[]
Gilbast masih di depan teras sampai mobil mereka menghilang dari pandangan. Dan cowok itu baru benar-benar bisa bernapas beberapa menit kemudian. Napas yang terasa menyesakkan. Menyakitkan. Tangannya gemetaran saat mengunci rumahnya. Pikirannya beberapa kali tidak fokus saat mengemudi. Dia harus berhenti cukup lama pada pinggir jalan untuk menenangkan segalanya. Tangannya tidak berhenti untuk gemetaran dan itu sangat-sangat mengganggunya.
"Halo, Yan. Stand by depan rumah lo, gue jemput sepuluh menit lagi."
"Gak jadi. Gue jemput lima menit lagi."
Belum sempat mendengar protes dari ujung sana. Sambungan sudah lebih dulu Gilbast putuskan. Cowok itu mengambil napas dalam sebelum beranjak pada kemudi mobilnya. Menginjak pedal gas dalam-dalam. Tatapannya kembali fokus. Dia harus secepatnya mendapatkan Aura, karena dia yakin cuma cewek gila itu yang berani menculik Tasya begitu saja tanpa mendapat perlawanan apapun dari dirinya. Aura yang tahu apa kelemahannya.
Tidak sampai dari sepuluh menit yang dia berikan pada Brian, Gilbast sudah sampai. Cowok itu bahkan bisa melihat Brian dengan pakaian santainya tengah berdiri di depan pintu gerbangnya.
"Masuk." Dan mobil kembali melaju.
"Lo mau bawa gue ke mana? Gila gue gak biasa mandi jam segini."
Gilbast hanya melirik sekilas. Itupun melalui spion. Tidak benar-benar memperhatikan. Meskipun, Gilbast tahu benar Brian memang baru saja selesai mandi kilatnya. Terbukti dari sisa air yang tidak mengering sempurna pada helaian rambut cowok itu. Kalau mungkin keadaannya tidak segenting ini, Gilbast akan mengambil waktu dan tertawa sepuasnya. Mentertawakan kekonyolan Brian yang benar-benar bersiap sedemikian rupa. Seolah-olah ini adalah kencannya.
"Kita ke rumah Tasya. Ada hal yang harus diselesaikan."
Brian terlonjak. Dari awal dia menerima telepon Gilbast, dia sudah merasa ada yang tidak beres. Pikirannya sudah membingkai skenario terburuk dan berdoa dalam hati semoga semua itu hanya akan menjadi pemikirannya saja.
"Lo harus jelasin sama gue dulu."
Dan sialnya, ketakutannya terbukti benar.
"Aura nyulik Tasya."
[ᆞᆞᆞ]
"Lo udah ada rencana mau bilang apa nanti?"
Gilbast hanya menggeleng. Memperparah ketakutan yang Brian rasakan. Cowok itu segera memukul dashboard mobil dengan kencang. Tidak peduli dengan kenyataan tangannya yang memerah. Rasa kesal dan marahnya pada Gilbast terlampau tinggi. Rasa takutnya juga semakin mendominasi dan Brian bukan orang yang menyukai ketegangan dari ketakutan.
"Dan lo bisa senyantai ini?!" Suara Brian meninggi, membuat beberapa pengendara yang kebetulan berhenti tepat di samping jendelanya menoleh.
Keadaan di lampu merah yang lumayan ramai membuat Brian semakin geram. Dia tidak bisa melepaskan emosinya begitu saja. Padahal dirinya sudah sangat geram melihat Gilbast yang lempeng, seolah-olah tidak peduli dengan kenyataan yang terpampang dengan sangat gamblang di depan matanya itu. Meskipun Brian dapat dengan jelas melihat gemetaran tangan Gilbast pada kemudi stir, tapi tetap saja, reaksi yang diberikan tidak sesuai.
"Gue gak nyantai! Gue lagi mikir."
"Mikir lo kelewat nyantuy anjing! Bentar lagi kita sampai dan gue sama sekali gak ada ide buat ngabarin masalah ini dengan tenang."
Gilbast diam. Dia acuh tak acuh pada Brian yang terus-menerus ketakutan. Takut yang realistis. Takut yang juga Gilbast rasakan, tapi tidak ingin dia bagi dengan yang lain. Karena dia takut sebesar itu. Dia takut akan tanggapan yang Miko berikan. Takut akan tanggapan orang tua Tasya. Takut dirinya tidak bisa bertemu dengan Tasya lagi. Sangat takut.
"Heh anjing!" Seloroh yang Brian teriakan membuat Gilbast tersentak.
"Gak usah teriak, bisa kan?"
"Gue udah panggil lo belasan kali dan lo gak nyaut. Lampunya hijau bego, udah diklakson dari tadi."
Gilbast melirik kaca spion, melihat massa yang mulai berteriak. Gilbast tersenyum kecut, segera menjalankan mobilnya, dan meminta maaf cepat-cepat. Mobilnya kembali melaju dan jarak mereka semakin menyempit. Gilbast ingin segera mencari Tasya saja rasanya. Dia tidak ingin berurusan dengan saudaranya, ataupun orang tuanya. Dia hanya ingin langsung berurusan dengan Aura dan menyelamatkan Tasya. Hanya gadis itu yang dia lihat detik ini.
"Turun heh. Udah sampai." Lagi-lagi Brian menariknya dari labirin pikirannya. "Gue tahu lo takut, gue juga. Gue tahu lo mau kabur aja, gue juga. Tapi, lo harus tanggung jawab. Dan gue bakalan nemenin lo apapun yang terjadi di dalam."
"Thanks." Gilbast tersenyum tipis. Sedikit lega di dadanya. Tapi, melihat Miko di ambang pintu masuk hanya membuat adrenalinnya kembali meningkat.
"Mana Acha?" Pertanyaan yang tepat sekali. Dan Gilbast hanya diam, tidak segera menjawab. Cowok itu bahkan hanya memandang ke arah kotak sepatu di ujung pintu. Ada sepatu yang familiar sekali. Sepatu putih dengan garis biru di dalamnya, sepatu Tasya.
"Anu Kak ... eh Bang. Hmm, Bast." Brian tergagap dan menyenggol Gilbast untuk segera menjawab.
"I'm so sorry you'll hear this. But you must to know, Tasya diculik."
Gilbast melihat semuanya. Dia melihat bagaimana raut terkejut dan tidak percaya hadir pada wajah Miko. Berubah menjadi ketakutan dan amarah. Lalu tangan terkepal itu melayang. Satu pukulan Gilbast terima. Cowok itu tahu akan jadi seperti ini. Dan dia akan menerimanya dengan tenang. Demi Tasya.
[] K.R
KAMU SEDANG MEMBACA
My Serendipity : Are You Mine?🔒
Ficção AdolescenteSelesai : 15 Jul 2020 Telah di rombak ulang | BELUM DIREVISI "Hai, aku Gilbast. Mulai detik ini, kamu jadi pacarku." "Aku pastiin kamu akan bahagia, meskipun itu berasal dari sakitku." "Aku ini sabar, apalagi buat ngadepin tingkah kam...