13. Pengabaian

106 17 0
                                    

REVISI✔
040918

____

"Lo kok mirip banget ya! Lihat nih, mata! hidung! Bibir! Ini pipi-pipinya juga!" Brandon menggeleng tidak percaya.

Melanjutkan pidatonya lagi. "Setelah gue tinggal satu minggu tanpa gue sangka ada kejaiban dunia yang gue lewatin." Brandon berdecak bangkit dari duduknya mengamati Gael yang menyipit garang terkesan risih ke arah Brandon.

Brandon bertanya polos, "Apa mungkin ya gue punya kembaran yang belum dipertemukan sama gue di dunia ini?"

Oke, aku yakin seratus persen Gael berfikir Brandon itu sinting. Teman lain pun menyimak ada yang terbahak, ikut menimbrung, dan ada pula yang mengabaikan, setuju padaku bila ketua kelas kami, Brandon sudah makin sinting!

Gael masih bertahan datar, semua yang terhibur akan tingkah Brandon, kini  langsung diam, meringis, dan meminta Gael menurunkan reaksinya agar bersikap selow.

Jam kosong di pagi hari hal yang selalu diidamkan, telah terwujud begitu saja.
Lagi-lagi keberuntungan berpihak ke Anya dan Brandon, sudah kembali dari masa karangtina tidak menambah tugas mapel mereka yang telah menumpuk. Tentang hasil pemilihan Putra dan Putri Sekolah kelas kami tidak terpilih.

Anya kembali duduk di sampingku dan Gamal kembali ke bangkunya tanpa mengatakan sepatah katapun.

Aku tahu Gamal dalam mood buruk
semenjak lemparan sepeda dengan Gael, ia bungkam, menyibukan diri bermain game, sedang nge-game bisa aku tebak saat ia membalik dan kedua tangannya sibuk menyentuh layar ponsel itu. Bertahan mengatup bibirnya rapat-rapat membisu. Tawaran Brandon bergabung kumpul dengan Gael ditolaknya tadi, mengatas namakan game-nya yang sulit ditinggalkan. Aku yakin Gamal tidak sepenuhnya untuk itu. 

Berbagai pertanyaan muncul begitu saja di otak ku. Kenapa bisa seperti ini ...

"Dyr?"

"Dyr?"

Samar aku dengar ada yang memanggilku, lamunan ini sulit ditinggalkan, bulir-bulir pertanyaan semakin muncul di otakku. 

"Drya!"

Seketika terlonjak kaget, aku tengok Anya yang greget. "Hm," balasku.

"Nglamun terus!!Ati-ati kesambet lo!"

Aku hanya meringis kaku.

"Eh, e Gael beneran kembarannya Gamal ya?" Anya penasaran beberapa kali menamatkan Gael, yang masih di rubungi teman kami, mencoba lebih dekat tapi malah Gael membangun tembok kokoh di sana.

"Menurut lo?"

"Apa?"

Aku jengah menimpali, "Yang pasti aja, mereka mirip 90 persen! itu sudah menjelaskan semuanya."

Anya mengiyakan cepat. "Ralat, mereka mirip 99 persen!"

"Nah! itu lo tahu."

"Btw, Gael lumayan ya?" Anya terus melirik tepat ke Gael.

Lumayan?

Oke, itu wajar kata lumayan diberikan dari fisik jauh lebih sempurna dariku, tapi masa bodoh! Teringat tarikan tangannya sampai membuat Gamal membisu sudah cukup membuatku kesal.

"Hm, jangan mencoba berpaling dari Brandon pencandu upil," saranku asal, kembali membuka buku.

"Apa? Enggak, gue cuman muji aja kali." Wajahnya tiba-tiba gelisah. "Lagian gue lebih suka yang humoris, miring dikit gak apa-apa dari pada kosong gak ada ekspresi kayak gitu."

"Nya, lo sadar gak?"

"Apaan?"

"Secara gak langsung, lo akuin Brandon."

"Memang." Anya dengan tegas menjawab, "Gue udah jadian sama dia." ucapnya membisik tersenyum bahagia.

"WHATT!" Baik, reaksi terdengar berlebihan.

Anya seakan setuju dengaku, tersenyum miris. "Biasa aja, Dyr."

Aku yang tidak mau lama terkejut membalas, "Oke ... selamat karena kalian udah jadian. Semoga kalian langgeng sentosa." Entah, perkataanku selalu berantakan bila membahas Brandon.

Dengan semangat tersenyum Anya menjawab, "Oke, Thanks  sahabatku."

Kini, di saat aku saling bermanja mengucapkan harapan-harapan Anya yang jadian, aku yakin belum ada yang tahu tentang ini.

Gamal keluar kelas begitu saja, Rahangnya mengeras kaku dan sorot matanya sayunya menajam.

Kembali, semua orang tidak menyadarinya.

Tidak ada yang menyapanya.

Tidak ada yang menanyai ia akan kemana,

Dan baru pertama ini aku lihat.

Ia tidak nyaman.

Tak terlihat dan ... mungkin sedang tidak baik-baik saja.

____

(280518)-publish

Serendipity✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang