6. Izin

128 22 2
                                    

REVISI✔
030918

"Kebetulan yang menyenangkan."

____

Bel tanda jam kedua telah berbunyi, semua rata-rata menutup buku bersamaan saat Guru beranjak keluar, ini rutinitas nyata sehari-hari. Sebagian dari kami mengistirahatkan pikiran terlebih dulu, bersiap mental melalui jadwal yang panjang.

Satu hal yang selalu di benak kami, sangat di-idamkan. Surga dunia bagi pelajar, ya benar ... jam kosong.

Jakpot! Pasti ini benar. Sangat naif meskipun pandai sampai juara kelas tidak mengharapkan hal ini, aku? Baru mengakuinyakan?

Dan sekelebat harapan itu terkabul. Betapa beruntungnya dua murid perkelas dari seluruh murid sekolah dapat terbebas dari pelajaran. Tidak tanggung-tanggung mereka itu berkesempatan emas. Kenapa? Karena mereka tidak mengikuti pelajaran selama satu minggu.

Teruntuk dari kelas ini, itu Anya dan Brandon.

Yang benar saja! Ketua kelas gila itu, Brandon. Baru aku sadari, dulu saat di semester satu, bagaimana ia bisa terpilih menjadi Ketua kelas? Ia semakin berisik sekarang.

"Gue bakal gak muncul tujuh hari kedepan. Jadi! kelas ini harus diamankan ketetraman, kesejahteraan, perdamaian sentosa selama gak ada gue. Semua gue serahin sama Dyra, yang menjabat sebagai Wakil ketua kelas." Pidato Brandon ditengah pergantian jam mengukir senyum bodoh kearahku.

Aku menangapinya dengan wajah tidak peduli. 

Brandon di luar nalar dari kelihatannya memang kuakui cukup pintar dari populasi cowok di Kelas walaupun juga kerjaannya sama, tukang menyontek tapi tingkat kepintarannya lebih unggul.

Ia berkesempatan menjadi Putra perwakilan kelas kami bersama Anya menjadi Putri ,untuk di pilih menjadi Putra Putri perwakilan Sekolah. Mendapat bimbingan karangtina selama tujuh hari.

Pertanyaan pasti muncul kenapa Anya yang menjadi perwakilan kelas. Kenapa bukan Aku yang selalu menjadi juara kelas?

Masalahnya, aku sangat kurang menarik. Anya mendapat nilai sembilan dalam penampilan, delapan untuk kecerdasan.

Aku? Cukup lima dalam penampilan, itu sudah cukup menjelaskan dan tidak perlu dipermasalahkan.

Semua temanku sibuk menanggapi dengan ledekan jahil, berkacak pinggamg, memaki dan menyemangati Brandon juga Anya untuk bisa menang.

Felling-ku mengatakan mereka akan mudah dan cepat jadian bila keadaan seperti ini.

"Dyr?" panggil Anya.

"Hm?"

"Gue bakal kangen deh sama lo." Anya manja memelukku.

"Sama gue juga, lo tega ya ninggalin gue duduk sendirian...," protesku dengan nada tidak terima.

Anya memelas lesu, "Ya, mau gimana lagi."

Oke! Ini terlalu drama. Anya berakhir cengesan sambil mengemasi bukunya.

"Semangat ya, Nya! Semoga kelas kita menang dan masuk ke agenda kota. Amin."

"Iya, Amin, Dyr. Thanks udah dukung gue." Anya memelukku gemas.

Akhirnya, Anya sama Brandon pun berpamitan dengan Pak Arief, Guru PKN mengisi jam ketiga kelas kami.

Kini, aku duduk sendirian, sesekali menoleh ke bangku belakang. Ke bangku Gamal yang tenang damai meletakan kepala di atas meja, bertumpu di dua tanganya.

Aku yakin selama Brandon berpidato tadi, ia sudah tertidur. Lalu aku kembali memperhatikan depan.

"He, kamu! yang duduk di belakang sendiri," tegur Pak Arief menunjuk salah satu muridnya yang di maksud. Semua menoleh kearahnya begitupun aku.

Gamal celigak-celinguk bingung saat teman kami depannya menyenggol. Ya ia terkadang malas dalam pelajaran.

Bagaimana aku tahu?

Tentu saja karena aku terlalu sering memperhatikannya.

"Iya, saya Pak?" Gamal menjawab serak ala bangun tidur.

"Pindah ke depan!! Duduk sini!" Gestur tangan Pak Arief mengarah ke bangku sampingku.

Alasan klasik, memberi pelajaran kecil dengan pindah tempat duduk, agar lebih memperhatikan pelajaran.

Sekarang, rasanya tiba-tiba diri ini dilanda antara senang dan gugup. Gamal berjalan menuju bangku sampingku. Tanpa sapaan, ia mulai memperhatikan Pak Arief melanjutkan materi lagi.

Pandangannya mengejap mencoba fokus, tangan mengaruk-ngaruk lengan rambut komanya sedikit berantakan sekarang, tidak dibenarkan.

Tanpa sadar waktu berjalan semestinya.

Tidak ada percakapan di antara kami.

Gamal lesu menguap berkali-kali. Aku yakin pasti ia begadang atau apalah, lantaran akhir-akhir ini ia sering seperti ini.

Aku belum punya nyali  menyapa dulusan. Rasa canggung, masih menyelimutiku.

Jam PKN berakhir dan sekarang waktu istirahat. Gamal tak bergerak, tidak berpindah malah kembali meletakan kepalanya di atas meja mengarah padaku.

Ia berkata. "Gue duduk di sini dulu ya? Males balik."

Aku membalas anggukan pelan, dengan terheran menganga. 

Gamal menyungging senyum lamban. "Oke, gue bertahan di sini satu minggu."  Tanpa persetujuan dariku, ia mengalihkan dirinya kembali menutup mata dan berancang tidur.

Aku hanya bisa mengedip-ngedikan mata. Meyakinkan diri, bila Gamal tadi sedang ngelantur tentang hal yang baru ia katakan. 

____

(080517)-publish

Serendipity✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang