Ketukan pada pintu kamarnya membuat Tasya mau tak mau membuka mata. Menggerutu panjang dengan raut wajah mengerikan. Siapapun yang mengetuk pintu kamar Tasya saat ini, dia tengah membangun kuburannya sendiri.
"Siapa?" Suara dinginnya terdengar dari interkom.
"Mama."
Satu kata itu berhasil membuat Tasya terjaga sepenuhnya. Gadis itu langsung membuka mata lebar-lebar dan melihat melalui lubang kecil yang terdapat pada pintu. Seorang wanita berumur tiga puluh akhir dengan setelan baju formal.
"Eh Mama, kok nggak bilang dulu kalau mau ke sini." Tasya membuka pintu kamarnya dengan senyuman cerah.
"Gimana Mama mau ngehubungi kamu? Hp kamu mati." Wanita dengan hijab biru yang membungkus kepalanya itu memasuki kamar. Sedangkan Tasya hanya bisa tersenyum meringis sesaat.
"Lowbat Ma, belum sempat isi daya. Masih jetlag."
"Memang sampai di bandara jam berapa? Lagian kalau jetlag harusnya langsung pulang, kenapa malah mampir ke hotel dulu?" Wanita itu menatap tempat tidur anak gadisnya dengan horor. Benar-benar berantakan.
"Sekitar subuh, aku udah terlalu capek buat pulang. Jadi langsung minta Pak Anwar buat nganter ke sini. Aku juga belum sempat beres-beres, jadi berantakan gitu." Tasya tertawa kecil, mencoba memberikan alasan semeyakinkan mungkin.
"Ya, ya, ya. Mama tau kamu nggak pulang karena ada kakakmu di rumah. Heran, saling saudaraan tapi nggak pernah akur. Padahal Mama sering ngajarin kalian buat selalu akur." Tasya tidak menanggapi, dia memilih untuk kembali menerjang kasurnya. Tidur lebih baik.
"Jadi gimana? Benar kecurigaan kamu sama 'si Bule' itu?" Mamanya mengalihkan topik pembicaraan.
"Huum, he kissed with annoying girl in club. Hot kissed." Gurat kebencian, kecewa, dan sedih terdengar dari nada yang Tasya gunakan.
Wanita itu tak mengatakan apapun, hanya tangannya yang bergerak mengusap perlahan punggung anak gadisnya. Dirinya pasti sangat paham apa yang terjadi pada Tasya. Meskipun pria itu bukan pacar pertama putrinya, tapi tetap saja hal seperti ini menyakitkan.
"Jadi kapan kamu mau pulang?"
"Nggak tau, emang kenapa Ma? Mama sendiri juga tau, aku nggak akur sama Miko." Tasya menatap Mamanya dengan pandangan datar. Gadis itu tahu apa yang mungkin akan Mamanya katakan saat ini. Jawaban yang pastinya tidak akan pernah Tasya inginkan.
"Miko kakak kamu, se-nggak akur apapun kalian, kamu harus tetap pulang. Mama nggak suka anak Mama tinggal di hotel kayak gini. Apalagi kamu perempuan, nggak baik." Mamanya bangkit berdiri, mengusap pelan rambut Tasya dan beranjak pergi.
"Keputusan Mama sudah final, jadi kamu harus pulang nanti malam. Atau kamu Mama coret dari KK." Tasya hanya berpura-pura tidur.
[ᆢᆢᆢ]
Pukul delapan malam Tasya check out dari hotel. Pak Anwar sudah menunggu di lobi begitu Tasya turun dari kamarnya yang berada di lantai lima. Mamanya benar-benar tidak mengizinkan dirinya untuk tinggal lebih lama di sana. Masalahnya, Tasya masih terlalu malas dan lelah untuk berhadapan dengan Miko.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan Miko. Bahkan dulu keduanya sangat akrab, tapi semuanya berubah saat Miko telah lulus sekolah. Semenjak kakaknya itu memasuki dunia perkuliahan, Tasya sama sekali tidak mengenali Miko. Pria itu berubah menjadi pribadi yang tidak Tasya kenali. Miko bisa menjadi kakak paling jahil sedunia, lalu kemudian menjadi kakak paling jahat, tidak peduli, dan dingin se-Galaksi Bima Sakti. Terkadang Tasya rindu pada Miko, tapi ego yang dia punya jauh lebih besar untuk bisa mengalah.
TIIINNN!!
Bunyi klakson yang nyaring menghentikan Tasya berkelana dalam pikirannya. Gadis itu menatap ke luar mobil, sudah lima belas menit dirinya berada di dalam mobil. Hotel sudah cukup jauh di belakang mereka, dan jalanan ibukota terlihat ramai lancar malam ini. Namun, dia tidak menduga akan mendapatkan kejadian seperti ini.
"Kenapa, Pak?" Tasya bertanya dengan masih mencondongkan badan ke arah depan. Mencoba untuk melihat keadaan di luar dengan lebih jelas.
"Itu Non, ada anak tiba-tiba nyebrang. Untung nggak kena tabrak." Pak Anwar memberi penjelasan.
"Ya udah Pak, yang penting nggak kena."
Mobil kembali berjalan pelan, membelah jalanan ibukota. Setengah jam kemudian, mobil hitam itu telah memasuki sebuah kawasan perumahan elit. Mereka berbelok pada sebuah rumah dengan gerbang berwarna kekuningan.
"Pak, di rumah ada acara apa?"
"Ada tamu dari Tuan. Saya sendiri kurang tau siapa."
Tasya hanya menanggapi sekilas. Dia tidak terlalu peduli dengan tamu-tamu ayahnya. Mereka pasti tengah berbicara soal bisnis dan lain sebagainya. Tasya tahu betul akan hal itu. Dan jika hal ini terjadi, Tasya lebih senang untuk masuk lewat pintu belakang saja. Pintu yang biasanya digunakan untuk para pelayan.
Tasya berjalan santai dengan menatap lamat-lamat ornamen pada samping rumahnya. Padahal baru seminggu lalu dia pergi dari rumah, tapi sudah serasa berbulan-bulan, banyak yang berubah. Terlalu banyak, dan dia tidak suka akan hal itu. Perubahan sering kali tidak membawa pada hal baik.
"Sama kayak doi." Matanya terpejam kuat, satu tarikan napas panjang terhembus keluar.
"Aelah doi lagi, doi lagi. Udah tau sering disakitin sama doi, masih aja diingat. Udah lupain, nggak pantes doi kampret kayak doi kamu diingat-ingat." Suara lain menyambut Tasya tepat pada pintu belakang. Dengan sorot malas Tasya menatap siapa orang itu.
Sedangkan manusia yang mendapat tatapn Tasya hanya menunjukkan senyuman pada bibirnya. Dengan mengangkat tangan, menyapa Tasya, "Welcome home sista, I miss you so much."
"I hate you and your damn face." Senyum sinis terukir jelas pada wajah Tasya. Dan perang saudara-pun di mulai.
[] K.R
Dedicated to : NatasyaShafaKhairana
KAMU SEDANG MEMBACA
My Serendipity : Are You Mine?🔒
Teen FictionSelesai : 15 Jul 2020 Telah di rombak ulang | BELUM DIREVISI "Hai, aku Gilbast. Mulai detik ini, kamu jadi pacarku." "Aku pastiin kamu akan bahagia, meskipun itu berasal dari sakitku." "Aku ini sabar, apalagi buat ngadepin tingkah kam...