8. Cita-cita

101 24 0
                                    

REVISI✔
040918

____

Seiring waktu berjalan, hari bertambah hari.

Sekarang Kelas dalam suasana yang kondusif. Tidak banyak kata keluar, karena semua sibuk mengerjakan tugas kelompok yang diberikan Guru Biologi, Pak Habib. Sosok beliau tegas dan disiplin, sehingga rata-rata takut menjadi alasan semua patuh mengerjakan.

Begitupun juga aku, berkonsentrasi mengerjakan tugas kelompok satu bangku ini bersama Gamal.

Meskipun ia masuk dalam katagori cowok pemalas dalam pelajaran dan sangat aktif di extrakulikuler terutama Olahraga, tapi kali ini ia serius mengerjakannya. Bahkan ia yang memimpin diskusi kami.

"Ra pinjem Tipe-x?"

Aku memberikannya, ia terlalu fokus mengerjakan tanpa membalas tatapanku.

Lalu waktu mata pelajaran Biologi berakhir tugas satu bangku ini menjadi pekerjaan rumah dan dipresentasikan besuk. Sudah selesai di kubu kami, sedikit rasa menyesal datang, karena hanya tinggal menyalin di buku masing-masing tidak ada kesempatan lagi untuk kerja kelompok di luar sekolah seperti teman yang lain.

Semua mengemas dan istirahat.

Baru aku sadari akhir-akhir ini Gamal sudah tidak gampang tidur. Kini, tapi tetap duduk menemaniku saat memakan bekal. Ia menyibukan diri bermain game di ponselnya.

Dengan rasa canggung aku menawarinya. "Mau?"

"Enggak, thanks lo makan aja," balasnya sambil menyengir.

Lagi-lagi cengiran itu muncul, aku respon seperti biasa mengaguk. Tidak ada pembicaraan di antara kami. Ada sekelebat rasa penasaranku muncul, cukup wajar bila aku tanyakan sebagai teman, setidaknya aku bicara duluan kepadanya.

"Tumben, akhir-akhir ini gak banyak tidur, di kelas?"

Ia menanggapi meringis, "Gue begadang nonton bola pas itu."

"Hm."

"Lo suka bola?"

"Suka banget," jawab Gamal tak acuh, berkutat dengan game.

"Gue lihat lo suka banyak extra lebih ke Olahraga, lo suka banget Olahraga ternyata...."

Gamal menengok membalas ucapanku dengan menyipitkan mata, malah membuatku tergagap bingung. Apa yang baru aku katakan salah?

"Lo perhatiin gue ya?" dengan nada i-feel.

Aku terbata membalas, "Eng..gak juga, sering liat lo banyak ... ektra gitu jadi gue tau." Ya, jawabanku ini tepat.

Gamal mengamatiku.

Raut wajahnya berubah menyengir cepat, "Gue suka Olahraga dan gue punya cita-cita jadi guru Olahraga."

Bahkan ia mengungkapkan lebih. Tanpaku sangka pilihan menjadi menarik score, mungkin jadi satu alasan terbalik dari cita-citanya yang akan lebih baik, bila ia jadi pemain.

Menghening.

"Cita-cita jadi Guru Olahraga itu menarik," balasku perlahan lega.

Ia menyungingkan senyumnya, aku rasa ia suka tanggapanku. Bahkan baru aku sadari, kami sama-sama terhenti akan kegiatan masing-masing.

Bekalku terabaikan.

Game-nya terabaikan.

Bahkan ponsel Gamal didepannya sudah terlepas dari genggamannya dan kami saling berpandangan.

"Btw, Cita-cita lo pengen jadi apa?" kenyataannya tidak berselang detik dipikiranku Gamal menarik ponsel bersiap menekan layar sentuh itu.

Aku ragu menjawabnya, "Cita-cita gue pengen jadi Wartawan."

Ia terpaku memandangku sampai aku dapat merasakan aura kehangatan dari matanya itu. 

"Guru olaharaga dan seorang wartawan hebat ... itu serasi," ucapnya perlahan sembari menatapku lebih intens, aku rasa. Seakan di sana ia memintaku dapat mengartikannya.

____

(170518)-publish

Serendipity✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang