19. Dibalik

80 14 0
                                    

Ini Gael. Happy reading guys:)

 Happy reading guys:)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


REVISI✔
050919

____

Berdiri mencoba menenangkan diri dulu di tepi jalan, aku koreksi terlebih dulu penampilanku sekarang.

Over sized sweater berwarna pastel, skinny jeans pants berwarna biru navy, tas santai bunga-bunga biru, sneakers hitam, pas ini penampilan yang tepat untuk berkelompok ke rumah Gael, tentu termasuk ada Gamal di sana.

Kuyakinkan diri maju melangkah ke sebrang sana, membuang kemungkinan buruk bila aku melakukan kesalahan, tepatnya salah tingkah kepada siapapun di sana nanti.

Harusnya kemarin, aku menolak keputusan sepihak kelompok di rumah itu. Kenapa tidak kelompok di perpustakaan? cafe? taman? paling notoknya rumah makan padang! Tapi ini semua baru saja terpikir olehku.

Ya. sudahlah.

Tidak ada jalan lain. Ini sudah terlanjur.

Sepi, pintunya tertutup saat aku melewati gerbang terbuka. Rumah dengan gaya hampir sama dengan rumahku hanya berbeda warna cat, ingat kami tinggal di perumahan wajar bila ini sama.

Aku ketuk pintunya.

Tok! Tok! Tok!

Tidak ada tiga menit pintu terbuka. Perempuan paruh baya menyambut memiliki gaya rambut sama sepertiku, baju sederhana santai merekat kepadanya, dengan sunggingan senyum ramah, mungkin ini Bibi Gamal dan Gael.

"Mau kelompok?" Bibi itu pasti sudah diberitahu Gael.

"Iya."

"Gael masih mandi, silahkan duduk dulu. Bibi buatin minum dulu ya."

"I..ya, tidak usah repot-repot bi."

"Bibi enggak merasa direpotkan kok. Sebentar ya."

Aku menggaguk lalu masuk, kuamati ruangan ini. Minimalis namun elegan, kesan pertamaku saat masuk ruangan utama ini. Ada foto-foto di almari pajangan, tidak berani mendekat ke sana, aku hanya amati dari kursi tamu ini.

Seseorang turun dari tangga, Gamal muncul memakai pakaian olahraga menenteng sepatu.

Ia tersenyum, "Mau kelompok?"

Aku mengaguk ikut tersenyum. "Mau ekstra?" tanyaku balik.

"Iya, seperti yang lo lihat." Gamal lagi-lagi menerbitkan senyum.

"Lo kelompok sama siapa?"

"Sama Anya, harusnya sama lo yakan?"

Gamal pasti bercanda, lalu ia duduk di sampingku. "Betah-betahin sama si Asing, gue yakin lo juga gak tahan kalo ngomong sama dia. Kayak ngomong sama dinding."

Gael, yang ia maksud. Aku hanya mengaguk patuh.

"Gue kedengaran jahat ya?" Gamal tersenyum miris.

Bibi datang pandangan ramah, ikut mendekat. "Gue cabut dulu." Gamal keluar tanpa berpamitan. Aku memilih menerima suguhan bibi membalas sopan.

Anggota kelompokku satu-satunya itupun muncul juga. Gael turun dari tangga dengan tangan kanannya menenteng buku, rambutnya basah hampir mengering, wajahnya jauh lebih fress, memakai baju dan bawahan hitam santai.

"Bibi mau keluar ada arisan seperti biasa, Bibi tinggal dulu ya. Dyra, Gael."

Dari nama bibi tahu namaku? Tanpa sengaja kami menjawab bersamaan, "Iya Bi."

Bibi pun juga pergi. Mungkin sekarang di rumah ini hanya menyisakan kami berdua.

Gael sama sekali tidak melihat, juga tak melirikku. Membuka bukunya membaca bersiap mengerjakan. Detik ini yang perlu aku lakukan adalah menunggu ia membuka suara.

Aku telah mantapkan diri, tidak akan buka suara. sampai Gael berbicara mengajakku. Lalu setelah itu biarkan aku yang memimpin tugas kelompok dan segera pulang.

Sampai kini tiga puluh menit berlalu. Kacau, ternyata Gael mengerjakan tugas kelompok kami sendirian, mau tidak mau aku mengikutinya membuka buku dengan fikiran melayang tidak fokus.

Apa ini tepat dinamakan kerja kelompok? Aku ingin pulang saja.

Tiba-tiba Gael berhenti menulis. Mengamatiku begitu kentara sampai tentu aku menyadarinya. Menghela nafasnya berat, melemparkan diri untuk duduk bersandar, memenjamkan matanya sebentar.

Aku heran, jadi memperhatikan gerak-geriknya.

Ia tampak menimang sesuatu diputuskan di wajah kakunya, memijat keningnya pelan, lalu bergeser di depan sebentar seperti mengambil sesuatu dari sakunya secara pelan nan santai.

Mengeluarkan suatu benda di luar nalarku diluar pemikiranku tentangnya.

Gael pun tersenyum miring lamban. "Kaget?" ia menyalakan pemantik menyalakan sebatang rokok.

Setiap gerak-geriknya seakan melambat.

"Mau?" Ia menyodorkan sebungkus rokok terbuka agar aku ambil. Aku masih tidak menyangka atas sikapnya kini terpaku memandangnya, dengan santainya wajah kaku itu berubah menjadi liar membalas tatapanku, menghisap dan mengepulkan asap rokoknya di depanku, menyeringai.

___

(290618)-publish

Serendipity✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang