29. Timezone

51 9 0
                                    

REVISI✔
060918

_

___

"Apa gue kalah?" tanyaku ternganga, mengedipkan mata bimbang. Terakhir bermain di timezone ini seingatku satu tahun lalu, terlalu sibuk belajar dan minim liburan meskipun hidup di perkotaan membuatku buta akan tempat ini.

Gamal mengeleng gemas, "Elo kalah."

Duduk di kursi merah tersedia layar besar yang bergandengan. Rasanya menguras pikiran, dari pada menghibur. Maximum tune bukan solusi terbaik untuk dimainkan di awal. Gamal duduk di sampingku fokus menentang bersiap, "Lihat ini."

Kugeser pelan diriku, Gael turut melirik.

Permainan Gamal keren, ia bisa melewati semua rintangan dengan mudah. Ia menarik bibirnya miring mengangkat wajah menyengir.

"Keren! gue mau coba lagi," ucapku penuh antusias.

Gael ternyata tidak kalah dari kakaknya, layar di depannya terus menyuarakan keberhasilannya dalam bermain.

"Elo keren! Lo pasti sering main ginian ya?" tanyaku terpana ke Gael begitu gercap menekan tombol didepannya.
Gamal fokus bermain, aku yakin ia menyimak.

Gael mengeleng tak acuh. "Ini baru pertama kalinya gue main ginian."

Hening.

Tiba-tiba Gamal berhenti bergerak dari tuas bermain. Aku pun juga.

Gael menambahkan perkataannya tenang. "Seru juga," tanggapnya senyum, untuk pertama kalinya aku melihat senyumanya.

Ada rasa gusar disini tak berani ku palingkan satu sama lain. Kini, kami meratapi kosong ke layar. Suara permainan Gael begitu menggema, ia tetap memencet, seperti setiap tekanan di sana memiliki satu semangat kuat.

Ting ting ting tringting ting ting ting..

Ting ting ting tringting ting ting ting..

Deringan handphone dari saku itu menggema di sekitar kami, itu berasal dari handphone Gael. Tanpa pamit ia bangkit mengangkat telpon. Sekilas aku menangkap nama yang tertera disana. Memang tidak seharusnya aku melihat, ini salah.

'Tristan? Kritan? Christan?'

Nama itu yang aku lihat.

"Dia ngibulkan?" tanya Gamal kepaku.

Aku bingung."Ngibul apa?"

"Pertama kali main disini, katanya? Yang benar aja! gue yang main tahunan aja baru bisa sekeren ini. Dia? Cukup menyamai gue bilang baru pertama kali?" Gamal mendengus gusar.

Aku tak tau harus menjawab apa, tidak merespon. Gael kembali dengan aura yang berbeda. Yang tadinya seperti cukup terbuka mau bicara sewajarnya. Kini, gestur tingkah lakunya seolah membangun tembok dinginnya lagi.

Seiring jalannya waktu, kami sudah menikmati bermacam permainan dari Time crisis, Tekken tag tournament, yang kami mainkan berpasangan bergantian. Cukup seru di saat aku dan Gamal bermain, ia beberapa kali mengitrupsiku dalam melangkah. Bahkan seperti tidak bermaksud mengalahkan aku yang begitu payah.

Bermain dengan Gael tidak kalah seru, ia menyungging senyum sangat tipis saat aku memprotesnya Ia sudah seperti sang master saja.

Gamal dan Gael bermain dengan sengit. Terlalu serius hingga aku tak dapat menikmati permainan mereka.

Sampai di Street Basketball, rasanya melegakan sekali. Aku lebih menjadi pendengar baik mereka.

"Elo pernah ikut extra basket?" dengan santai Gamal memasukan bola ke ring.

"Pernah."

"Kelas berapa?"

"Lupa." Gael memasukan tepat bola ke ring berkali-kali, lalu ingat tapi ragu juga. "Mungkin kelas dua smp."

"Lo masih minat basket? Bisa gabung sama gue!"

Aku menyinggkir di sisi lain. Gael berhenti malah mendrible bolanya, merunduk, "Apa gue boleh?"

Gamal memegang bola. "Kenapa enggak?" bola yang di drible masuk lagi, "Elo tentu boleh buat lakuin yang lo suka iyakan?" ia menengok.

Gael yang tadi merunduk, malah tertawa parau, "Gue harap, gue bisa lakuin yang gue suka. Mungkin mulai sekarang." Poin bertambah lagi di ring depannya.

____
(060817)-publish

Serendipity✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang