16. Mengenal

96 16 0
                                    

REVISI✔
050916

____

Dalam taxi kami bungkam, tak ada suara. Bermain dengan pikiran kami masing-masing.

Supir juga pasti diam, fokus menyupir. Suara radio berbunyi menyanyikan lagu-lagu sedang bomming, Jazz- Teman Bahagia menjadi sound track perjalan kami.

Sampai di tempat tujuan maksud Gamal, tanpa diminta aku turun duluan, menunggu Gamal yang masih membayar taxi.

Kami berhenti persimpangan jalan sepi. Aku pikir ia akan membawaku jalan-jalan seperti ke Mall, Cafe, atau Taman, tapi kenyataannya tidak sesuai ekspetasiku. Aku masih bingung ini dimana. Perjalanan tadi cukup jauh di tempuh. Menengok sana-sini sembari menebak-nebak, dari pada bertanya ke Gamal. 

Di sekitar, rata-rata di sisi kanan-kiri jalan di tumbuhi pepohonan subur nan rimbun. Semakin besar rasa penarasanku.

Ia menarikku pelan, memintaku mengikutinya. Dari jalan raya tadi melewati jalan kecil menurun. Akibat hujan mungkin, jalan di lewati pun becek. Beberapa kali Gamal tanpa aku minta ia memegang tanganku, agar tidak terpeleset. Aku elak pikiran burukku. Tidak mungkin Gamal membahayakanku, aku percaya padanya.

Sampai,

Sampai akhirnya,

Kami tiba di tempat yang ia maksud.

Tiba di sebuah pemakaman.

Tidak ada kata terucap antara kami sedari tadi. Aku terus mengikuti derap kakinya yang terhenti di sebuah gubuk kecil menjual potongan bunga mawar dengan sepaket benda yang digunakan nyekar.

Ia membeli empat plastik. "Terima kasih bu," ucap Gamal.

"Iya mas. Eh punten, si eneng ikut masuk?" Aku sadar yang di tanyakan ibu penjual itu menganguk. "Lagi gak bulanan kan neng?" Aku paham maksud ibu itu menggeleng, aturan yang ada memang tidak diperbolehkan masuk bila wanita sedang bulanan. Gamal menyimak mengerti.

Kami pamit, lalu Gamal menggengam lagi tanganku masuk. Melewati sisi aman batu nisan berjejer lurus beraturan.

Sampai di satu depan nisan,

Tertulis di sana.

Rahayu Wilajeng Astuti.

Siapa pemilik nama itu? Ibunya?

Gamal langsung berjongkok mendekat ke makam, aku pun mengikutinya. Ia menarik nafas panjang seakan menenangkan diri dulu. Membersihkan makam, kubantu duduk di sisi belakangnya.

"Apa kabar Nek?" Ia memulainya dengan tenang.

"... ini Gamal."

Aku memahami maksud dimana ia mengajakku. Suaranya menyerak, "Maaf Gamal jarang banget kunjungin Nenek."

Suasana di sekitar kami berubah begitu saja. Gamal banyak menjeda ucapanya, sebatas untuk mengambil nafas lama.

"Kenalin. ini teman Gamal, namanya Dyra."

Tatapan kami bertemu saat aku mengamatinya, aku majukan diri, mendekat ke arah batu nisan itu. "Saya Dyra Nek, temannya Gamal."

Sudah pasti hukum alam tidak ada yang menjawab. Angin berselir pelan, daun kamboja yang tumbuh berseling tergerak pelan, daun kering berjatuhan. Aku mencoba mengerti dan ingin memahami perasaan Gamal saat ini.

Banyak luka dan kebingungan di sorot matanya begitu tampak. "Nek ... minggu lalu ada orang lain datang ke rumah, Bibi menyambutnya penuh suka cita sampai menangis, Paman ... yang kuat tidak pernah menujukan titik lemah ke kita juga menangis .. semua di hari itu menangis, semua terlihat senang dan lega ... tentunya tanpa aku."

Gamal terus menatapi nisan itu. "Orang lain itu ...," menghembus nafasnya seperti tidak ingin memperjelas tapi ia melanjutkan, "aneh, kenapa dia mirip sekali denganku? Jauh lebih hebat dariku. Kenapa? Itu tidak mungkinkan nek? ...." ringisnya tak percaya.

Seperti menahan emosinya Gamal tetap meneruskan. "Nenek tidak pernah bercerita kepadaku ... semua ini bohongkan? Orang asing itu, mengaku adikku."

"Ini sulit di percaya ...," ia menunduk dalam, "kata orang, kita lahir di dunia ini pasti ada kemiripan dengan orang lain tanpa ikatan darah, tanpa ikatan keluarga atau apapun. Bahkan ada delapan orang di dunia ini."

"Dan dia pembohong, Nek." sorotan matanya marah, kesal tapi melemah memandang nisan itu. Perkataan Gamal seakan menjelaskan semuanya. Begitu berpengaruhnya Gael datang.

"Tidak seharusnya aku datang seperti ini dan bercerita hal yang terlalu berat. Aku akan lebih sering berkunjung lagi ... Nek."

Hening tanpa suara, tersisa hembusan angin membuat gerakan ranting bergesek.

Aku menepuk pelan bahunya, ia menengok, kusambutnya dengan senyuman hangat berharap Gamal merasa lebih baik.

Bukan bermaksud membuatnya terlena akan senyumanku. Tapi maksud senyumanku ... akan membuatnya merasa
bila aku akan berada di sisinya.

____

(200618) -publish

Serendipity✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang