REVISI✔
060918____
Lama.
Lantai ini terasa semakin dingin. Isakan tanpa suaraku terhenti menyisakan sesak di relung ini.
Aku harus bangkit.
Bangun dan menuju satu arah untuk dua orang adalah tujuan utamaku. Terhenti di lorong kosong di siang bolong ini.
Kulihat Giseal menangis dipelukan wanita paruh baya yang kuyakini Mama angkatnya, Giseal sempat menunjukan foto orang tua angkatanya yang begitu menyayanginya. Aku segera mendekat bersama langkahku, tapi mereka menjauh tak terlihat sampai ujung lorong.
Jeritan wanita berasal dari pintu Gael.
Raungan tangisan dari pintu Gael terjaga.
Dengan cepat dan bergetar aku pegang ganggang pintu itu. Belum sempat kutarik. Dari dalam sudah ada yang berusaha membukanya.
Terbuka.
Bibi, tersirat amarah dan keputusasan di wajah beliau. Air mata habis dan senyum kesedihan menyambutku. Aku bergetar melihatnya.
Tidak ada yang membuka kata di antara kami. Segera kulemparkan penglihatan ini ke Gael yang sudah siuman terbaring menatap kesini.
Menutup bibirnya dengan tangan dan terisak lagi, Bibi hanya meninggalkan satu kata kepadaku. "Tolong."
Gamal terus memantauku dengan gerak bola matanya. Bibi menutup pintu keras saat aku masuk.
"Gue mau kasih mata ini buat Gamal. Apa gue salah?" mulutnya berbicara begitu jelas tanpa bibirnya bergerak karena luka-lukanya yang belum mengering.
Dengan datar ia melajutkan cepat. "Hanya mata."
Aku tetap berjalan mendekat sampai tempat ia berbaring. Tetesan dari mataku tanpa seizinku turun begitu saja. Emosi kekecewaan yang ada di diri ini menyeruak begitu saja.
Kekhawatiranku akan kemungkinan banyangan buruk terjadi sekarang. Aku hanya bisa mengeleng.
"Tolong dengerin gue--"
"Lo gak tau akibatnya El! Dengan gitu lo pergi. Gue gak mau." Selaku tanpa sadar. "Lo sama pentingnya dengan Gamal. Kalian harus sembuh bersama!" aliran dari mata ini tak kuusap terasa aku sedang meneguk air itu sekarang.
Gael tersenyum miris. "Dengan keadaan seperti ini? Gue bisa?" Semakin dalam ia memandangku. "Satu jam lagi dokter aputasi kedua kaki gue. Gue bisa?!! Bisa apa Ra?!!" teriaknya begitu frutasi.
Aku terpaku.
"Sampai gue bakal lari keujung duniapun Tristan brengsek itu bakal kejar gue dan hancurin orang terdekat gue!! Selama ini gue udah gak bisa nafas Ra!!!" nadanya menaik.
"Gue pergi itu pilihan gue." Suaranya melemah menatap ke arah lain.
Aku pun terus terisak tanpa henti. Menangis sekeras kerasnya.
Gael mengucap melihatku, air mata itu juga turun dari matanya. "Jangan buat semuanya terasa berat, gue capek." air matanya turun menyamaiku. "Gue gak mau lihat Gamal buta gara-gara gue! Gue gak mau Gamal benci lagi kayak dulu Ra!!"
Menggeleng.
Menggeleng.
Terus menggeleng.
Hanya itu yang bisa aku menunjukan bila aku tidak menyetujui keputusannya. Gamal pasti semakin dekat dengan Gael. Akan ku pastikan, kugenggam pendapat dalam batinku ini bila akan terwujud.
Tidak tahan lagi.
Tak tahu apa yang akan kukatakan.
Tak bisa berucap lagi rasanya.
Melangkah maju di sisinya, memegang lamban tangannya yang terkupas luka. Tangisan aku rendam untuk berhenti, tapi rasanya sangat sulit.
Aku menjerit untuk bisa berhenti.
Semakin sesak untuk bernafas.
Tidak seharusnya aku melemah di hadapannya aku harus menguatkannya.
Tapi tidak bisa..terlalu larut dalam pemikiran burukku.
Gael membalas genggamanku mengeratkan.
Kaki ini rasanya sulit untuk bertumpu lagi. Langsung berjongkok di sisi bawah tempat tidur.
Tidak lagi melihat Gael. Kusembunyikan wajah ini di kedua lututku.
Tidak ada lagi suara dari Gael.
Lama aku menunduk. Memikirkan apa yang harus ku lakukan bersama tangisku.
"Ra?" suara isakanku hilang saat waktu berlalu, Gael memanggilku.
Aku tidak bangun dari pertahananku. Ku gerakan tangan di genggamannya bila aku mendengarkan.
"Gue capek, gue mau tidur." suaranya serak. "Tolong tinggalin gue sendirian."
Aku bangkit cepat. Mempererat genggamannya dengan gerakan remasan.
Gael tersenyum seolah keadaan baik-baik saja di matanya. Kuamati seluruh tubuhnya yang tidak baik-baik saja, luka bekas tusukan terpampang paling jelas dengan balutan kapas tipis menutupi. "Gamal bakal cemburu lihat lo kayak gini sama gue." menarik tangannya dari genggamanku mundur.
"Jangan nangis lagi. Gamal bilang gak suka cewek cenggeng."
"Bohong!" sahutku.
Gael tersenyum di balik penatnya. "Gue denger dia cerita tentang lo ke Brandon ... jangan nangis lagi ya."
"Gue mau tidur dulu Ra."
Jelas wajah yang lebam Gael menyatakan kelelahannya. Aku cukup tercengang pelan akan ucapan tentang Gamal, lupakan aku harus memberikan waktunya istirahat. Tanpa menjawab pernyataannya bertubi-tubi sedari tadi, selimut di bawah kakinya ku tarik menyelimutinya.
Mengamati wajahnya yang menatapku dan aku mundur keluar. Sampai bahu pintu Gael sudah terlelap saat aku toleh. Menutup pintu. Ada suara darinya masih menutup mata. "Jadi kakak ipar gue yang baik ya Ra."
Menunduk lama, kututup pintu ini lamban berharap bisa merendam decitannya.
Di balik pintu ini. Kusembunyikan suara tangisku yang tak bisa berhenti.
____
(010916)-publish
Maaf kalo feelnya belum dapat ululu. jangan lupa like dan comment ya. kritik dan saran sangat di butuhkan oleh diriku ini

KAMU SEDANG MEMBACA
Serendipity✓
Cerita Pendek[SELESAI] Kebetulan yang menyenangkan. Saat pemeran pendamping selalu di sisi peran utama. Sudah hukum alam bila pendamping juga punya sisi cerita. Gamaliel Marisco yang tak terlihat dan Dyra Gabriella yang memperhatikannya. (sisi pendek cerita) st...