenang, karena dari rumor di kampusnya ini sering terjadi hal ganjil, seperti penampakkan atau suara-suara tak lazim.

Ghea akhirnya tiba, di hadapannya ada pintu berwarna cokelat yang bediri kokoh. Sebelum mengetuk Ghea melihat jam tangan terlebih dulu. Pukul 9 lebih 20 menit, Ghea masih memiliki waktu.

Tok ... Tok ... Tok....

"Masuk."

Entah karena mau menghadapi Bu Rita yang sadis itu atau memang karena udara sangat dingin, Ghea merasa pundaknya meremang. Ia menghela napas panjang untuk menghilangkan rasa gugup sebelum akhirnya bergerak menekan handle pintu dengan doa baik yang ia panjatkan.

"Permisi Bu, ini saya...."

Ghea tak melanjutkan ucapannya. Bu Rita terlihat seperti biasa, dengan sanggul kebanggaan serta kacamata yang setia bertengger. Namun bukan itu, Ghea berhenti bicara karena melihat Bu Rita yang tengah menunduk melihat satu lembar foto yang terletak di atas meja. Dia terlihat sangat fokus. Bahkan jika Ghea ingin menghiperbola ia akan mengatakan Bu Rita menatap foto itu seperti tanpa bernapas.

Tunggu, Ghea sepertinya mengenali foto itu. Bukankah ... itu foto waktu kelulusan SMA dulu? Potret dirinya bersama Leya, Andra, Risky, Anggun, juga Theo dan Indri, sahabatnya yang memilih kuliah di Jakarta. Bagaimana Bu Rita bisa punya foto itu?

"Bu?" Ghea memanggil hati-hati, mencoba menarik perhatian wanita paruh baya itu yang sepertinya belum menyadari keberadaan dirinya. Namun sayang wanita paruh baya itu tak sedikit pun mengalihkan fokusnya. Membuat Ghea bingung, apa yang terjadi pada dosen cerewet itu?

Setelah hampir satu menit, akhirnya Bu Rita melakukan pergerakan. Ia mengangkat tangannya dengan jari menunjuk. Menciptakan kerutan-kerutan di dahi Ghea, semakin merasa bingung.

"Ibu kenal Indri?" Ghea memberanikan diri untuk bertanya. Namun lagi-lagi Bu Rita tak meresponsnya. Tatapannya masih sama, kosong dan tanpa ekspresi.

Memasuki detik ke sepuluh, jari yang berada di atas foto Indri itu mulai bergerak ke arah kiri, pada Theo, Anggun, hingga sampai pada dirinya yang berada di ujung. Mata Ghea membelalak dan tangan yang secara refleks membekap mulutnya. Dia tak salah lihat? Telunjuk Bu Rita yang tadi bergerak itu meninggalkan cairan merah berbau amis yang dikenal dengan nama darah. Ghea sangat yakin tadi ketika mengangkat tangannya Ghea tak melihat jari Bu Rita terluka.

Ah tidak! Dari awal seharusnya Ghea sadar ini tidak beres!

Dengan tubuh yang mulai mengeluarkan keringat dingin, kaki Ghea melangkah mundur bersama tatapan waswas yang tak bisa teralihkan. 'Pergi!' itu yang sekarang memenuhi kepala Ghea.

DUK!

Sial! Karena tidak melihat kakinya harus menghantam meja yang lain. Napas Ghea tercekat ketika suara benturan itu justru membuat Bu Rita, maksudnya sosok itu mendongak dan menatapnya dengan sorot tajam. Seperti tersihir, tubuh Ghea justru terasa kaku, ketakutan yang terlalu tinggi membuat otaknya bingung harus bertindak bagaimana.

Lullaby [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang