Part 23

12 1 0
                                    

*****

Matahari terbit dari timur seperti sewajarnya, namun masih malu-malu untuk keluar dari balik awan. Burung berkicau indah seperti lantunan lagu yang menyambut sang fajar. Tetesan air yang jatuh dari setiap daun di setiap pohon menyegarkan suasana pagi. Hujan semalam berlalu cepat seiring datangnya pelangi. Pagi ini adalah pagi yang indah.

Stephan bangun lebih pagi kali ini, hanya sekedar ingin menjenguk sahabatnya yang masih tertidur di Rumah Sakit dan berharap dia telah bangun. Dia tidak berniat membangunkan yang lainnya dan membiarkan mereka tetap tidur. Apalagi Kevin yang semalaman demam tinggi. Sehingga Stephan harus melangkah dengan suara sekecil mungkin supaya tidak membangunkan siapapun.

Masih mengenakan piyama tidur biru muda dan kimono tidur—ditambah mantel coklat, dia keluar dari gedung asrama dan berjalan santai menuju gedung kecil Rumah Sakit di belakang gedung sekolah. Udara di luar terasa dingin. Mungkin karena tadi malam hujan badai. Hangatnya matahari belum cukup untuk menghangatkan tubuh Stephan yang kini sedang merasa kedinginan.

"Huft.. Dingin sekali," gumam Stephan yang mengeluh kedinginan. "Seharusnya aku memakai pakaian yang lebih tebal."

Kondisi sekolah masih terbilang sangat sepi. Tidak ada aktivitas berarti pagi ini. Kebanyakan dari murid masih tidur dan sebagian lagi sudah pulang ke rumah masing-masing. Cobaan berat memang sedang dihadapi oleh sekolah ini. Sebagian besar orang tua murid memutuskan untuk memindahkan anak mereka ke sekolah lain semenjak kejadian 12 werewolf yang mengamuk di tengah malam.

Stephan terus melangkah di atas jalan utama yang mengarah langsung memutari gedung sekolah. Jalan ini adalah jalan yang paling sering dilewati ketimbang harus lewat dalam gedung sekolah. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di depan gedung Rumah Sakit sekolah. Hanya dalam waktu kurang dari 10 menit, Stephan sudah berdiri didepan pintu kayu gedung berukuran 12 x 15 meter itu.

Kreeekk...

Stephan membuka pintu Rumah Sakit secara perlahan. Dia berusaha untuk tidak membuat suara terlalu gaduh saat dia membuka pintu. Dia khawatir jika suster galak menyebalkan yang biasa berjaga, sudah datang pagi ini. Tapi jika dia beruntung, tidak akan ada orang selain Leo didalam.

Dan ternyata Stephan beruntung...

Dia mengeluarkan kepalanya dari balik pintu, ingin melihat keadaan didalam. Tidak ada orang, apalagi suster galak yang dia maksudkan. Itu artinya Stephan aman kali ini. Dia masuk dan menutup pintu dengan perlahan. Langkahnya cepat menuju ranjang Leo yang berada dibalik tirai. Letaknya di ujung ruangan yang paling dekat dengan jendela yang terbuka.

Tunggu! Yang terbuka? Kenapa jendelanya terbuka? Apa sudah begitu dari tadi malam?

Langkah Stephan berakhir melihat ranjang yang ada di balik tirai tanpa memperdulikan rasa curiganya pada jendela yang terbuka. Namun sesuatu yang buruk ia dapatkan. Dia terkejut saat yang didapatnya hanyalah ranjang kosong yang berantakan. Leo sama sekali tidak ada disana. Stephan mulai panik. Leo hilang.

Stephan mencoba menenangkan pikirannya. Mungkin hanya perasaannya yang berlebihan. Mungkin Leo ada di kamar mandi. Dia berusaha untuk tidak panik dan mencoba berpikir positif.

Stephan berlari ke arah satu-satunya kamar mandi disana. Dia berharap Leo sedang da di kamar mandi. Stephan mengetuk perlahan pintu kamar mandi. "Leo?" Semoga ada yang menjawab.

Tidak ada jawaban. Jika memang kamar mandi itu ada orang, pastilah pintunya dikunci. Maka dari itu Stephan mendorong sedikit pintu kamar mandi. Ah! Pintu langsung terbuka dan tidak ada orang didalamnya.

Jendela!

Stephan berlari menuju jendela yang terbuka. Dan yang benar saja, diluar gedung Rumah Sakit, pintu pagar paling belakang sekolah telah rusak—atau lebih tepatnya dirusak oleh seseorang.

BEAUTY & BEASTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang