Sebelum subuh seperti biasa aku sudah bangun untuk shalat tahajud. Kali ini Rashad ikut bangun.
Ya, seminggu menjadi suamiku, aku bisa melihat bahwa dia lelaki sholeh walaupun untuk tahajud masih suka absen. Tapi dhuha dia nggak pernah absen selama ada waktu mengerjakan.
Dan aku sendiri nggak mau mengguruinya dengan menyuruh untuk ibadah ini dan itu. Selama shalat lima waktunya nggak pernah absen masih oke. Karena ibadah urusan pribadi dan Yang Maha Kuasa. Manusia hanya bisa saling mengingatkan. Apalagi aku sendiri belum sesempurna itu.
Apakah aku sedang membuat perbandingan antara Bang Rashid dan Rashad? Jawabannya enggak. Sama sekali. Rashad tahu mana kewajibannya. Dia memang bukan lelaki alim sama seperti halnya Bang Rashid. Tapi aku tahu seperti kataku bahwa suamiku itu seorang yang sholeh. Sama-sama penghafal lima juz juga.
"Maaf ya isya kemarin aku khilaf nggak ingetin," sesal Rashad.
Aku mengangguk. "Iya, sama-sama. Aku juga minta maaf. Gara-gara aku pengen beli es krim."
Nggak lama suara adzan subuh berkumandang. Rashad bangkit bersiap ke masjid asrama bersama Pakde dan Papa.
Aku meraih tangannya sebelum dia beranjak.
"Assalamu'alaikum," pamitnya.
"Wa'alaikumussalam," balasku.
Rashad pun keluar dari kamar. Kemudian terdengar suara motor meninggalkan rumah. Aku sendiri bersiap shalat subuh dan dilanjut baca Al qur'an.
Tepat saat aku selesai membaca Al qur'an, Rashad pulang dan masuk ke dalam kamar.
"Assalamu'alaikum," ucapnya.
"Wa'alaikumussalam," balasku sambil melepas mukena dan merapikannya.
Rashad melepas kancing baju kokonya dan mengambil kaos dan celana training dari koper. Ia melepas bajunya dan kuambil alih untuk digantung sementara dia memakai kaos lalu trainingnya tanpa melepas sarungnya. Syukurlah. Kalau enggak kan aku malu ih ...
Rashad melepas sarung dan melipatnya, menumpuknya di atas sajadahku.
"Semua sudah siap, kan?"
Aku mengangguk. Kamarku hampir kosong. Sebagian besar barang sudah diangkut Mas Darwin dan Mas Nova kemarin ke rumah baru kami. Hanya tersisa masing-masing satu koper untuk kami yang masih dibutuhkan.
"Aku mau lari dulu," pamit Rashad. "Assalamu'alaikum." Lalu dia keluar lagi.
Aku mengangguk dan menyusul keluar setelah mematikan lampu kamar dan membuka jendela.
Aku ke dapur. Bantuin masak? Hahaha ... nggak sih. Ada Yuk Sar, tukang masak di rumah. Kalau Mbak Min lebih ke beres-beres.
Eh, tapi bukan berarti aku buta masak ya? Aku memang jarang masuk dapur buat bantuin masak. Nggak ada kesempatan. Aku bisa kok masak yang sederhana nggak sekedar masak air.
Terus sekarang aku ke dapur ngapain coba? Buat teh panas buat orang serumah. Iyapz, kami sekeluarga adalah pecinta teh. Ngopi sesekali aja.
Di ruang keluarga Papa sudah serius mantengin tivi berita pagi, sedang Pakde baca koran.
"Mama bikin apa?" tanyaku saat melihat Mama mengambil beberapa wortel dan kecambah di kulkas.
"Ote-ote. Coba kamu potongin itu wortelnya," pinta Mama.
"Bentar, aku aduk dulu tehnya." Setelah jadi, aku ambil baki dan beberapa gelas lalu kuletakkan di meja makan dan aku kembali ke dapur.
Aku ambil wortelnya dan kucuci lalu mengupasnya kemudian memotongnya seukuran korek api. "Sudah nih, Ma."
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA & PENGABDIAN "Cerita Frannie"
Ficción GeneralCredit all pics to www.google.com Kisah Cinta segi empat patah sisi antara dua sepupu Francesca - Kartika dan saudara kembar Lettu Rashad dan IPTU. Rashid. "Heh? Karena jalan sama Rashid? Ditembak ya?" Oke, nyawaku mulai terkumpul. Bisa dipakai goda...