15. Gengaman

93 16 0
                                    

Happy reading!

Happy reading!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

REVISI✔
050918

____

Kelas mulai menyepi, setelah bel pulang sekolah berbunyi.

Seperti biasa aku tertahan, merapikan alat tulis, buku-buku, tidak buru-buru pulang seperti yang lain dengan berbagai alasan misalnya, lapar, parkiran mumpung sepi ambil kendaraan, urusan pribadi, dan munculnya kangen rumah yang berlebihan.

Terlintas di kepalaku, bagaimana tadi meriahnya kantin. Saat sekian lama aku tidak ke sana, datang atas alasan perayaan hari jadi Anya dan Brandon. Sebagai bentuk tradisi remaja, kadang terwujud ... kadang hanya sebatas guyonan, yang di sebut PJ, pajak jalan. 

Betapa menyenangkan tadi, aku bisa berkumpul dengan teman-teman. Bercanda, mengobrol ngalor-ngidul tidak jelas, ribut lekas baikan dengan tawa. Itu adalah hal yang terus terngiang saking senangnya.

Walaupun, Gamal dan Gael tidak ada di sana tadi.

Meskipun, seperti biasa aku irit bicara, kebanyakan menyimak tadi.

Tapi hari ini aku baru menyadari, betapa berartinya menikmati kebersamaan di masa SMA. Kupalingkan sebentar meraih ponsel memperbarui pengaturan notifikasi grup yang aku bisukan satu tahun itu.

Terpampang jahat bila teman-temanku melihat. Tapi apa boleh buat, grup kelas sering membahas hal gak penting, menguatkan aku melakukan ini.

Selesai.

Nanti akan aku baca pesan yang sudah menumpuk, 3000 pesan ini.

Aku akan lebih menikmati momen bersama teman-teman sekarang. Omongan gak penting di grup setidaknya lebih aku respon dengan membaca.

Aku untarkan pandanganku menyeluruh, hanya menyisakan beberapa teman yang.
Termasuk si kembar tidak hadir di Kantin tadi.

Kuamati Gamal bersipuh diam di atas meja bertumpu kedua tangan. Bahkan matanya terpejam lelap, haruskah aku membangunkannya?

Dan Gael masih menyalin catatan, pasti ia mengejar materi kelas. Materi yang tentunya berbeda dengan materi sekolahnya dulu.

Jadi teringat terus saat melihatnya, teringat perkelahian di gudang angger. Keputusanku tidak mengungkapkan ke siapapun, aku akan memastikan sesuatu tentangnya dengan Gamal.

"Kita duluan ya, Dyr."

Suara membangunkan amatanku. "Oke," balasku kepada temanku keluar duluan.

Tinggal beberapa buku untuk di pilah-pilih antara di bawa pulang atau diletakan loker. Teruntuk paket, lebih baik di tinggal di loker.

Sampai seseorang membuatku menengok sigap saat ia berdiri di sisi bangku, Gamal mengajak. "Ayo pulang bareng?"

Seketika aku membeku. A...pa aku salah dengar? Aku menganga tak percaya, ia menghangat menunggu kepastian. Aku mengiyakan ragu.

Akhirnya kami berjalan beriringan keluar. Dalam diriku, aku berharap kali ini Gamal murung, membuka diri mau cerita ke padaku. Terasa jauh rasanya saat ia kembali ke bangkunya tanpa suara.

Saat melintas di depan Gael.

Gamal terhenti sebentar, "Bawa sepeda gue sana, kalo gak mau jalan kaki!" ucapnya tanpa menyapa atau basa-basi.

Gael menengadah datar tak membalas, kembali menyibukan pada bukunya. Masih aku tangkap bekas luka di wajahnya. Apa Gamal tidak menyadarinya?

Tiba-tiba Gamal menarik tanganku, menekan tanganku masuk dalam gengamannya memunculkan perasaanku yang tidak karuan, kutahan gejolak-gejolak girang pada diriku.

Menarikku berjalan keluar menjadi beriringan di lorong menuju loker, melepas genggaman. Seolah ia tahu aku harus meletakan buku dulu.

Tidak ada pembicaraan.

Tidak ada lagi genggaman di tangan ini, nyatanya terasa kosong.

Setiap langkah kami, melancarkan pikiranku yang berkelana tentangnya yang masih muram. Ketika aku amati, terlihat ia banyak berfikir meninggalkan bekas kusut beban di wajah manisnya.

Tanpa sadar. Aku tarik tangan kanannya, kueratkan tanganku ... membuatnya termangu menatapku.

Aku tersenyum kecil, seketika secepat kilat mati konyol rasanya, menyadari
hal yang baru aku lakukan. Sudah terlanjur kuharap Gamal tidak menolak.

Berharap ia paham yang aku maksud.

Kukembangkan senyum kecil di bibirku, seolah memberi semangat.

Tak terlihat tapi selalu baik-baik saja ... akan tetap ada padanya.

Sampai kami di depan gerbang. Aku ingin melepas genggaman kami. Tidak nyaman rasanya bila semua orang melihat. Sepertinya Gamal memahami, setuju melepas genggaman kami pelan. "Ra, lo keburu pulang gak?"

Aku berfikir cepet, lalu menggeleng.

"Oke. Jalan yuk, ikut gue?"

Tak berguna menjawab pertanyaannya, tak menunggu jawaban dariku. Ia menarikku ketika melihat taxi melipir. Aku biarkan ia membawaku kemanapun, entah kemana arah mata angin membawa kami nanti.

____

PS. Kata arah mata angin membawa kami nanti. Terinspirasi dari uang kaget wkwk

(010618)-publish

Serendipity✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang