4. Hujan

170 27 4
                                    

REVISI✔
030918

_____

Hujan lagi.

Sedikit menyebalkan bila harus kembali ke loker mengambil payung.

Tapi mau bagaimana lagi, pasti Ibu marah bila aku pulang dalam keadaan basah kuyup. Jarak dari Rumah ke Sekolah satu kilo meter tanpa kedaraan, jalan kaki adalah rutinitas sehari-hari.

Di lorong depan Perputakaan sepi ini, sudah tidak banyak menunjukan tanda kehidupan karena sedari tadi waktunya pulang.

Aku di sini baru meminjam buku paket. Terpaksa kembali ke area belakang menuju loker, mengambil payung.

Sepi dan sunyi, tidak ada siapapun.

Tanpa menengok ke arah lain, fokus ke depan adalah pilihan. Ya, aku sedikit takut sekarang karena tak ada suara selain gemercik air hujan yang mengenai genteng lorong sekolah.

Suasana semakin terasa mencekam saat berbelok lurus menuju belakang sekolah, jauh di belakang sana ada gudang tua melegenda akan keangkerannya, jarang sekali ada yang berani ke sana sekalipun Pak Sobirin, satpam sekolah.

Bulu kudukku merinding seketika mengingat cerita mistis menjadi buah bibir akhir-akhir ini. Dengan cepat-cepat aku ambil payung lari kecil ke lorong depan.

Kini, payung berwarna ungu tua berada di genggamanku. Kubuka lalu menerjang melawan tetesan-tetesan air dari langit.
mampu melewati air tergenang tanpa memikirkan sneakers hitamku yang sudah usang.

Dengan langkah lebar, ingin rasanya segera pulang.

Belum ada puluhan angka yang aku jangkah.

Ada satu hal yang membuatku berhenti.

Saat melewati lapangan depan. Terlihat anak extra sepakbola tetap berlatih meskipun hujan. Ya, pastinya hujan bukan penghalang bagi mereka.

Aku yakin pasti ia juga berada di sana.

Gamal.

Dia ikut semua extra yang berhubungan dengan Olahraga. Bagaimana aku tahu? Tentu saja karena aku memperhatikannya. (Blushing)

Dan saat ini aku melakukannya.

Terhenti di bawah hujan berlindung payung, berjanji pada diri ini akan beranjak setelah sepuluh menit berlalu.

Pertama, aku carinya menelusur perlahan searah bola mataku berjalan di kerumbunan pemain di sana.

Kedua, aku tahu posisinya. Posisi back tepat arah jam sembilan, ia fokus melindungi wilayahnya beberapa kali mundur berbicara dengan penjaga gawang lalu bereaksi tertawa bercanda.

Ketiga, rutinitas sama yang aku lakukan untuknya ... lama aku memperhatikannya.

Rambutnya basah, keringat dan air yang sulit dibedakan, kulit menggelap karena peluh yang bercampur air hujan. Ia begitu bersemangat kembali ke depan menghadang bola saat lawannya datang.

Dengan penuh rasa percaya diri ia merebut bola, nasib lucu malah menimbanya. Tiba-tiba Ia terjungkal tidak etis karena rumput licin akibat air hujan bergesekan dengan sepatu bolanya, tapi berhasil pula ia menghadang bola hingga keluar.

Rata-rata di sana tertawa melihat tragedi ringan itu. Dengan cengiran ia bangkit dibantu uluran tangan temannya lalu seperti berbisik mengatakan sesuatu.

Keningku mampu bertaut bertanya-tanya apa yang di bisikan ke Gamal.

Dam!

Gamal melepar pandangannya padaku dari kejauhan. Fix! Ia menyadari keberadaanku dengan bukti jelas temannya memberi tahu. itu sudah pasti! Baik aku harus kabur sekarang, tapi tatapannya mengunciku disana.

Sulit bergerak, terasa di relungku sesak tidak bisa bernafas, jantungku berdetak cepat. Apa ini?

Reaksi Gamal saat menatapku sangat terlihat meskipun dari jauh. Ini membuatku senang sekaligus ragu tentang apa yang aku saksikan.

Ia menyengir tersenyum seolah menyapaku, tetap manis meskipun dari kejauhan. Gerakan tangan kanan melambai menyapa, seperti membuktikan itu tertuju padaku.

Satu hal yang dapat aku lakukan sekarang, aku sukses kabur saja tanpa memberi balasan.

____

Serendipity✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang