20 - Renggang

202 26 1
                                    

Tak ada yang mengeluarkan suara, hanya terdengar isak tangis dengan suasana mendung seolah langit juga ikut berduka.
Kakak Anggun menaburkan bunga dengan tangan gemetar. Mata juga hidung yang memerah karena tangis menjadi saksi ketidak terimaannya melihat adik bungsunya itu yang harus berpulang lebih dulu. Anggun adalah sosok kebanggaan keluarga, ia sosok periang juga mandiri. Mungkin itu alasan kenapa mereka merasa berat kehilangan sosok Anggun. Caranya pergi pun begitu tiba-tiba, sulit dipercaya kalau ini benar-benar nyata.

Satu persatu orang-orang mulai meninggalkan area pemakaman itu, meninggalkan keluarga juga sahabat-sahabat Anggun yang masih mengelilingi gundukan tanah merah basah.

"Apa persahabatan kalian begitu erat?  Ketika Indri tak ada Theo dan Anggun juga pergi menyusul," ucap Fitria, ibunda Anggun. Ia mengusap air matanya kemudian mencoba mengukir senyum.

"Anggun sayang, meskipun berat, Mama ikhlas kamu pergi. Kamu pasti bahagia di sana, ada Theo dan Indri sahabat kamu, kamu nggak bakal kesepian."

Leya membekap mulutnya, tak kuasa mendengar apa yang ibu Anggun katakan barusan.
Andra yang ada di sampingnya pun kontan mengusap bahu gadis itu, memberi semangat dan menguatkan.

Mengusap air mata untuk kesekian kalinya, Ibu Anggun memutuskan berdiri dengan digandeng oleh Kakaknya Anggun. Tatapan sayu namun lembut keibuan ia pancarkan.

"Leya, Andra, Risky, Ghea, tante pamit pulang dulu ya. Terima kasih kalian sudah jadi sahabat yang baik buat Anggun. Udah nemenin dia, udah jagain dia. Kalian harus bahagia, gapai semua keinginan kalian, Anggun pasti senang liat itu dari sana."

Ucapan lembut yang membuat Ghea tertohok, ia meremas bajunya.
Sahabat yang baik? Apa Ghea pantas disebut begitu? Dan lagi tidak mungkin Anggun bahagia melihat kesuksesan mereka kalau pada kenyataannya besok atau lusa mereka juga menyusul ke sana.

"Dra, bibir lo kenapa?"
Setelah mereka berempat lama berdiam di dekat makam Anggun, akhirnya Leya bersuara.

"Bukan apa-apa." Andra sedikit menghindar ketika Leya hendak menyentuh lukanya.

"Bukan apa-apa gimana? itu luka Dra," cemas Leya, ia berusaha untuk melihat lebih detail luka itu. Andra sendiri tipe pria baik-baik, jadi tak mungkin tiba-tiba ada bekas pukulan.

"Bangsat! Anggun baru pergi, mau sok romantis-romantisan di depan makam dia hah? Otak kalian di mana?" Risky yang dari awal diam berseru marah. Entah bagaimana tapi sekarang Risky sangat sensitif dan mudah emosi.

"Bukan gitu Ky, emang salah gue khawatir?" Leya membela diri, mengingatkan kalau marah pria itu benar-benar tak beralasan.

"Tau tempat goblok!"

Leya terkejut, waktu seperti berhenti sejenak diikuti denyutan nyeri di dadanya. "Lo kok ngomong gitu sama gue Ky?" lirihnya. Rasanya sakit, sahabat yang begitu dekat tiba-tiba berkata sekasar itu.

"Udah udah, ini kita di kuburan Anggun, masa mau ribut? Lo juga Ky, gue tau lo sedih, tapi tolong kontrol emosi lo." Andra juga terkejut pada sikap Risky, ada keinginan membalas pria itu dengan menghajarnya. Namun sebisa mungkin Andra menahanya. Mencoba untuk tidak memperkeruh kondisi persahabatan yang beberapa hari ini sudah tidak baik.

"Gue cuma khawatir sama sahabat gue." Leya menunduk dan diam-diam mengusap air di sudut matanya. Risky yang melihatnya  pun berdecih dan memalingkan muka.

"Kalo lo emang peduli sama sahabat lo, liat tuh Ghea! Mukanya jauh lebih babak belur dari Andra." Sinis Risky yang membuat 2 orang itu terkaget.  Risky kembali berdecih, sekarang ia terpikir persahabatan macam apa yang mereka jalani selama ini? Mereka bahkan tak menyadari sahabatnya terluka dan terlihat lebih menyedihkan itu. Parahnya dia seorang perempuan. Dan mungkin ini bukan pertama kalinya.

Lullaby [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang