Prolog

1K 85 38
                                    

Deru napas yang tak teratur menggema mengisi ruang yang tampak mati itu. Atmosfer dingin dengan aroma debu yang kuat memberi tanda ruang itu tak terjamah dalam kurun waktu yang lama. Berbekal cahaya penerangan dari ponsel, Ghea melangkah hati-hati. Rambut yang diikat satunya terlihat berantakan dengan beberapa helaian menempel pada wajah. Seluruh tubuhnya berkeringat di tengah hawa dingin yang begitu menusuk.

Lukisan-lukisan kuno dengan beberapa guci pecah seperti memiliki aura tersendiri untuk membuat bulu kuduk berdiri. Kain-kain putih yang teronggok di lantai serta tembok-tembok dengan cat yang mengelupas pun menambah kesan seram dan rasa untuk melarikan diri. Ghea menarik napas dalam. Pegangan pada ponselnya mengerat hingga terlihat buku-buku jarinya yang memutih.

"Gue udah di sini! Sekarang apa mau lo!" teriaknya dengan segenap keberanian yang ia punya. Meskipun setelahnya tubuh Ghea bergetar hebat dengan mata yang berkaca-kaca tanpa komando. Lelah, takut, marah, sedih, Ghea tak tahu emosi mana yang paling mendominasi. Semuanya bercampur menjadi satu hingga ingin rasanya Ghea menghilang dari situasi ini.

Ketukan langkah mulai masuk ke gendang telinga, Ghea yang berada di tengah ruangan pun menelan ludah susah payah. Dengan tubuh yang bercucur keringat dingin, Ghea memberanikan diri untuk mengamati sekeliling. Ponselnya ia sorotkan dengan hati yang tak henti merapalkan doa.

Suasana kian mencekam seiring ketukan langkah itu yang kian terdengar nyata.

"Aaa!"
Ghea menjerit, jantungnya terpacu hebat tatkala lampu ponselnya itu mendadak mati.
Hanya samar-samar cahaya bulan yang menyelusup melalui atap yang terbuka sedikit membantu penglihatannya kini. Ghea beringsut, matanya mulai melihat bayangan-bayangan hitam yang bergerak kesana-kemari, menyebarkan udara sesak yang membuat napasnya terdengar semakin berat. Tanpa sadar kakinya bergerak mundur dengan teratur.

Untuk kedua kalinya tubuh Ghea bergerak terkejut, lampu di ponselnya itu menyala kembali. Namun hal ganjil terjadi setelahnya. Lampu tak menyala normal, justru berkedip-kedip dengan mulai mengeluarkan suara tawa mengerikan, rintihan, dan jeritan pilu yang membuat Ghea langsung melempar benda itu hingga tak berbentuk di lantai.

Ghea membekap mulutnya, ia menangis. Sungguh ia benar-benar ingin lepas dari situasi ini. Situasi yang tak ia mengerti mengapa tiba-tiba menimpa hidupnya dan mengacaukan segalanya.

'Kamu senang....'

Bau anyir menyeruak indra penciumannya. Suara bergetar itu membuat energinya seperti tertarik seketika. Lututnya melemas, seluruh sendi tubuhnya terasa rontok, hingga untuk menoleh saja Ghea tak mampu. Rasa takutnya sudah tak bisa ia toleransi lagi.

Sentuhan dingin menghinggapi pundaknya, membuat Ghea terkejut namun tak mampu melakukan apa-apa. Tangisannya terhenti, tubuhnya membeku, hanya bisa berdoa dalam hati ketika tangan dingin itu mulai merayap menjemput setiap ketakutannya. Beberapa kali udara dingin juga berhembus pada telinganya. Membelai bulu kuduknya dengan suara-suara tak jelas.

'Berakhir....'

Mata Ghea melotot, paru-parunya terasa sesak tanpa oksigen. Rasa sakit menyelubungi lehernya, bahkan kulitnya yang tertancap kuku-kuku panjang itu mulai mengeluarkan darah segar beriring kikikan senang di sunyi malam.

"AAA!!!!"    

10042018

Lullaby [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang