REVISI✔
060819____
Langit langit putih menyambutku dari rasa penat ini. Pusing di kepala semakin terasa. Satu hal baru aku sadari, ini pertama kalinya diri ini merasa begitu lemah ... tanpa tenaga.
Apa yang terjadi? Rasanya begitu melelahkan ingin terlelap lagi tapi ... ingatan itu muncul begitu cepat menyadarkanku.
Gamal.
Gael.
Bagaimana?
Bagaimana? Mereka.
Arah lariku saat itu. Apa aku bisa?
Rasa kantuk itu hilang begitu saja, berusaha bangun menyadari tidak ada seorangpun di ruangan ini.
Dress bunga-bunga tidak melekat lagi di tubuhku telah berganti baju pasien biru muda ini. Ada perban di dahiku, saat menggerayah ada hal menganjal bagian atas kepala.
Berusaha turun dari tempat tidur ini. Tidak ada alas kaki di bawah, bukan penghalang untuk keluar.
Sepi, tidak ada siapapun di Lorong yang masih bernuasa putih ini. Bingung mau berlalu kearah mana aku tekan kening yang berdeyut lagi. Arah kanan adalah pilihan terbaik.
Kudapati arah jam menunjukan pukul satu dini hari. Saat melewati lorong berkelok, akhirnya ku menjumpai seseorang di sudut sana ... wanita cantik yang auranya nampak meskipun dari jauh. Wajahnya tidak begitu asing untuk hari-hari ini.
Giseal apa itu dia?
Dari jauh saja perpaduan antara Gamal dan Gael ada di dia.
Ia mengatup bibirnya rapat, menelipiskan poni panjangnya yang menutup pandangannya menerawang ke bawah. Gerakan tangannya menelusup ke bawah menghapus tetesan di wajahnya. Terasa pacu jantungku sampai terdengar di diri ini ... takut akan apa yang terjadi, aku tapaki pelan langkah diatas lantai dingin ini.
Tak perlu sampai jarak kami habis, Giseal menyadari kedatanganku. "Lo kok sampai sini. Apa ada yang masih sakit?" dengan nada khawatir ia mendekat dan memeriksa.
Aku menggeleng, untuk bicara satu kata saja rasanya sulit.
Ia menarik nafasnya lega. "Gue baru hubungin bokap lo sebentar lagi ke sini." Ibu yang jarang di rumah di tuntun harus berkerja, sudah aku duga mungkin akan terlambat mengetahui ini. Aku mengangguk mengerti.
Kuberanikan bertanya kepanya. Giseal dan aku seakan sudah saling mengenal lama. Padahal baru pertama kalinya kami bertemu. Sikapku yang tidak terkejut melihatnya seakan Giseal mengerti semuanya. "Bagaimana dengan--,"
"Ayo kembali ke kamar lo." Giseal mengambil balik tas kecilnya. "Elo perlu istirahat ... biar gue temenin sampai ibu lo datang."
Bahkan aku belum menyelesaikan pertanyaan ini. Rasa khawatir kuat menerjang begitu saja. "Bagaimana keadaan mereka?" tanyaku cepat.
Giseal menuntun pelan menarik lenganku mengandeng. "Ayo, istirahat."
Aku tidak memberontak. Menuruti kemauannya, sampai di ruangan itu lagi. Aku duduk menunggu jawaban Giseal yang terus mengingatkan akan Gamal ... dan Gael.
"Mereka gak baik-baik saja Ra, tapi di sini akan lebih penting lo fokus ke kesehatan lo dulu--"
"Setidaknya beritahu gue." Entah aku berhak untuk tahu keadaan mereka.
Giseal yang aku yakini ia tidak mampu bertahan sama sepertiku, suaranya parau. "Berat, Ra." Aku yang sudah mendekat mencoba menenangkannya. Dari manapun tempat Giseal tinggal pasti ia berlari mendengar peristiwa ini.
Lama tidak ada kata yang muncul. Giseal sudah duduk di atas tempat tidur ini. Kami terarah ke jendela cukup luas ini. Giseal yang menyibak tirai putih ini menampakan susana kota yang beranjak pagi.
"Gael tidak tumbuh dengan baik ... itu kesalahan gue." Akhirnya Giseal buka suara.
Biarkan ia bercerita, aku ingin mendengarnya. "Takdir terus berjalan di luar batasan pemikiran gue ... saat berhasil temuin Gael disaat dia bukan adik yang baik di luar. Tapi seketika ia berubah saat tahu ada gue,Gamal, Bibi dan Paman. Bukan anak yatim piatu tanpa keluarga, yang dia tahu sejak kecil."
"Di adopsi orang tua yang baik adalah hal terindah dalam hidup gue. Tapi ... ingin rasanya lepas gitu aja saat gue tahu. Gue masih punya saudara kembar. Rasanya gue pengen kembali, tapi gue gak bisa,"
"Beberapa kali seminggu gue saling telepon dengan Gael menceritakan kegiatan satu sama lain, yang kenyataannya lo patut tahu Gael sama sekali gak sedingin itu. Dia hanya buat batasan agar orang lain gak mudah tahu tentangnya." Giseal tersenyum miris.
Giseal semakin tenggelam dalam keadaan yang ada. "Dia sering cerita tentang Gamal, tanpa lagi gue harus diam-diam lihat dia dari jauh. Gamal yang suka olahraga, menyengir, suka main game, dan sang master di timezone ..." suaranya habis tertelan gejolak perasaannya. "Adik ... saudara gue yang gak tau adanya gue."
Tatapannya kosong. "Paman dan bibi menyarankan lebih baik gue gak muncul dulu karena Gamal masih belum cukup nerima Gael.
"Semua ini salah gue, Ra."
Aku genggam tangannya pelan. "Gak ada yang salah di antara kalian."
Giseal tersenyum sendu. Aku harap ia merasa lebih baik. "Gue senang bisa ketemu elo Ra, Gael sering juga cerita tentang lo..." Ia menunduk tetesan air matanya turun. "Terimakasih atas pertolongan lo."
____
(150818)-publish
KAMU SEDANG MEMBACA
Serendipity✓
Nouvelles[SELESAI] Kebetulan yang menyenangkan. Saat pemeran pendamping selalu di sisi peran utama. Sudah hukum alam bila pendamping juga punya sisi cerita. Gamaliel Marisco yang tak terlihat dan Dyra Gabriella yang memperhatikannya. (sisi pendek cerita) st...