24. Titik Awal

1.6K 177 25
                                    

Setelah air mataku juga Rashad mereda dan kami lebih tenang, Rashad melepaskan pelukannya. Dengan wajah sendu dia menghapus air mataku menggunakan kedua telapak tangannya. Kasar tapi menenangkan.

Aku pun menghapus air matanya dengan kedua tanganku yang masih gemetar.

"Maafkan aku, Fran," Ulucap Rashad penuh penyesalan. Saat ini kedua tanganku digenggamnya.

Aku mengangguk.

"Tolong jangan takut padaku. Aku suami kamu. Kamu berhak meminta apa pun dariku. Kapanpun." Dia menghela napas dalam. "Maaf karena nggak bisa nahan emosi."

Aku menggeleng. "A-aaku...yang harussnya minta maaf ke Aa. Maaf karena bersikap kekanakan," kataku sambil menunduk.

Dengan kedua tangan besarnya, Rashad menangkup wajahku agar menatapnya. Dia menggeleng. "Nggak, Frannie. Ini salahku. Aku harusnya bisa lebih ngertiin kamu. Bukannya egois. Menikah artinya menerima segala kekurangan pasangan kita. Apa pun itu. Nggak hanya mau enaknya, cuma menerima kelebihannya aja." Kedua jempol tangannya mengusap pipiku lembut sekali. "Tolong jangan takut. Sekarang, kalau kamu nggak mau makan es krim dariku berarti kamu masih marah."

"Aa, aku..." Kuhela napas berat sambil memberanikan diri menatap kedua matanya menembus sampai hatinya. "Lain kali aku akan lebih ngertiin Aa juga. Kondisi Aa. Aku akan berusaha lebih baik."

Dia kembali menggeleng. "Nggak, Fran. Jadi dirimu sendiri aja. Apa pun itu. Sekarang, kamu mau makan es krimnya, kan? Tapi mungkin udah mencair sih. Biar aku ambil yang baru."

Ganti aku yang menggeleng. "Yang tadi juga nggak apa-apa." Dan mungkin pengaruh obat, aku menguap.

Buru-buru Rashad mengambil mangkuk es krim yang sudah mencair setengah. Kemudian disuapkannya padaku setelah tandas, dia mengantarku ke kamar mandi untuk gosok gigi. Selesai aku gosok gigi, ganti dia yang ke kamar mandi sementara aku menunggu di meja makan.

Nggak sampai lima menit dia keluar dan kami kembali ke kamar bersama.

Hanya saja ketika aku rebahan dengan posisi tidur seperti biasa, untuk pertama kalinya dalam keadaan sadar dari belakang dia menarik tubuhku dan merapatkannya pada tubuhnya. Punggungku bertemu dada bidangnya yang hangat. Kami juga tidur dalam satu selimut.

Aku terlalu takjub untuk protes. Sudah halal juga, kan? Nyaman pula rasanya, Mama... Sebelah tangannya juga mengelus kepalaku. Mataku yang memang sudah berat nggak butuh waktu lama untuk melayang ke alam mimpi.

👮👮👮

Samar-samar kurasakan elusan ringan dan lembut di kepalaku.

"Fran?" Kali ini suara serak khas bangun tidur tepat di tengkukku.

"Ehm." Geli ih.

"Subuh nih. Bangun yuk?" Suara itu lagi. Uugh.

Perlahan nyawaku mulai terkumpul penuh dan aku pun terjaga.

"Fraaan...subuh..." bujuk Rashad lembut.

Belum subuh sebetulnya tapi baru mau. Sejak aku sakit, baru terbangun menjelang subuh. Dan sekarang lucunya, Rashad menyuruhku bangun tapi satu tangan masih di kepalaku dan tangan lainnya masih melingkar di pinggangku.

Dan kesadaranku akan hal ini membuatku merona dan sport jantung pagi-pagi. Aku yakin Rashad bisa merasakan debaran jantungku yang bertalu-talu seperti genderang perang.

Dan kalau begini gimana mau gerak coba? Aku malu gerak duluan. Takut khilaf. Eh? Sudah halal, kan?...

"Fran? Sudah bangun belum sih?" Aduh, Mamaaa...kenapa dia mengintip wajahku dengan semakin mendekatkan badannya dari belakang? Membuat pipi kami nyaris bersentuhan. "Hei, kalau sudah bangun bilang dong?" Ow ow aku ketahuan gara-gara terlalu merapatkan mataku. "Ayuk ah, bangun."

CINTA & PENGABDIAN "Cerita Frannie"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang