REVISI✔
050918____
Kamar mandi perempuan di Sekolah berada di posisi mendekati batas belakang Sekolah, tidak jauh dari gudang angker melegenda itu membuat aku ragu kesana.
Cukup jauh dari kelas depannya sebab terlampaui oleh ruang lap biologi, fisika, kimia yang bersatu padu berjejer dan pastinya jarang sekali dipakai, hanya hari jadwal tertentu.
Peraturan di Sekolah mewajibkan ke Kamar mandi harus sendiri tanpa peneman itulah hal yang menambah beban ragu ini.
Terlalu banyak tugas akhir-akhir ini, lalu banyak hal yang aku amati selalu memunculkan masalah pertanyaan di kepalaku, terutama tentang Gamal ataupun Gael terus berputar, menandai fikiranku dan pilihanku, tidak, lupakan sementara untuk sekarang.
Ingin merefreskan diri. Izin keluar kelas, berkeliling ke Perputakaan di jam kosong dan berakhir ke Kamar mandi karena panggilan alam.
Kini, mencuci muka bisa juga menjadi alternatif saat masih mampu mengajakku berfikir Gamal dan Gael.
Satu usapan.
Dua usapan.
Tiga usapan.
Sudah menghilangkan bedak bayi yang aku gunakan.
Aku memang bukan pengguna make up, ya meskipun dianggap minimal liptin, bedak dengan dosis ringan untuk pelajar? Entah penyebutannya ini apa benar, intinya aku belum ingin memakainya walaupun paling standar adalah itu. Memang beberapa hari yang lalu ada peningkatan ya ... yaitu sebatas mempertebal bedak bayiku.
Teringat pula akan paksaan belajar menggunakan make up oleh Anya, yang notabane calon Putri Sekolah saja, aku tolak mentah-mentah menjauhkan diri.
Saat meneliti wajahku di kaca depan wastafel membuat aku sadar diri, ini mungkin adalah salah satu bukti murni aku tidak di pilih jadi Putri di kelas. Tapi siapa peduli, aku? Sama sekali tidak. Tidak perlu diingat lagi. Hari pemilihan sudah berlalu dan Anya tidak terpilih, oke.
Setelah mengeringkan muka dengan tisu, aku keluar melengok santai tidak ada yang melintas di sini, sepi jarang ada yang berani ke kamar mandi, mungkin waktu istirahat ke sini.
Brak!!!
Brak!!
BRAK!
"Brengsek! Sini lo! Gue ancurin muka lo!!"
Terdengar suara pukulan bertubi dari gudang angker itu? Apa ada perkelahian?
BRUAK!!
Di ikuti suara rintihan, serigaian pelan disana. Itu jelas suara tabrakan benda benda jatuh akibat berkelahi, aku yakin itu.
Dan aku sangat mengenali suaranya. Tidak mungkin bila dia yang melakukan. Gamal? dengan siapa?
Dengan langkah lirih aku mencoba memeriksanya, mengabaikan rasa takut ini bila itu bukan manusia yang berkelahi. Apa? Aku hanya mengklaim kemungkinan terburuk. Gampang saja bila terjadi sesuatu hal berbahaya yang terpenting adalah lari, lari sekencang-kecangnya dan jangan sampai tertangkap.
"Apa? Lo gak kangen sama gue COT!? Ha? BACOT!"
"Dasar PENGECUT! Sok ancurin muka kita!?"
"Pulang man! Ini neraka buat elo!!!"
"Nereka? Sialan, tapi lo betah aja disini? Sok alim sok manis makin kayak anak prawan!"
"Takut jadian babu lo, HA?"
Tawa mereka begitu jelas, menggelegar tiada takut bila ada yang dengar. Lalu tidak berselang detik dibalas dengan pukulan, aku yakini perkelahian itu satu lawan satu.
Derap kakiku melamban, sedikit gemetar tidak yakin memergoki mereka, jantungku berpacu tidak teratur. Jadi terfikir, dimana Pak Sobirin, pak satpam menjaga sampai kelepasan. Sepatutnya biarpun tempat ini menakutkan ya tetap harus dijaga dan diperiksa.
Kuyakini perkelahian itu semakin besar.
Empat lawan satu? Atau bisa lima lawan satu? Dengan bimbang aku tetap bertahan, aku tempelkan diri ini di tembok lorong sempit ... sangat menempel berharap tidak terdekeksi oleh mereka.Kulirik pelan, secepat kilat. Yang pasti, tak ada yang aku tangkap karena terlalu cepat dan aku semakin larut dalam ketakutan.
Tiba-tiba tidak ada suara, begitu saja.
Mengatur nafas adalah hal nomer satu dalam segala keadaan. Apa lebih baik mundur lapor Satpam? BK? Guru? Teman? Mantan? Tidak aku tidak punya mantan. Pacaran aja belum pernah! Kembali ke topik. Kuyakinkan diri lebih baik menengok sedikit lagi, bila kejadian ini nyata.Sesosok cowok mengagetkanku saat aku melongok sampai menabrak dada bidangnya tepat di wajahku. Dengan gancang aku mendongak melihatnya, melihat siapa sosok cowok ini ... bukan Gamal. Pemilik suara itu Gael. Tentu, aku dapat membedakan mereka dengan mudah. Dari raut wajah mereka yang berbanding terbalik.
Luka-luka kecil di bibirnya, hidung, dahi, tangan, kutangkap saat menelusur dari atas ke bawah.
"Minggir!" ucapnya dingin mengelihku.
Tentu saja aku berikan jalan. Aku tengok depan gudang, tempat perkelahian itu tadi. Tak ada siapapun dan sekelebat aku lihat murid sekolah lain melompati pagar keluar, dapat aku simpulkan dari identitas seragam berbeda dari sekolah ini.
Bingung, kemudian melongok Gael yang aku duga terancam tadi. Tapi ia sudah hilang menjauh entah kemana.
____
(300518)-publish
KAMU SEDANG MEMBACA
Serendipity✓
Short Story[SELESAI] Kebetulan yang menyenangkan. Saat pemeran pendamping selalu di sisi peran utama. Sudah hukum alam bila pendamping juga punya sisi cerita. Gamaliel Marisco yang tak terlihat dan Dyra Gabriella yang memperhatikannya. (sisi pendek cerita) st...