Extra 2

141 21 3
                                    

Suara petir membuatnya berteriak ketakutan dan semakin erat memeluk bingkai foto yang dipegang oleh kedua tangan mungilnya.
Wajahnya sudah basah disertai isakkan yang tak berhenti semenjak ia duduk di balik pintu seraya memeluk bingkai foto itu.

"Kamu gila?! Rian baru 2 hari meninggal! Dan kamu mau tetap lanjutin perceraian ini?!"

"Pokoknya aku mau cerai mas! Jangan jadikan anak-anak untuk menutupi kebusukan perselingkuhanmu itu!"

"Pikirkan keadaan Ghea, Dina!"

"Itu urusanku mas! Urus saja surat-surat itu biar cepat kita pisah!"

Ghea menangis, tubuh kecilnya meringkuk memeluk lututnya yang bergetar. Akhir-akhir ini orang tuanya memang sering terdengar bertengkar, namun ia tak menyangka jika pertengkarannya itu menjurus pada perceraian seperti ini.

"Kak Rian...." Ghea semakin memeluk foto itu, berharap kakaknya yang sudah di alam sana bisa mendengar dan membantunya menghadapi ketakutan ini.
oOo

Perceraian itu terjadi. Benar kata orang-orang, anaklah yang menjadi korban dari perpisahan orangtua.
Seperti halnya Ghea, seluruh keceriannya raib, dia benar-benar berbeda dari sebelumnya.
Ia memang baru menginjak kelas 1 SMP, namun sudah sering dipanggil guru karena kasus-kasus yang membuat orang-orang tak habis pikir. Beberapa kali ketahuan merokok, berkelahi dengan anak laki-laki bahkan ikut tawuran, dan yang sering terjadi adalah ia tak segan menyakiti teman-teman perempuan di kelasnya kalau ia merasa terganggu.

"Besok orangtua kamu harus ke sini. Kalau sudah mengerti ambil suratnya dan silahkan ke luar."

Ghea menarik amplop putih itu kemudian berlalu ke luar tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia melipat asal dan memasukkannya ke dalam saku. Ghea sudah sering mendapatkannya hingga ia tak ingat ini yang ke berapa kalinya.

"Orangtua heh?" Ia terkekeh pelan. Tanpa merasa bersalah setelah diceramahi oleh wali kelasnya itu, Ghea melangkahkan kaki santai. Sekarang masih jam pelajaran. Suasana di sekolah bisa dibilang cukup tenang. Mungkin Ghea bisa berbelok ke belakang sekolah untuk menghabiskan rokoknya yang tersisa satu batang.

"Sampai kapan kamu mau begitu?"

Langkah Ghea terhenti, ia setengah memutar badannya dan mendapati seorang gadis berambut pendek yang Ghea ketahui adalah teman sekelasnya.

"Lo ada urusan sama gue?" tanya Ghea heran. Ghea tak pernah bergaul dengan siapa pun, meskipun sekelas Ghea tak tahu siapa namanya. Dan lagi untuk apa gadis itu berbicara padanya? saling kenal pun tidak kan?

"Tolong berhenti, yang kamu lakuin ini cuma sia-sia, cuma rusak diri kamu sendiri," ucap gadis itu.

"Lo ngomong apa?" Ghea tertawa, "hey, siapa lo?!" Nada suara Ghea meninggi. Memang Ghea sangat mudah sekali marah dan tersinggung.

"Aku cuma pengen kamu berhenti berbuat onar, sayangi diri kamu. Aku tau kamu kecewa karena orang tua kamu bercerai, tapi terpuruk seperti ini bukan solu--"

PLAK!

Gadis itu memegangi pipinya yang memerah juga berdenyut nyeri.

"Siapa lo hah?! Terus kenapa kalo orangtua gue pisah?! Lo mau ngasihani gue?! Lo pikir karena lo dari keluarga yang utuh, lo bisa seenaknya ceramahin gue?!"

"Bukan git--aww...." Gadis itu meringis seraya memegangi rambutnya yang ditarik Ghea.

"Emang lo ngerti seperti apa rasanya jadi gue?! Udah pikirin baik-baik belum kenapa gue ngelakuin hal-hal bodoh ini hah?" Wajah Ghea memerah, rahangnya mengeras menahan amarah. Ia benci, ia benci siapa pun yang menasehatinya kemudian berujung membahas perceraian orangtuanya seperti ini. Bahkan wali kelasnya, ia sangat membenci wanita paruh baya itu. Mereka hanya belagak tahu padahal tak mengerti apa-apa.

"Ghea apa yang kamu lakukan?!"

Ghea melepaskan jambakannya, karena posisi mereka yang dekat dengan ruang guru, tentu suara gaduh barusan membuat guru-guru yang tidak sedang mengajar di kelas itu keluar.

"Masih cengeng jangan sok nasehatin gue!" ucap Ghea sebelum berlalu pergi. Mengabaikan guru-guru itu yang terus memanggilnya.

Tak berhenti di hari itu, meskipun sudah Ghea buat menangis gadis itu tak kapok menasehati Ghea. Dan ketika itu terjadi, tentu Ghea tak diam saja. Entah berapa kali tangannya memukul gadis itu, entah berapa kali tangannya menjambak rambut gadis itu, dan entah berapa kali juga kakinya ia gunakan untuk menendang gadis itu. Tak tahu apa yang ada di otaknya yang Ghea rasa tak bisa dipakai perpikir itu.

"Kalo lo nggak berhenti usik hidup gue, lo bakal dapat yang lebih parah dari ini!" Ghea menatap tajam gadis itu yang menunduk di lantai. Sudut bibirnya mengeluarkan darah, rambutnya acak-acakan, 2 kancing rompinya pun sudah menghilang entah ke mana. Ini adalah tindakan terparah yang Ghea lakukan pada gadis itu.

Ghea mengangkat pandangannya, menatap teman-teman sekelasnya yang sedari tadi berdiri melingkar. Tak ada yang menolong gadis itu, mereka hanya menampilkan raut takut dengan tubuh gemetar. Tidak ada yang bisa menghalangi Ghea kalau dia sudah mengamuk.

"Kalau kalian semua ada yang temenan sama dia, gue pastiin nasib kalian nggak bakal jauh beda dari yang kalian tonton barusan!"

Ghea menyesal pernah mengatakan itu, Ghea sangat menyesal akan kejadian itu. Ia tak pernah berniat menyiksa atau membully orang lain. Semua kenakalannya hanya bentuk kecewa atas perpisahan orangtuanya. Ia melakukan hal-hal bodoh hanya agar mendapat perhatian dari orangtuanya. Menjadi anak dari broken home itu tidak enak. Hanya bisa tinggal dengan salah satu dari mereka apalagi Ghea tak punya saudara setelah kematian Rian. Ghea kesepian sementra ibunya--yang mendapat hak asuh--sibuk bekerja untuk menghidupinya.

Larati, nama gadis itu setelah Ghea bertanya pada sekretaris kelas. Semenjak kejadian itu dia tak mengikuti Ghea lagi, tidak menasehati Ghea lagi. Dan setelah Ghea cari tahu, tepat 2 hari setelah kejadian itu orang tua Larati bercerai. Perasaan Ghea bercampur aduk, itu pasti pukulan keras untuk Larati. Kasihan gadis itu. Dan Ghea tak punya keberanian untuk meminta maaf, apalagi sekarang Larati menjauhinya, maksudnya menjauhi semua orang.

Waktu berlalu, kenakalan Ghea sudah tak bisa ditoleril, dan akhirnya 2 minggu sebelum Ulangan Akhir Semester ia resmi di keluarkan. Ibunya menangis, tak kuat dengan kelakuan Ghea, bukan selama ini ia tak memperhatikan, tapi Ghea sudah benar-benar keterlaluan. Dia marah, semua sakit hatinya--bahkan tentang Ayahnya--dicurahkan pada Ghea pada malam itu. Ghea tak pernah melihat ibunya semarah itu, juga serapuh itu.

Tak lama Ibunya dipindah kerja. Entah ini suatu kebetulan atau memang jalan yang Tuhan berikan agar Ghea bisa memperbaiki diri di tempat yang baru, kota Lampung. Tentu semuanya tak dapat dilalui dengan mudah.

2 Tahun kemudian Ghea kembali ke Bandung. Semuanya sudah berubah. Ghea berhasil melepas candunya terhadap rokok, ia juga tak tempramen lagi pada orang lain. Ya semuanya berubah, kecuali satu, rasa bersalahnya pada Larati.

Mereka dipertemukan lagi di SMA. Larati seorang yang penyendiri, atau lebih tepatnya mungkin ia tak punya teman. Berbanding terbalik dengannya yang mendapatkan 6 sahabat luar biasa.
Ghea ingin meminta maaf, namun ketika tak sengaja berpapasanpun Larati hanya menunduk dan berlalu pergi.

Hingga di penghujung SMA barulah Ghea bisa berbicara dengannya. Mereka bahkan membuat janji. Janji yang tak bisa terealisasi.
Ghea yang terlupa, juga Larati yang tak mungkin bertemu dengan Ghea.

08112018

Lullaby [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang