9. Pulang

100 21 0
                                    

REVISI✔
040918

____

"Lo pada duluan aja!" jawaban Gamal atas tawaran salah satu sohibnya saat mengajaknya ke Kantin.

Seperti biasa, pasukan cowok kelas berhubung populasi sedikit pula, semuanya tergolong sohib Gamal, mengajak istirahat akhir-akhir ini selalu berakhir diberi jawaban seperti itu. Setelah mereka mengiyakan lalu pergi, tapi Gamal sama sekali tidak beranjak dari bangku kami.

"Lo nyuruh duluan tapi gak pernah nyusul! Kamvret lu Mal!!"

Salah satu dari mereka berdecak, "Alah biarin aja masa pdkt-an sama Dyra napa lo bacot banget dah."

"Cepetan keburu laper gue."

"Tau ah yuk cabut! Duluan Mal!!"

"Hm," balas Gamal tanpa menoleh fokus bermain game di ponsel bahkan ia mengabaikan dan tidak mengelak tentang anggapan bertahannya bersamaku?

Masa PDKT? benarkah? Memang akhir-akhir ini Gamal sering di sisiku.

Tapi hal aneh muncul di hari ini. Gamal sama sekali tidak menyapaku seperti biasanya, saat pelajaran ia lebih sibuk dengan mencoret-coret di buku bagian belakang, banyak renungan di wajahnya dalam bungkam dan sekarang tidak berselang lama ia keluar tanpa sapa padaku.

Ada apa dengannya?

Wajahnya bahkan tidak ekspresi hari ini. Cengiran yang muncul setiap saat, seolah lenyap begitu saja.

Kualihkan pandanganku ke sekotak bekal di depanku. Terasa nafsu makanku lenyap pula, ini mood rendahan mudah terbawa Gamal.

Aku harus tetap memakannya, masakan Ibu tidak boleh kuabaikan hanya karena Gamal mendadak aneh.

Kuhelakan nafas gusar.

"Dyra?!"

Aku menoleh ke sumber suara yang memangilku, teman-temanku yang membawa bekal berkumpul di satu meja tengah kelas.

Tumben sekali, mereka membawa bekal. Oh, mungkin karena sekarang tanggal tua, terkadang membawa bekal menjadi solusi terbaik di tengah jatah uang saku yang menipis.

"Sini! Gabung! sendirian aja lo!!" Talia, temanku berkaca mata terkesan kutu buku dengan hobinya mengikat kelabang dua rambutnya. Padahal sikap aslinya jauh dari kesan itu, menyanyunkan satu tangannya ke arahku. Teman yang lain pun antusias mengajakku bergabung dengan senyuman ramah mereka.

Tanpa pikir panjang aku mengiyakan, mengangkat kotak bekalku dan menikmatinya bersama mereka.

Setiap detik berjalan.

Berubah menjadi menit berjalan.

Berubah menjadi jam berjalan.

Terlampaui,

Dan di sini aku sekarang, berjalan di sisi jalan di tengah panas terik matahari, baru pulang sekolah dan menuju rumah menjadi tujuan seperti biasanya.

Takut akan kulit mencoklat akibat panas sama sekali tidak terlintas di pikiranku, karena beruntung aku mewarisi keturunan berkulit putih dari Ibuku.

Ya, walaupun sekarang wajahku ini terlihat kusam, bedak bayi yang biasa di pakai luntur, habis, menghilang tanpa sisa.

Aku abaikan terpaan angin ringan menyentuhku. Membuat rambut lurus bergelombang pendekku ini semakin berantakan akan arah angin kecil yang tidak menentu.

Jalan menuju Kompleks pun sepi. Rata-rata semua orang lebih mengunci diri di dalam ruangan dari pada keluar menghadapi terik matahari ini.

Aku pelankan langkah ini.

Gamal lagi.

Ya, ia terus bersarang dipikiranku. Sampai pulang tadi pun, saat keluar kelas ia sama sekali tidak menyapaku. Tapi siapa peduli? Aku ... aku yang peduli, tapi mungkin ini sikap biasanya, kenapa jadi aku terlalu berharap ia bersikap terlalu dan selalu baik kepadaku.

Menyesal dan merasa tidak adil aku rasakan, tidak adil kenapa hanya aku yang tiba-tiba berlebihan memiliki rasa ini.

Tapi,

Ada yang mengajal di sekitarku sekarang.

Seperti langkah mengikutiku.

Tergiang-ngiang iringan ban berputar lambat mengintari kepalaku.

Ya, aku pastikan itu langkah dari belakangku dan sebuah kendaraan mungkin,

Aku hentikan langkahku.

Dan langkah itu berhenti, iringan itu juga berhenti.

Aku tolehkan diriku membuktikan ke belakang.

Yang aku tangkap dari pandanganku.

Gamal, sedang menatapku tanpa arti menuntun sepedanya. Tak ingin lama menatapnya berlebihan aku lihat sepedanya. Apa ada yang rusak sampai ia harus menuntunnya. Hasilnya nihil, sepeda gunung hitam itu baik dan sangat pantas untuk di kendarai.

"Hai, Ra?" sapanya dari jauh.

Tak ada jawaban dariku.

"Kenapa lo gak naikin sepeda lo?" tanyaku langsung, terheran.

Ia memandangku lama, seolah menerawang apa yang aku pikirkan tentangnya, lalu tersenyum tipis, "Pengen mastiin lo pulang sampai rumah."

____
Hayo, menurut kalian apa yang terjadi sama Gamal tiba-tiba diem gak jelas dan tiba-tiba muncul di depan Dyra gitu aja.  Penasaran? Tunggu di part selanjutnya ya!

Btw, Jangan lupa vote dan comment ya ... Itu semua sangat berharga bagi saya untuk terus semangat menulis❤

(190518) -publish

Serendipity✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang