[ 06 ]

67 8 2
                                    

[]

Bel pulang telah berdering lima belas menit yang lalu. Hampir sebagian ruang kelas sudah kosong. Beberapa anak-anak yang lain terlihat memenuhi ruang-ruang ekstrakulikuler. Tasya menatap bosan ke luar jendela, dirinya baru saja selesai piket kelas lima menit lalu. Teman-temannya yang lain sudah bersiap untuk pulang. Tidak ada ekstra untuknya hari ini.

"Gak pulang lo?" Dion bertanya mengalihkan perhatian Tasya pada lapangan di bawah.

"Lagi nunggu Pak Anwar."

Dion hanya mengangguk ala kadarnya, tidak mau mengambil panjang. Satu persatu dari mereka pergi pulang. Sekarang hanya tinggal Dion dan Tasya.

"Sendirinya kenapa nggak pulang?" Tasya akhirnya bertanya.

"Mau nyolong wi-fi dulu."

"Dasar." Tasya menggeleng pelan, atensinya kembali pada lapangan yang sekarang penuh dengan anak marching band. Di sisi yang berlawanan ada anak-anak paskibra yang terlihat memakai pakaian olahraga tengah mendapat pelajaran dari para senior.

"Sya, gue pulang dulu. Lo pulang sana, ntar di bawa jurig mampus lo." Dion lagi-lagi mengalihkan atensi Tasya.

"Iya jurig-nya kamu. Sana dah pulang, hati-hati."

Dion mengangguk sekilas dan pergi keluar kelas. Lengkap sudah Tasya sendirian di sana. Langit semakin menggelap, semburat kuning dan merah berpadu pada langit barat. Dua puluh menit sudah dan Pak Anwar masih tidak ada kabar.

"Ke mana sih? Masa lupa?" Dia mulai menggumam sendiri. Tasya terus terpaku pada lapangan di bawah sana dengan hingar bingarnya sendiri, hingga tidak sadar akan seseorang yang sudah berada di sampingnya.

"Hayo, ngapain ngelamun di sini? Ditangkap setan baru tau rasa." Sosok di belakang menepuk pundak Tasya.

"Anjir!" Gadis itu refleks berteriak, dengan cepat membalikkan badan dan bersiap memukul siapapun yang di belakangnya.

"Calm babe. Sakit telingaku dengar teriakan mu itu." Kepalannya ditangkis dengan mudah.

Tasya memelotot garang. "Lo! Ngapain di sini?" Dia melepaskan tangannya dengan kasar. Dalam hati memaki pelan karena beruntung bertemu dengan orang yang ingin dia hajar.

"Harusnya aku pulang, tapi ngelihat kamu ngelamun gitu jadi gatel pengen iseng."

Tasya mendengus mendengar jawaban Gilbast, pandangannya berganti. Tidak mau lagi menatap cowok aneh itu. Cowok itu benar-benar tidak waras. Gadis itu memilih tidak menanggapi, tidak mau mengikuti permainannya. Namun, tiba-tiba Tasya mengingat sesuatu.

"Kenapa lo ngaku jadi pacar gue?" Suara Tasya terdengar samar, sekilas melirik ke arah Gilbast.

"Menurutmu kenapa?" Gilbast balik bertanya, masih setia dengan senyuman khasnyaㅡkecil tapi menenangkan.

"I'm asking you, why you answer with another question?" Tasya geram, bukan marah tapi lebih ke arah jengkel. Dia tidak suka dipermainkan apalagi jika pertanyaannya diabaikan. Menyebalkan menurut gadis itu.

"Karena aku juga nggak tau kenapa aku bilang kamu pacarku."

"Sinting." Tasya memaki singkat.

"Whatever. Aku nggak maksa kamu buat percaya sama alasanku. But one thing, aku minta kamu buat percaya kalau kamu adalah pacar aku sekarang."

"Double crazy. Gue bahkan nggak tau nama lo," cibir Tasya.

Cowok itu tersenyum, mengulurkan tangan, "Ok. Hai, aku Gilbast. Mulai detik ini kamu pacarku."

Ungkapan Gilbast sama sekali tidak masuk akal bagi Tasya. Dia, seorang Natasya, akan menjadi pacar si anak baru. Anak baru dengan segudang berita yang bertebaran. Benar-benar tidak masuk di akal. Gadis itu menepis uluran tangan Gilbast.

"Udah ya, gue muak denger omongan nggak jelas lo. Emang kurang otak lo." Tasya menanggapi dengan mengibaskan tangan. Tanpa sengaja matanya melihat mobil jemputannya. Gadis itu bergegas untuk segera pulang, sebelum tangannya ditarik dan membuatnya berhenti.

"Apa?" tanya gadis itu galak, membalikkan badan.

"Mungkin emang aku kurang otak. Tapi aku nggak butuh banyak otak buat suka sama kamu, have a nice day Na." Dan cowok itu pergi begitu saja, meninggalkan Tasya sendirian.

[ᆢᆢᆢ]

Tasya menatap langit-langit kamarnya. Tidak habis pikir dengan cowok gila itu.

"Jadi pacarnya huh? Yang bener aja. Emang nggak waras itu orang."

Wajah Gilbast terbayang pada ingatannya. Alis cokelatnya, hidung mancungnya, bibir tipisnya, dan jangan lupakan tatapan lembut itu. Ah, wajahnya memerah. Tasya menendang bantal gulingnya hingga terjatuh.

"Ngapain sih Dek? Ribut nggak jelas gitu. Berisik woy!"

Tasya mengintip dari balik bantal boneka yang dia peluk. Ada abangnya pada ambang pintu, tengah berdiri dengan berkacak pinggang.

"Bukan urusan lo." Gadis itu membalikkan badan, mood-nya langsung jelek.

"Heh, kamu nggak kangen apa sama Abang. Masa dari kemarin dicuekin mulu. Abang baru pulang disambut gitu kek. Malah dicuekin, dosa Dek." Miko duduk pada pinggir ranjang adiknya. Membuat Tasya menggerutu dalam hati.

"Dih sok manis. Keluar sana."

"Sedih Abang diusir gitu."

Tasya sama sekali tidak peduli dengan ucapan Miko. Gadis itu memilih untuk bangkit. Jika Miko tidak mau keluar, maka ia yang akan pergi.

"Weh, weh, kok jadi ngambek? Pms ya?" Ucapan Miko sama sekali tidak Tasya tanggapi. Gadis itu terus berjalan hingga keluar dari rumah. "Wey! Mau ke mana? Jangan jauh-jauh heh! Jangan pulang malem juga."

Miko berteriak saat melihat adiknya sudah keluar dari gerbang rumahnya. Pria itu tidak mau repot-repot untuk mengejar Tasya. Yang mana pasti akan mendiaminya lagi.

Tasya mendengkus lega, saat akhirnya telinganya tidak lagi mendengar suara menyebalkan milik abangnya. Dia memang sangat tidak akur dengan pria itu. Dia punya banyak kenangan tidak menyenangkan bersama dengan Miko. Bahkan rasanya terlalu berat untuk mengatakan bahwa Miko adalah abangnya.

Tiba-tiba ponselnya bergetar. Ada pesan masuk dari nomor tak di kenal. Tasya berhenti sejenak, berjongkok pada trotoar dan melihat apa isi pesannya.

Ngapain kamu di luar kayak gembel gitu? Eh princess mana cocok ya jadi gembel. Oke ralat, ngapain putri cantik di luar malem-malem gini? Mau nyari setan?
ㅡGilbast

Tasya otomatis mendongak, menatap jalanan kompleks yang sepi. Tidak ada siapapun, jadi bagaimana cowok itu tahu kalau dirinya sedang di luar. Tidak mungkin Gilbast ada di dekat sini.

[] K.R

Dedicated to : NatasyaShafaKhairana

My Serendipity : Are You Mine?🔒Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang