19 - Jadi, Kenapa Ini Bisa Terjadi?

198 22 6
                                    

Rombongan motor itu kembali menapaki jalanan yang kemarin dilewati. Lain dengan kemarin yang antusias, sekarang wajah mereka didominasi raut murung.
Angin bertiup ringan namun menusuk, dengan mentari enggan menghilangkan awan yang menyelimut.
Berduka atas kepergian Anggun. Acara di Pantai Pangandaran pun Bary hentikan dan segera pulang.

Sepanjang perjalan Ghea tak ubah dari manekin yang tak bernyawa. Bahkan ketika Bary selesai mengantar Ghea sampai depan rumah gadis itu tak mengatakan sepatah kata pun.

BRUK!

Ghea menutup pintu. Hanya berdiri di sana dengan tatapan kosong. Ucapan terakhir Anggun, ungkapan bernada sinis dari Andra, juga Leya yang tak sedikit pun berbicara lagi padanya. Apa yang bisa Ghea harapkan lagi dari hidupnya kini? Risky, Andra, Leya, mereka akan mati dan tak bisa Ghea cegah.

Ghea mengepalkan tangannya, rasa semakin bersalah tak henti membentur pikirannya. Kenapa harus ada beban seperti ini menimpanya?
Kehilangan, keterpurukan, dan deretan hal yang tak bisa Ghea mengerti.

Ghea semakin mengepal tangannya dengan mata terpejam. Apa yang bisa Ghea perbuat selain menangis?

'Bunuh diri.'
Tiba-tiba tercetus kalimat itu di kepalanya.

Benar, ini semua berpusat padanya mungkin kalau Ghea mati sekarang petaka itu akan terhapus. Biar pun masih berlanjut, Risky, Andra, dan Leya mendapat petaka itu setidaknya Ghea tidak akan merasa semakin bersalah atas kematian mereka.

Tunggu, merasa bersalah?! Memang ini semua salahnya?! Tak ada sedikit pun keinginan melenyapkan mereka, bahkan Ghea tak melakukan kesalahan untuk mereka meregang nyawa. Kenapa harus Ghea merasa bersalah?! Kenapa harus Ghea didakwa bersalah?! Ini bukan salahnya! Demi Tuhan ini bukan salahnya!

"AAA!!!" Emosi menyelubungi Ghea. Ia melempar tasnya. Menjambak rambut dan menangis sekencang-kencangnya.
Ini bukan salahnya! Demi Tuhan ini bukan salahnya!

'Gue bener-bener bingung harus marah atau support lo.'

Kenapa harus marah! Ini bukan keinginan Ghea!

'Maaf kalo sikap gue bakal nggak adil sama lo,'

Memangnya apa yang sudah tangan Ghea perbuat? Bahkan ia sudah berusaha untuk mencegahnya.
Tidak tidur, melihat yang tidak seharusnya, dan terus-terusan dihantui rasa bersalah. Apa mereka tidak berpikir seberapa menderita Ghea di sini?

EGOIS!
Mereka takut mati kan? Biar Ghea buktikan kalau mati itu tak akan semenderita apa yang sudah dirinya alami.

Ghea menepis kasar air matanya, bernapas kasar karena emosi. Seperti dikhianati, Ghea sudah berusaha meskipun hasilnya nihil, tapi mereka seenaknya membenci Ghea.

Ghea mengambil langkah cepat ke arah dapur. Matanya tertuju pada benda yang tergelak di dekat kompor. Mengambilnya dengan tangan bergetar dan menatap ujung tajamnya dengan tatapan marah.

Ghea menatap pergelangan tangan kiri dan pisau itu secara bergantian. Dengan menghela sebuah napas berat, Ghea mantap mengarahkan pisau itu untuk memotong nadinya.
Ini yang terbaik. Ghea sudah lelah menanggung beban mengerikan seperti ini.

PRAK!

Pisau itu terjatuh kasar ke atas lantai. Tepat sebelum Ghea menggesek benda tajam itu pada permukaan kulitnya, entah bagaimana seperti ada yang menepis kasar tangannya hingga akhirnya pisau itu lepas dari genggamannya.

Belum selesai keterkejut dari hal itu, tiba-tiba seperti ada yang mencekik lehernya yang dilanjutkan dengan mendorong tubuhnya hingga membentur tembok. Ghea melotot dengan tangan yang mencoba melepaskan sesuatu di lehernya itu. Rasanya seperti tangan. Ghea tidak tahu, biasanya dengan mudah Ghea melihat makhluk-makhluk seperti itu, namun kali ini Ghea benar-benar tak bisa melihat wujud sosok yang menyerangnya.

Lullaby [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang