REVISI✔
030918___
"Ra, nyontek jawaban Matematika?" tanya Gamal mengagetkanku yang termangu di bangku, melihat luar melalui jendela mematang di sisiku.
Gamaliel Marisco, seorang yang suka membaur, ingat itu? Kurasa aku senang menyebutnya begitu.
Sulit di percaya ia menyapa duluan. Tiba-tiba jantungku langsung berdegub kencang, lalu menyadari tidak paham apa yang ia katakan barusan, ingin menanyakan tapi lidah terasa kelu.
Ini mungkin percakapan kami yang dapat menambah satu angka, dapat merubah hitungan jari.
Aku hanya menatapnya.
Memegangi letak jantungku sekilas berharap segera mereda.
Entah ekspresi apa yang aku keluarkan.
Gamal, memiliki kemanisan tingkat atas seperti gulali, jarang semua orang sadari, menaikkan alisnya heran menunggu jawaban.
Saat ini kelas kami, XII IPA-Dua meribut. Jam sudah menunjukan materi ke-dua dimana sebentar lagi pelajaran Matematika dimulai, tugas pun mengejar minta diselesaikan.
"Apa? Jawaban Ra, boleh gak?" Ia menyadarkan keadaan.
Tanpa menjawab, kuberikan buku tugas matematika bersampul tosca ini.
Ini bukan pemberian karena rasa berbunga-bunga.
Ini bukan pemberian karena rasa suka.
Ini bukan pemberian karena kelebihan rasa.
Tapi, ini pemberian bentuk solidaris seperti temanku yang lain, yang kini semakin berisik mengerjakan dengan saling memberi jawaban.
Bagaimana dengan tugas matematikaku? Tentu saja aku sudah mengerjakannya. Terlalu banyak waktu luang untuk menyelesaikan dengan mudah. Buktinya aku duduk santai di tengah badai keributan.
Pintar, tepat waktu, tidak banyak bicara, kata semua teman itu adalah aku.
"Thanks Ra, gue bawa--" Belum selesai ucapannya seseorang menarik buku itu dari tangannya.
"Gue pinjem dulu ya, Dyr! Sini Nyet! Nyontek bareng yok!"
"Kepepet elah waktunya! Buruan sini bege!" timpal Brandon, Ketua kelas, kadang miring lupa aturan, ia menerobos menarik bukuku berjalan ke belakang, bangku mereka.
Oceh penghuni kelas semakin keras terdengar, terus mengomel, mengeluh atas kebanyakan tugas, di sertai menulis, seperti lomba cepat menulis.
Bahkan Anya yang duduk di sampingku entah kemana, kabur mencari contekan karena lupa mengerjakan. Sebenarnya aku tidak keberatan memberinya contekan. Tapi, ia menolak berkata bila ia tidak tega dengan aku yang sudah mengerjakan sendiri. Sebagai sahabat katanya, ia harus menghargai itu. Bagiku mencontek arah lain ataupun denganku. Itu sama saja, Anya terlalu berperasaan.
Begitupun temanku lain, merasa tidak enak mencontek kepadaku. Lebih memilih pinjam yang lain.
Itu aneh, rasa terlalu di segani membuatku bersyukur sekaligus gusar karena sebagian dari pemikiranku, aku sama sekali tidak keberatan memberi. Satu hal baru aku sadari, permintaan Gamal barusan adalah hal yang sangat langka bagiku.
Gamal melihat tingkah Ketua kelas kami jengah, lebih tepat sohibnya itu kembali mengalihkan pandangannya padaku. "Di pinjem dulu ya? Entar gue balikin." Ia merubah ekspresinya menyengir.
Sekian kalinya.
Aku merespon anggukan kepala.
"Oke." Ia berbalik menyusul Brandon.
Masih beberapa langkah. Merasa aku perhatikan mungkin, ia menengok. "Btw, Thanks lagi Dyra Abriella atas contekannya." Gamal menyengir girang.
Blus. Aku sulit bernafas.
Nafasku tercekat.
Senyuman itu?
Bagaimana ia begitu fasih mengucapkan nama panjangku? Tidak ... tidak tidak, tidak usah berlebihan Dyra. Nope, itu wajar! terlalu sering banyak Guru memanggilmu dengan nama panjangmu atas prestasimu. Aku menetralkan diri agar tidak befikir aneh-aneh.
Tidak dapat terlelakan lagi. Memang, aku rasa .. aku memiliki segelintir rasa untuknya.
Sejak kapan?
Hm, aku lupa tepatnya kapan, yang pasti tentang pemberian contekan ini tidak ada hubungannya dengan rasa ini.
____
KAMU SEDANG MEMBACA
Serendipity✓
Short Story[SELESAI] Kebetulan yang menyenangkan. Saat pemeran pendamping selalu di sisi peran utama. Sudah hukum alam bila pendamping juga punya sisi cerita. Gamaliel Marisco yang tak terlihat dan Dyra Gabriella yang memperhatikannya. (sisi pendek cerita) st...