REVISI✔
060918____
Tergiang lagi akan perkataan Giseal tadi pagi di kepalaku. Ibu baru saja pergi pulang mengambil barang yang dibutuhkan. Di luar dugaan rasanya tubuh ini baik-baik saja. Hanya perbanan di kepalaku menjadi pusat bila aku di rujuk rawat inap selama beberapa hari ke depan.
Hanya bisa terbaring duduk di sini. Aku sudah menengok mereka, di mana Gamal dan Gael berpisah diruangan berdekatan sedang terlelap. Benar, Keadaan mereka tidak baik-baik saja ... aku berharap semua segera membaik.
Luka perban menyelimuti di seluruh Gael yang sulit aku kenali. Gamal dengan perban tebal di dahinya luka-luka ringan di seluruh tubuh, terulang jelas bayangan ia dengan darah itu, ucapannya yang begitu lirih, tatapannya yang sayu menahan luka amarah atas penyerangan itu. Ia yang kuberi rasa terluka, tidak seharusnya aku melemah saat itu, harusnya aku segera berlari mencari pertolongan..
Seharusnya...
Penyesalan tidak akan membuahkan hasil.
Dan perkataan terakhirnya saat insiden itu. Kuingat lagi akan hal yang telah terjadi.
Darahnya terus mengalir dari dahi sampai area matanya, aku yakin itu menyulitkan pandangannya akusemakin jelas melihatnya. Tubuhku bergetar keringat dingin yang kubenci muncul. "Lari..., cari bantuan." intruksinya lirih tanpa suara begitu dekat ... pandangannya solah tak mengenali.
Tak sempatku respon perkataan lirihnya. Benturan keras mengenaiku seperti kilat yang menampar dahiku. Lantas aku terhuyung jatuh tengkurap.
Duak! Pukulan itu mengenaiku lagi.
"Brengsek, mau cari mati lo!!" Suara bergetar. itu suara Gamal?
Suara pukulan-pukulan itu menggema di telinga ini. Mencoba bangkit keadaan semakin tidak terkendali. Di luar batas dugaan.
Dengan pandangan meremang ini aku harus bangkit mencari pertolongan. Kenapa sepi sekali? Tidak adakah yang lewat. Sore hari mulai petang memang waktu yang tidak tepat untuk keluar. Tiada halangan yang berarti sekarang. Aku bangun lambat berharap tidak ada yang menyadariku.
Dengan tertatih aku bangun. Jalan terasa bergoyang, keseimbangan tubuh ini sulit di kendalikan. Tidak menengok ke belakang takut akan keadaan Gamal dan Gael.
Tolong...
Seorang cowok berdiri di depan menutupi jalanku bangkit, membawa balok kayu. Aku sadari itu balok yang memukultadi. Ia tersenyum miring. "Mau kemana?" ia mengayunkan seakan memukul lagi.
"Bajingan!!!" Suara lain bukan dari Gamal maupun Gael. Aku lihat mereka memakai seragam semua. Putih abu-abu berantakan di kenakannya, cowok yang melindungi. Ia menarik balok itu lalu memukuli temannya itu.
Samar aku dapat melihatnya. Ia berdiri tegap di depanku. Mengisap rambutnya yang panjang untuk takaran rambut cowok. Apa itu...
Ia memeritahku. "Lari, cari bantuan!"
"Siapa dia?" gumanku.
Teringat pula secara berurut akan pernyataan Giseal, tentang nama yang sempat aku lihat saat Gael mengangkat telfon.
"Tristan adalah geng ganas pentolan SMA Gael dulu dan Gael masuk menjadi anggota itu. Gael menjadi perusuh unggulan dari yang lain, menjadi yang paling di percaya Tristan," helaan nafas mengiringi ucapannya. "Saat hari itu datang, Gael di minta menggambil paket di wilayah terlarang, wilayah yang dipenuhi para pembandar menyamar, Gael diminta mengambil paket berisi narkoba."
Setiap gerakannya masih aku perhatikan. "Gue gak tahu apa yang ada di fikirannya, tujuan, alasannya Gael saat itu. Tapi ia melakukan hal bagus, ia mengambil narkoba itu dan mengancurkan bersih tanpa jejak."
Aku terpaku menyimaknya. "Tristan tahu, ia tidak marah mengangggap itu bukan masalah besar. Sampai di titik Gael berubah baik dan menjauh, Tristan muncul menjadi teror, dia tidak terima akan sikap Gael. .. Entah yang pasti apa motif Tristan akan narkoba atau sikap Gael. Jawaban Gael adalah keduanya."
"Kini saatnya semua itu berakhir dengan kejadian ini. Geng Tristan telah di ringkus saat yang tepat, elo gak perlu takut lagi dan Gael bisa menjalani hidup tanpa terluka lagi Ra." di balik tangisan Giseal tadi yang mengering sekarang mengajuk lega.
Semakin memikirkan banyak hal membuat kepalaku pening.
Gamal.
Ku harap ia baik-baik saja ... dan juga Gael. Bagiku sekarang adalah kesembuahan mereka hal yang utama.
Tak mau berperang batin diam di sini lebih baik aku menengok. Lalu menjaga mereka. Sendal berwarna biru menyambutku untuk tidak lagi telanjang kaki.
Turun langkah demi janggahku lalui perlahan. Ujung gagang pintu ini sudah aku sentuh. Terdengar suara balik pintu.
"Kebutaan dan lupa ingatannya pasti membuatnya berat secara fisik terlebih spikis. Mendapatkan donor mata memerlukan waktu lama untuk mendapatkannya kami akan berusaha untuk ... Gamal."
Suara dokter yang memeriksaku tadi berbicara dengan seseorang yang pasti pada seorang kerabat Gamal.
Kaki ini sulit untuk bertumpu lagi. Terjun duduk menghadap pintu dingin ini yang mampu aku lakukan. Linglung tak percaya ... Isakan ini keluar begitu saja. Tetesan demi tetesan sulit dikendalikan.
Aku menunduk ... meringguk memeluk kedua lututku. Berharap semua ini bukanlah kenyataan.
___
(250818)-publish
KAMU SEDANG MEMBACA
Serendipity✓
Short Story[SELESAI] Kebetulan yang menyenangkan. Saat pemeran pendamping selalu di sisi peran utama. Sudah hukum alam bila pendamping juga punya sisi cerita. Gamaliel Marisco yang tak terlihat dan Dyra Gabriella yang memperhatikannya. (sisi pendek cerita) st...