31. For The Last One

7.7K 670 26
                                    

Notif part sebelumnya jebol! UWOW kali lah kalian ni.

Hanya ucapan terima kasih banyak yang bisa kuucapkan. 😍😍😍😍😍😍

🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻


Setiap malam saat kubersujud di kamar sebelah, aku nggak bisa berhenti menangis. Segala kegundahan hati ini kutumpahkan semuanya kepada-Nya. Apalagi aku terus kepikiran dan membuatku jadi lumayan sulit tidur.

Aku kesal tapi nggak tahu harus menyalahkan siapa. Dan lagi Rashad belum menyinggung kembali masalah kami.

Mungkin karena terus mengendap di hati, aku kembali drop. Ditambah ternyata terancam gagal ke Perancis. Rashad batal cuti karena harus ke Papua selama enam bulan untuk latihan gabungan. Semacam simulasi perang atau tanggap bencana, aku sendiri kurang jelas. Otomatis aku juga gagal pulang ke Paris.

Tapi entah ini dinamakan keberuntungan atau rejekiku. Dokter menyarankan liburan untuk merefresh pikiranku. Jadi dengan surat dokter aku bisa tetap berangkat ke Paris walaupun tanpa Rashad. Nggak lama. Seminggu. Itu sudah cukup.

Ya, cukup kuakui, aku lumayan stres. Rashad juga ikut tertekan jadinya. Kelihatan sekali dia merasa bersalah.

"Kamu nanti jaga kesehatan ya kalau aku nggak ada di rumah. Tinggal di Pakde Arman aja," kata Rashad suatu malam. Kami dalam episode ndusel-ndusel ria di kamar menjelang tidur.

Bingung, kan?

Sebut saja kami dalam masa gencatan senjata. Semarahnya aku, surgaku ada pada Rashad. Sekecewanya aku, aku juga ikut bersalah. Jadi aku harus introspeksi diri dan menyikapi semuanya dengan lebih dewasa dan kepala dingin.

"Hem."

Tiba-tiba terdengar bunyi keras dari perutku yang keroncongan.

Ya Salam...perutku ih...

"Hehehe...kamu lapar lagi?" tanya Rashad geli.

Aku mengangguk malu. "Hehehe..."

"Mau aku bikinin sesuatu gitu?" tawarnya.

"Mie rebus rasa bakso pakai telur." Rasanya stok mie rasa bakso tinggal tiga deh.

"Oke. Tunggu sini." Rashad mulai beringsut.

"Ikut," pintaku manja-manja nggilani.

Tiba-tiba dia mencium keningku dan terkekeh. Aku? Rasanya panas ini muka. Jantung dag dig dug nggak tahu diri.

"Ya udah, yuk?" Rashad menarikku bangun, menggandengku menuju dapur. Mendudukkanku di kursi makan. "Duduk manis di sini."

"Oookay." Aku mengangguk sok imut.

Dia mengusap rambutku lalu mulai memasak.

Sambil tiduran di meja dapur, aku memperhatikan seluruh gerak-geriknya dengan seksama, punggungnya...semua yang akan kurindukan.

Aku nggak tahu lagi bagaimana harus menjelaskannya. Wajah dan tubuh boleh sama dengan Bang Rashid tapi Demi Allah, di mataku Rashad adalah orang yang sama sekali berbeda. Kenyataannya memang begitu. Dia diciptakan serupa dengan saudaranya tapi dia juga orang yang sama sekali berbeda.

Sejak awal bertemu malah, aku sudah melihatnya berbeda. Kalau dia kuanggap pengganti Abang, tentunya selama ini aku akan selalu membandingkan keduanya. Buktinya aku menerima dia ya sebagaimana dia apa adanya. Bukan ada apanya.

I'll remember all of these.

Kok jadi ingat lagu lawasnya Madonna yang I'll Remember itu ya? Kan jadinya mau mewek ini...hiks!

CINTA & PENGABDIAN "Cerita Frannie"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang