20. Cerita

65 13 0
                                    

REVISI✔
060918

____

Tidak ada di antara kami melanjutkan tugas kelompok biologi ini.

Tanpa kusadari, aku tetap tertahan sampai detik ini mengamati polah tingkah Gael tanpa ada beban, menikmati rokoknya.

Asap mengepul bersumber darinya. Aku hindari menutup hidungku jengkel. Dengan tegas memperingatkan melalui sikap tidak nyaman. Tapi ia sama sekali tidak sadar, atau sadar tapi tetap melanjutkan!

Menghisap rokok itu dalam kemudian mengepulkannya dengan lambat. Gael membalas menyeringai namun, ada sorot mata beban disana. Itu hal yang aku tangkap tentangnya. Tentang aku, akhirnya mungkin bisa menerka perasaannya.

Kesan baik atas sikapnya jenius di kelas membuahkan ia di segani, tak banyak bicara pula melengkapinya seakan musnah di mataku. Sejujurnya aku tidak peduli ia perokok atau bukan atau malah lebih parah lagi. Tidak seharusnya ia melakukannya di depanku.

"Gue pulang. Masalah tugas biar gue yang kerjain semua." Aku lontarkan keputusan sepihak, mulai mengemasi buku-buku.

Gael tidak menjawab.

Aku tidak peduli!

"Seberapa besar Gamal percaya sama lo?" Pernyataan itu keluar begitu saja membuatku berhenti tergesa mengemas.

Gael mengulang pertanyaannya, lirih seolah setiap kata yang diucap. "Seberapa. besar. Gamal. percaya. sama. lo?"

Tak tahu akan maksudnya, aku bimbang harus menjawab atau tidak sama sekali.
Dan suaranya berucap lagi, memecah keheningan.

"Kenyataannya ada empat orang kembar ... ada takdir nyata di sini. Giseal, Gamal, Gael ... dan yang terakhir tidak selamat. Ada hal yang harus gue tahu, lahir ..." Ia berhenti berkata menyakinkan bila aku sedang mengindahkannya.

Gael memastikan. Akhirnya aku mau mendegar, berhenti berkemas, tidak mejawab ataupun melirik. Biarkan aku mendengarnya.

Menghisap rokoknya yang sudah mulai habis, Gael melanjutkan parau. "Lahir dari keluarga yang kurang beruntung, aneh ... kenapa mereka minta orang lain untuk merawat anaknya, mereka tidak terlalu peduli atau memang tidak peduli?" Ia tertawa hambar.

"Terawat di tempat yang salah ... baru gue tahu saat Paman, Bibi, Giseal, jemput gue dari panti asuhan, tempat gue hidup selama empat belas tahun ini. Tentang Giseal yang sudah teradopsi tanpa sengaja ketemu gue, tentang Giseal yang berusaha mencari keluarga kami, tentang beruntungnya Paman dan Bibi sama mencari kami, mengetahui meninggalnya orang tua kami, tentang Gamal polos yang belum tahu apapun."

Kata demi kata ada emosi ia tinggikan, ada luka di sana. "Tidak ... tidak peduli seberapa besar Paman dan Bibi minta gue buat baik-baik saja. KENYATAANNYA gue gak pernah pantas buat ada di sini, gue benci harus tahu semua ini." Gael melihatku lamat, luka terkuak sangat jelas di sana. Sorot mata itu memohonku untuk membaca semuanya.

Mataku terasa perih, tanpa berkedip menatapnya aku berusaha mencerna semuanya. Bertanya-tanya pula kenapa ia menceritakan padaku? Apa ia sedang ngelantur? Tidak ... tidak mungkin. Kenapa aku yang ia beri tahu? Bukankah ini terlalu terbuka bahkan kami belum mengenal lebih dari satu bulan! Apa karena aku sudah terlalu jauh mengetahui sikap buruknya?

Gael mengakhiri perkataan panjangnya terbayang ketulusan di wajahnya, "Gue minta elo ngerti, karena gue juga percaya sama lo."

Sunyi, tak ada suara lagi. Sekalipun cicak di tempok menjadi sanksi tentu sangat tidak mungkin bersuara.

Semacam ia tahu aku tak akan menyahutnya, karena masih terkejut termangu. Gael percaya sama gue. Lalu? Apa?

"Oh, tentang perkelahian yang lo lihat sama teman gue?" Gael mengijak rokok dari bilah tanganya sudah menyusut tanpa alas kaki, melanjutkan. "Haruskah gue juga cerita sama lo?" tanyanya dengan sorot mata nanar.

____

(030718)-publish

Serendipity✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang