Angin sore menerpa daun-daun yang menguning, membuatnya terlepas dan menari-nari di udara sebelum akhirnya terjatuh tak berdaya di atas tanah.
Ghea yang memakai celana jeans serta jaket biru tua itu melangkahkan kaki memasuki cafe yang ibunya sebutkan dalam pesan singkatnya tadi. Ibunya akan pulang dari Surabaya sore ini, dan beliau meminta Ghea untuk menemuinnya di cafe yang tidak terlalu jauh dari bandara.
Beberapa saat lalu ibunya mengabari kalau dia sudah turun dari pesawat, dan Ghea yang kebetulan sudah sampai di tempat yang dijanjikan pun memilih masuk dan menunggu ibunya di dalam.
Ghea memilih meja yang berada di pojok, menjatuhkan bokongnya, dan menyampirkan jaketnya pada kursi yang lain. Di dalam sini tidak ada angin besar yang akan membuatnya kedinginan.
Sembari menunggu, Ghea memesan secangkir latte. Matanya menatap nyalang pada suasana di luar yang tersaji di balik jendela kaca besar di hadapannya.
Satu helaan napas berat keluar dari mulutnya. Satu sisi ia merasa tertimpa musibah, ketika kejadian-kejadian mengerikan secara beruntun menimpanya, dan di satu sisi ia merasa bersyukur karena semua itu hanyalah sebuah mimpi.
Mimpi aneh yang Ghea rasa apakah memang ada mimpi yang sepanjang itu? terlebih lagi Ghea mengingat setiap detailnya.
Tapi sudahlah, itu hanya sebuah mimpi. Di sini Ghea belajar, bahwa hal yang tidak logis itu memang benar-benar ada. Dan kita harus saling menghormati dan mempermasalahkan kehidupan yang berbeda itu.
Kita hidup berdampingan, sepatutnya kita tidak mengusik ketenangan masing-masing."Kak..."
Ghea yang tengah melamun pun tersadar, ia segera menoleh ke sumber suara dan mendapati seorang gadis kecil dengan rambut dikucir kuda. Wajahnya sudah tak asing lagi, itu gadis penjual Dream Catcher yang Ghea temui kemarin.
Ah benar kemarin, dan Ghea merasa waktu itu sudah terlalu lama Ghea lewati. Mungkin karena efek mimpi itu. Tadi pagi saja Ghea merasa ia seperti orang linglung. Sulit membedakan apa ia masih di alam mimpi atau benar di dunia nyata.
Beruntung ada sebuah pesan dari ibunya yang memberikan pencerahan. Hari Sabtu, ketika Ghea bangun kesiangan, diminta menemani Anggun, dan akhirnya bertemu Indri itu adalah kemarin, dan sekarang adalah hari Minggu, di mana hari ini ibunya akan pulang.
Tuhan... Ghea harus mengulang-ulang ungkapan seperti itu dalam hati untuk meyakinkan diri.
Sementara itu di samping Si Gadis Kecil ada seorang perempuan berusia sekitar 20 tahunan yang memegang tangan gadis itu hangat.
"Boleh kita ikut duduk sebentar?" Perempuan itu bertanya dengan senyum ramah.
Ghea pun mengangguk perlahan sebagai bentuk menyetujui. Setidaknya ia jadi punya teman seraya menunggu Ibu."Kamu tinggal di sekitar sini?" Ghea bertanya setelah 2 orang itu duduk di hadapannya. Lebih tepatnya kepada si gadis kecil, karena Ghea tak mengenal perempuan yang sebaya dengannya itu. Mungkin kakaknya, karena kalau dilihat-lihat cukup mirip.
"Kakak kenapa ngasih penangkal mimpi itu ke teman kakak?"
Bukannya menjawab pertanyaan Ghea, gadis itu justru berbalik bertanya dengan wajah kesal menggemaskannya khas anak kecil.Ghea menggaruk lehernya bingung, ia merasa tak enak karena telah memberikan Dream Catcher itu pada Anggun, padahal jelas-jelas benda itu ditawarkan padanya meskipun waktu itu raut tertarik Anggun lebih jelas terlihat.
"Hehe... Maaf ya, Dek." Ghea memasang raut bersalah.
"Pokoknya aku nggak mau tau, kali ini kakak harus bener-bener memasangnya di kamar kakak. Anggap aja ini kenang-kenangan dari aku," celotehnya. Ghea sedikit kaget ketika gadis itu menyodorkan sebuah Dream Catcher berwarna biru muda dengan hiasan manik-manik yang berkilauan.
Tangannya bergerak beberapa kali karena Ghea tak kunjung mengambilnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lullaby [Tamat]
Horror'Tutup matamu...' Akhir-akhir ini Ghea mendapat mimpi buruk. Didatangi makhluk-makhluk seram yang membuatnya terbangun dengan jantung berdetak kencang. Ketidak beruntungan itu berlanjut ketika ia menemukan buku yang tidak sengaja jatuh. Nama-nama t...