Part 9

67 6 0
                                    

Pria itu berdiri tegap. Memandang keadaan luar dari balik jendela besar, menghayal jika keinginan sudah tercapai nanti. Saat dia punya kekuatan untuk memiliki apa yang ia mau. Membayangkan nanti jika dia memiliki 12 kekuatan besar yang bisa membuatnya tidak terkalahkan. Bahkan dengan kelemahannya sendiri. Dan dia sudah menunggu hampir 30 tahun disepanjang hidupnya yang seakan tidak ada akhirnya.

Di belakang pria itu, ada berberapa temannya—atau lebih tepatnya anak buahnya. Duduk diam tanpa melakukan apapun, kecuali menunggu 'bos' mereka angkat bicara.

"Sekarang mereka sudah berumur 17 tahun," gumam pria itu. "Bukankah ini waktu yang tepat?"

"Aku sudah tidak sabar memiliki kekuatan terbesar di bumi. Apalagi jika aku sudah memiliki kekuatan Black Pearl. Aku bisa tak terkalahkan," lanjutnya.

"Bukankah akan lebih sulit. Mereka dalam pengawasan penyihir tua itu. Lagi pula, bagaimana jika mereka sudah mengusai para Mortem?" Kata satu-satunya wanita yang ada di ruangan itu.

Wanita berkulit putih seputih salju namun pucat seperti orang mati. Bibirnya merah bagaikan darah segar. Dan rambutnya hitam seperti sayap gagak. Kecantikan yang dimilikinya sangat luar biasa. Akan tetapi tidak ada artinya lagi semenjak dia menjadi abadi berpuluh-puluh tahun silam.

Pria itu berpaling pada si wanita. Menatapnya tajam seakan tidak suka dengan perkataan wanita itu yang baru saja dikeluarkan.

Dia berjalan cepat bagai kilat. Sekarang dia sudah berada didepan si wanita.

"My dear Sulli," kata pria itu lembut. "Apa kau meremehkanku?"

Sulli tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menundukkan kepalanya—memikirkan kesalahannya barusan. Seakan-akan dia sudah mengucapkan kata-kata terlarang yang haram untuk diucapkan. Dia tahu pria itu tidak suka diremehkan terlebih oleh anak buahnya sendiri.

"Perkataan Sulli ada benarnya." Seorang pria lain yang duduk tak jauh dari Sulli kini angkat bicara.

"Maksudmu, Henry?"

"Bagaimanapun juga, penyihir tua itu pasti akan melatih mereka untuk mengusai para Mortem. Aneh jika dia tidak melakukan itu," ujar Henry. Pria memiliki kulit seperti Sulli, putih tapi pucat. Matanya kecil namun tajam melihat. Berpakaian rapih dibalut kemeja putih dan celana hitam kain.

"Bukankah justru lebih mudah? Jika bocah-bocah itu sudah menyatu dengan para Mortem, akan jadi lebih mudah mengambil kekuatan mereka."

****

"Ooh.. Jadi kau mendapat beasiswa."

Amy dan Leo menghabiskan waktu mereka menunggu salju turun diatas sebuah gundukkan besar ditengah hutan. Yap.. Masih tetap menunggu salju turun. Saling bertukar cerita akan mengurangi rasa bosan.

"Tadinya aku bersekolah di Stonewall High School di London. Lalu aku dapat undangan beasiswa disini jadi aku pindah," ujar Leo. "Lalu kau sendiri, sejak kapan bersekolah di XOXO?"

"Aku sudah di XOXO sejak kelas 1. Ayahku mengenal baik Pak Jim dan Pak Jim menganjurkan aku bersekolah di XOXO," kata Amy menjelaskan.

"Kau tinggal dengan orang tuamu?" Tanya Leo.

"Hanya dengan ayahku. Ibuku meninggal saat melahirkanku," kata Amy.

"Aku turut prihatin."

Amy tersenyum, tak ada raut sedih dari wajahnya yang cantik itu. Bisa ditebak bahwa selama ini Amy hidup dalam kebahagian dan tanpa beban sedikitpun. Tapi hidup tanpa hadirnya sosok Ibu mungkin akan lebih sulit.

"Apa di London menyenangkan?" Tanya Amy.

"Hmm.. Cukup menyenangkan. Dan juga ramai. Berbeda sekali dengan disini. Tapi aku lebih suka disini. Tenang, udaranya segar, dan tidak ramai," ujar Leo. "Apa kau pernah ke London?"

BEAUTY & BEASTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang